Budaya Menulis di Jalan Dakwah (Dalam 34 Tweet)

  1. Mahasiswa adalah kelompok terpelajar yang dalam mengemukakan setiap gagasannya dilakukan secara runut, logis, dengan bahasa yang baik.
  2. Tiap semester hingga akhir perkuliahan, menulis paper/makalah menjadi jalan yang tak bisa dihindari. Mestinya, “pembiasaan” ini bisa melahirkan budaya menulis.
  3. Puncak dari “budaya menulis” dalam kampus ini adalah tugas menulis yang lebih serius: bikin riset dari kecenderungan intelektualitas yang bermetamorfosis menjadi “Tugas Akhir”.
  4. Budaya menulis yang ditanamkan ala kampus ini menghasilkan macam-macam tipe “Tugas Akhir” mahasiswa. Dengan catatan memenuhi syarat sebagaimana pernah dilontarkan Anies Baswedan saat masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: “Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai dituliskan”.
  5. Yang menanggapi seruan “budaya menulis” sebagai beban mahaberat menghasilkan “Tugas Akhir” menjadi kertas berjilid yang tak menyumbang apa pun kecuali memenuhi ruang simpan di gudang jurusan dan mengantre untuk masuk ke pengepul.
  6. Yang menerima “budaya menulis” sebagai tugas kecendekiaan menghasilkan “Tugas Akhir” yang layak dibaca publik luas karena memberi sumbangsih pemikiran dan pencerahan gagasan.
  7. Mahfud M.D. contoh konkret sosok yang menerima “budaya menulis” sebagai jalan kecendekiaan, jalan yang hingga kini terus ditekuninya. Salah satu “Tugas Akhir”-nya yang dijadikan buku dan menjadi rujukan para pengkaji “politik hukum” berikutnya: Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi.
  8. Budaya menulislah yang membuat Mahfud M.D. mengucapkan kalimat seperti ini di gedung MK, pada Juli 2012: “setiap tahun saya menulis buku.” Artinya, Mahfud M.D. lolos dari kutukan “sarjana pohon pisang”–seperti diistilahkan Sartono Kartodirdjo.
  9. Budaya Menulis yang mengantarkan seseorang mendapatkan apresiasi lintas disiplin keilmuannya; berjumpa dengan masyarakat lain. Jika bukan karena budaya menulis, niscaya Mahfud M.D. berdiri di podium Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta menyampaikan Pidato kebudayaan di tahun 2012.
  10. Nama-nama yang berada di mimbar Pidato Kebudayaan DKJ itu sebelum Mahfud M.D. adalah Busyro Muqqodas (2011), Taufik Ismail (2005), Hidayat Nur Wahid (2004), Azyumardi Azra (2001), Amien Rais (1998), Nurcholish Madjid (1992).
  11. Nama-nama di atas adalah para penulis tangguh yang menjadikan budaya menulis sebagai jalan dakwah. Menulis menjadi jalan dakwah utama, selain dakwah dengan lisan.
  12. Lalu, saya bertanya sebutkan 10 penulis dari belasan ribu kader himpunan yang pernah kuliah di IKIP/UNY yang namanya Anda kenal?
  13. Saya mengenal beberapa penulis kondang di HMI IKIP/UNY. Salah satu yang paling top adalah M. Rusli Karim, penulis buku terkenal HMI MPO (1997) adalah kader yang menjadikan menulis sebagai jalan hidupnya hingga mati muda.
  14. Saya bisa pastikan, tak ada penulis esai paling subur yang pernah lahir dari rahim HMI di lingkup IKIP/UNY Yogyakarta selain M. Rusli Karim. Sosok ini juga menjadi legenda budaya menulis di lingkup FPIPS/IKIP Jogja.
  15. “Biaya kuliahnya di IKIP boleh dikatakan berasal dari karya tulisnya. Entah sudah berapa karya tulis yang dihasilkannya di usianya masih sangat muda. Ia mengambil program S3 di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) tempat saya mengajar dua tahun,” puji Buya Syafii Maarif.
  16. Rusli Karim si kader HMI asal Palembang ini betul-betul merampungkan disertasinya di UKM tentang HMI MPO sebelum pergi untuk selama-lamanya. Disertasi yang kelak berubah menjadi buku oleh Penerbit Mizan pada 1997 itu tak pernah maju di meja uji akademia.
  17. Apa yang dilakukan M. Rusli Karim adalah contoh pengewajantahan budaya menulis dalam kehidupan harian. Dari Kompas hingga Prisma; dari Panji Masyarakat hingga KR. Semua dijajal M. Rusli Karim.
  18. Budaya menulis mendekatkan kita kepada kultur buku. Sawala/polemik, tanggapan, refleksi atas sesuatu hal lewat jalan menulis umumnya satu denyutan dengan kultur (membaca) buku.
  19. Kultur membaca yang kuat membuat kita tak pernah kehabisan gagasan; tak pernah mengalami asat ide. Kultur membaca membuat kita dalam posisi sebagai pribadi yang terbuka kepada informasi dan pengetahuan yang lain.
  20. Bila budaya menulis membuat kita terlatih berargumentasi dengan runtut/logis, budaya membaca membuat kita selalu berpikir terbuka. Pada akhirnya, berpikir jernih.
  21. “Misalnya Anda bilang tidak suka demokrasi, tidak bisa dihukum. Itu kan melanggar. Siapa yang mau menghukum orang yang bilang tidak suka demokrasi. Saya komunis, tidak bisa dihukum!” (Maret, 2013)
  22. Pernyataan di atas contoh dari bagaimana berpikir terbuka dan sekaligus jernih dalam membaca persoalan sosial relasinya dengan konstitusi negara. Itu kalimat dari Kanda Prof. Mahfud M.D.
  23. Teks fenomenal Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang disusun Nurcholish Madjid itu, misalnya, lahir dari tumbukan bacaan dan diramu dengan pengalaman interaksi yang luas serta terbangun oleh budaya menulis yang kuat.
  24. Gabungan budaya membaca yang kokoh dan budaya menulis yang getih menyorong Cak Nur ke dalam inovasi pemikiran keagamaan yang kemudian membuatnya berada dalam ruang perdebatan besar. Teks “Pembaruan” yang dihasilkan menjadi perbincangan yang luas.
  25. Budaya menulis menjadi budaya himpunan bila ia masuk dalam kurikulum perkaderan; diasah secara harian dalam diskusi-diskusi terbatas setelah Latihan Kader. Budaya menulis—termasuk budaya (membaca) buku terbentuk dari pembiasaan lingkungan.
  26. Dengan budaya menulis yang tumbuh baik baru kita bisa merancang niat menyusun rantai sejarah Islam di Indonesia yang terserak-serak–baik peristiwa harian, resonansi gagasan, sejarah media, rantai pergerakan, maupun jejak-jejak tokoh dan warisan mereka–bisa disusun.
  27. Tahukah Anda pergerakan (politik) umat Islam di Indonesia tak memiliki riwayat yang betul-betul komplet jika kita tarik mata rantai itu dari kehadiran Sarekat Islam di tahun 1912 (1909?).
  28. Buku besar umat Islam di Indonesia itu tak pernah benar-benar ada di muka bumi ini bila tak ada budaya menulis di lingkup calon-calon sarjana Muslim yang memilih HMI sebagai ruang belajar berorganisasi.
  29. Adakah Anda temukan buku-buku seperti ini: (1) Buku Apa & Siapa 1000 Tokoh Muslim Indonesia Terkemuka; (2) 150 Tahun Pers Islam; (3) Kronik Islam Hari Demi Hari, 1912-2017; (4) Seratus Organisasi Pergerakan Islam Indonesia Terpilih; (5) Seratus Teks Islam Terpenting yang Membangun Keindonesiaan.
  30. Mungkin terlalu ideal. Baiklah, turunkan target dalam konteks lokal. Anda bisa bayangkan, dalam lingkup Jogja sebagai kota di mana HMI didirikan, kita tak punya buku utama yang mengisahkan secara detail bagaimana kiprah HMI Cabang Yogyakarta menyumbang “sesuatu” untuk Islam di bumi Mataram.
  31. Sampai di sini kita bertemu kendala lain pada soal kultur pendokumentasian dan pengarsipan dalam kolam aktivitas himpunan. Mungkin juga pada umat Islam secara umum.
  32. Di HMI, budaya mendokumentasi/mengarsip tak diperkenalkan, apalagi dipraktikkan dalam kehidupan harian organisasi. Pengorganisasian data sebagai basis pengetahuan musykil dilakukan tanpa dibangun budaya pendokumentasian yang baik.
  33. Kita sesungguhnya tidak tuna benar. Budaya itu pernah ada. Pernah. Mungkin kekhilafan yang panjanglah yang membuatnya menjadi sesuatu yang asing dan tak pernah dekat.
  34. Bila dalam sebuah perhimpunan gairah merengkuh pemikiran tampak meluap-luap yang disertai perdebatan dalam teks, yakinlah budaya menulis, budaya membaca, dan budaya dokumentasi terawat baik.

* Disampaikan dalam Pelantikan Korkom UNY dan Seminar Nasional “Gerakan Intelektual Mahasiswa untuk Kesejahteraan Sosial”, 7 Mei 2017, Gd Ki Hadjar Dewantara, Fakultas Ilmu Sosial, UNY.