Yu Otim Sang Pengantin

Sampai juga akhirnya. Khotimatul Khasanah–Filsuf Kaki Lima Sholahuddiningrat memopulerkan penyebutan Yu Otim–naik pelaminan. Yu Otim memilih 22 April sebagai “hari bahagianya” tentu tak berlangsung begitu saja. Namun, hari itu atau satu dan sehari setelah hari ijab kabul itu dia tahu betul menjadi hari di mana setiap tahun ia ikuti peringatannya. Tanggal 22 April (21 dan 23 April) setiap tahun diperingati menjadi hari jadi Indonesia Buku; deretan hari yang diringkas menjadi Ibumi.

Koinsidensi waktu itu tidak berlangsung kebetulan–sekali lagi–karena perempuan kelahiran Kediri, 21 Oktober 1988 ini, bukan wajah baru di Indonesia Buku. Ia bergabung di tahun 2009 atau sudah sewindu lamanya. Seingat saya, di tahun itu Indonesia Buku belum didaftarkan di notaris sebagai perkumpulan. Dan, satu-satunya posisi yang dipegangnya selama delapan tahun berjalan ini adalah menjaga perpustakaan.

Saya ingat betul Yu Otim ke Yogyakarta untuk mencari kerja seusai menamatkan Madrasah Aliyah Hasan Muchyi Kapurejo, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur. Beberapa tempat sempat dijajalnya, seperti menjadi pramuniaga di toko kue yang saya lupa namanya.

Entah bagaimana ceritanya, ia kemudian turut bergabung dalam komunitas Indonesia Buku dengan mula-mula diajak Nurul Hidayah. Waktu itu, saya betul-betul butuh tenaga yang menata buku yang datang bergelombang dari Jakarta bersama gunungan koran. Buku dan gunungan koran itu hasil dari riset besar tentang pers dan kronik yang baru berakhir.

Yu Otim, oleh sebab itu, adalah saksi mata penting dalam sejarah berdirinya Indonesia Buku. Ia melihat mereka yang datang dan pergi. Ia menyaksikan satu per satu anak-komunitas tumbuh dalam induk Indonesia Buku; mulai dari saat tinggal Patehan hingga pindah ke Sewon. Ia menjadi penyuguh minuman kepada nyaris semua tamu atau aktivis yang berhikmat belajar menulis di Indonesia Buku.

Jika ada orang yang paling banyak mengenal tamu utama di Indonesia Buku, Yu Otim mesti Anda sebut. Ia setia menjalani kehidupan yang sangat sederhana dalam komunitas. Jangan pernah sangsikan loyalitasnya. Ia ikuti dan alami ekonomi komunitas ini yang kembang kempis; mulai dari buka warung teh, minuman dan camilan di kulkas, angkringan, hingga ia sendiri menjadi pemasok kripik dengan sepeda “Poligon Cantiknya” ke belasan angkringan mulai dari Sewon hingga Krapyak. Usia sepeda itu seusia dengan lamanya Yu Otim di Indonesia Buku, sewindu.

Yu Otim adalah ikon Indonesia Buku dalam diam. Ketika komunitas ini ramai oleh kegiatan, ia mundur di garis demarkasi paling belakang. Namun, ketika semua kembali ke rumah masing-masing, Yu Otim-lah yang merawat setiap hari Indonesia Buku; mulai dari membuka pintu, menyapu, ngepel lantai, menyala-matikan lampu, hingga menutup pintu kembali.

Garis tangan Yu Otim itu tak pernah mau diam. Ketika Anda berkunjung ke Indonesia Buku mesti Yu Otim Anda dapatkan melakukan sesuatu; menyampul buku, menyapu, membungkus keripik, kadang membaca buku roman, menyeduh teh, memberi label harga pada minuman/camilan di kulkas, atau menyiangi tanaman. Oleh garis tangan seperti itulah, suatu hari pembina Indonesia Buku, Taufik Rahzen, menjadikan Yu Otim sebagai standar, “Gus, ada enggak yang seperti Khotim ini yang bisa bekerja di Veteran, Jakarta.”

Si garis tangan yang tekun ini, kini, di komunitas Indonesia Buku, menemukan jodohnya. Bukan di Patehan Wetan No 3, melainkan perjumpaan dirinya dengan Mase di Alun-Alun Kidul. Mungkin saat ada acara pasar malam.

Tahun ini, Hari Ibumi–Hari Ibu, Hari Bumi, Hari Buku–kami memperingatinya secara sederhana di bawah turap rumah pengantin di mana Yu Otim duduk manis bak ratu di Jambu, Kayen Kidul, Kediri.

Yu Otim bahagia, Indonesia Buku bahagia!

#YuOtimWedding