Buldanul Khuri: “Mau alternatif? Jangan pakai manajemen yang bikin tidak kreatif”

Kini,  lelaki paruh baya asal Kotagede ini nyaris bekerja sendirian dalam menerbitkan buku dengan penerbit baru rasa lama. Tentu saja, ia datang dari sebuah masa yang berjelaga dengan melakukan penyesuaian “manajemen” cetak berteknologi masa kini.

“Uang bukan lagi tujuan. Menerbitkan buku adalah kerja rohani karena hidup saya seperti ini karena bersentuhan dengan buku di Jogja,” katanya mantap.

Mula-mula ia bersentuhan dengan hal-ihwal buku dengan segala perangkat cetaknya lantaran kakaknya memiliki percetakan di Kotagede. Selain mencetak brosur lebaran, kakaknya adalah pemimpin umum sebuah majalah. Jadilah, ia menghidu dua romansa sekaligus; dunia bacaan lewat majalah dan deru mesin cetak.

Hingga suatu hari yang tak terlupa baginya itu datang. Kotagede dianugerahi seorang dewa muda yang punya koleksi buku sastra yang melimpah. Dan, sosok bernama Darwis Khudori itu menjadi guru kemuliaan utama baginya. “Darwis itu orang pintar. Tinggal di dekat kuburan pula. Majalah dan buku bertebaran di kamarnya. Saya membaca majalah Kawanku, membaca Harimau Harimau-nya Mochtar Lubis dan Godlob-nya Danarto. Lho,  saya kelas satu SMP sudah baca Godlob,” tuturnya sambil keheranan sendiri.

Kerasukan dengan bacaan, khususnya buku sastra, membuat Darwis mengajaknya “ngandong” buku. Ia dan teman-temannya sepermainan di Kotagede naik andong bersama ke toko buku di seputara Tugu Jogja. Mereka dibebaskan membeli buku dan menjadi koleksi perpustakaan bersama.

Tak hanya membeli, tapi sejak kelas tiga SMP, ia sudah berani menerbitkan buku puisi berjudul Di Bawah Lampu Mercury. “Saya itu sudah ngindie sejak SMP. Buku puisi itu dicetak di tempat kakak saya, sementara sampul disablon di tempat Pak Fanany yang kelak mendirikan penerbit Shalahuddin Press,” kisahnya sambil terkekeh.

Di SMA Muhammadiyah 2 ia makin tertatih-tatih dalam pelajaran Matematika dan semua keluarga besarnya, seperti Kimia dan Fisika. Namun,  ia maju dalam Bahasa Indonesia.  Maklum,  pelahap buku sastra secara autodidak sejak SMP. “Saya bahkan mengkliping cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti dalam bentuk buku,” kenangnya.

Ia juga makin tak berminat untuk bersekolah formal. Maka, selepas dari seragam putih abu-abu, ayahnya memberi opsi: kerja atau kuliah.

Ia pun pilih kerja. Lantaran bukan berasal dari sekolah berkeahlian khusus seperti sekolah-sekolah vokasi yang muncul ditahun 90-an yang berjargon “link and match”, maka kerja lulusan anak SMA yang kesurupan dengan sastra adalah majalah. Kerjanya juga tidak tanggung-tanggung: bergabung dalam majalah Gelanggang yang diterbitkan Shalahuddin Press UGM. Ia menjadi redaktur berusia muda dan menghirup suasana akademik ala kampus kerakyatan macam UGM.

Dan,  di sinilah ia merasakan breidel pertama. “Majalah kami ini dibreidel Pak Amien Rais. Isinya dianggal melenceng dari Islam,” akunya.

Ahmad Fanani yang menjadi pemimpin redaksi Gelanggang lalu banting setir membuat penerbitan. Disusul kehadiran Ong Hari Wahyu yang menjadi pembikin sampul. Apa boleh bikin,  Ong memanggil si redaktur muda kita ini dengan sebutan “pak”. Mungkin, wajah dan usia tak saling sejalan. Tapi,  dari Ong pula ia memasuki sekolah seni. Ia ingat dengan presisi kalimat Ong saat itu: “Kuliah saja. Tapi jangan di jurusan saya, Seni Grafis. Kuliah di jurusan baru, Desain Komunikasi Visual”.

Jalan kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) ini mula-mula mengantarnya membuat biro jasa desain,  Graphic House. Tak puas, ia yang berusia 27 tahun pada 1994 itu mendirikan PT Bentang Intervisi Utama. Namun, ia dianggap sebagai direktur yang tak becus. Yayasan bilang buku-buku yang diterbitkan sulit kembali modal. Tak puas, diajaknya Mustofa W. Hasjim kabur bersama dari PT yang dibikinnya sendiri.

Tahu apa yang diperbuat penyuka Tenggelamnya Kapal v.d. Wijk ini? Bikin Yayasan Bentang Budaya. Lho, kok namanya sama. “Aku juga yang ngasih nama PT yang sebelumnya itu,” jelasnya sengit.

Sejarah perbukuan kemudian mencatat, Bentang Budaya eksis sebagai penerbit dengan memanggul tema-tema humaniora yang berjaya selama satu dekade hingga tahun 2004.

Ia ingat, di masa  pulung keberuntungan menaungi, dua kali ia memegang uang banyak. Yakni, saat buku Khalil Gibran mengalami ekstase dalam penjualan dan saat Ford Foundation bekerjasama dengan IKAPI menggelontorkan dana besar untuk percetakan “buku-buku bermutu”.

“Buku Khalil Gibran edisi lengkap saya beli di Senen. Saya sempat beli mobil dan rumah untuk penjualannya. Gampang betul cari duit. Saat kelihatan sukses, banyak orang mengerubuti menawarkan uang,” kisahnya.

Namun, jika dihitung dengan masa keemasan satu dekade, sebetulnya masih lebih lama masa gelap yang dialaminya: 17 tahun.

Ia yang menerbitkan buku lebih mengandalkan naluri ketimbang hitungan bisnis ini pernah menjadi penjual kaktus di Bundaran UGM. Naluri kepepetnya bekerja sama dengan “petani” kaktus saat pertama kali melihat pemikul kaktus di Pasar Beringharjo.

Masa kegelapan itu membuatnya gelagapan. Ia musykil lupa bagaimana di zaman kalabendu buku itu distributor tak membayar,  kertas bilyet giro (BG) dikosongkan. Tiga mobil dan tiga rumah dijualnya semua untuk membayar utang. Bahkan, ia bersama keluarganya menyewa dua kamar di losmen Candi Indah. Jika ia mengenang kembali masa itu, ia menjadi masygul betapa puitiknya derita bersama buku.

Apalagi kemudian dilihatnya generasi setelah ia habis itu bisa membuat buku-buku laris seperti menjual kacang goreng, makin teriris rasanya hati di dada.

Dengan sisa keras kepala ia sempat menolak saat pemilik penerbit Mizan Haidar Bagir datang pertama kali untuk mengakuisisi Bentang Budaya. Alasan dia sederhana saja, ia masih punya potensi untuk kaya.  Tapi, pertahanannya betul-betul tak bersisa ketika tahun 2004 berjalan kemaruk dan ia sendiri yang justru mengambil inisiatif menghubungi Haidar di Bandung.

Drama pengambilalihan aset pun dimulai. Akuntan datang ke Bentang Budaya. Apa kata si akuntan? Ini jenis penerbit yang kekayaannya terlalu rumit buat diaudit.

Kesepakatan pada akhirnya dibuat juga. Mizan berharap ikon Bentang mendatangkan sesuatu, sementara Buldan berharap ia bisa mengembalikan yang sudah lenyap dari genggaman. Tapi, tunggu ditunggu, “sesuatu” itu tak juga datang. Sosok yang membaca buku Calon Arang-nya Pramoedya Ananta Toer di SMP Muhammadiyah Kotagede ini terlihat tak sabar,  serupa betul dengan si penyihir tua Calon Arang yang kepingin mantu.

Ia pun membikin keputusan final: menjual semua persentase saham yang menjadi haknya di Bentang Pustaka. Dan, tak lama saat ia melenggang keluar itulah meledak buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata di pasar buku nasional.

Mengingat hal ini,  ia kerap termangu. Masa-masa jaya itu acapkali lewat dan kemudian berganti cepat dengan awan hitam yang menindih-nindih perasaan.

Tapi, bukan wataknya lari dari buku. Ia dikutuk menjadi orang buku sejak di Kotagede bersama Darwis lalu menggapai-gapai apa yang masih bisa dibikin. Dibantu Togamas, ia membuat penerbitan baru bernama Jejak, lalu menghidupkan arwah Mata Bangsa. Proyek utama setelah bangun dari kemaruk panjang ini adalah membuat ensiklopedia Muhammadiyah dan NU.

Mulanya ia berharap ada dana dari Muhammadiyah sebelum ia sadar bahwa berbisnis dengan Muhammadiyah naudubillah rumitnya. Jalan yang ditempuhnya adalah menemui tokoh-tokoh kunci. Dari Amien Rais ia mendapat beberapa lembar dollar.

Lantaran ia insyaf di Muhammadiyah mandek secara finansial, ia banting kemudi membikin Ensiklopedia NU. “Rapatnya tetap di Muhammadiyah,” tukasnya sambil terbahak.

Jalan lain yang ditempuh lelaki seribu akal untuk bertahan di buku ini adalah ia menyewakan puluhan naskah Bentang Budaya ke penerbit Narasi. Ia berhitung, jika punya 78 naskah dan masing-masing dihargai 5 juta rupiah, lumayan.

Hingga akhirnya datanglah saat itu ketika ia mulai lelah dan bosan dengan uang. “Saya jadi berpikir kebahagiaan terletak bukan pada jumlah uang, tapi pada kerja membuat buku itu sendiri,” ujarnya. Saya tak tahu persis dari mana bisikan itu diterima lelaki tambun ini. Mungkin dari perjalanan hidup bersama buku yang panjang.

Kepada Eka Pocer,  akunya, ia terinspirasi. Kepada anak-anak muda ini ia membikin sendiri target: berlomba menerbitkan buku-buku yang bagus. Tak ada dalam kamusnya buku jelek yang dapat uang banyak menyubsidi buku bagus yang tak mendapatkan uang. Sebab, hanya buku bagus yang bisa diterbitkan kapan saja karena pesannya bisa berumur panjang dan membentang hingga beberapa generasi.

Ia mengaku masih bisa menerbitkan buku hingga enam judul sebulan. Namun, praktis ia bekerja mengedit sendirian. Selepas salat Subuh, ia disiplin mengerjakan pengeditan untuk buku-buku yang pernah diterbitkannya. Mencetak hanya 300 eksemplar membuatnya kini jauh lebih tenang. Tanpa diribeti menggaji pegawai, ia kini menikmati bahwa bekerja di perbukuan adalah ibadah untuk peradaban. Tentu saja dengan tanpa manajemen yang ruwet. “Kalau mau alternatif dan kreatif, jauhi manajemen,” katanya yakin.

Makin ke sini, suaranya kini seperti terdengar seperti nasehat para sesepuh Muhammadiyah. Hidup-hidupilah buku, jangan sekadar cari untung di buku.

#TemankuOrangBukuKeren