Harikatha, Jalan Kembali ke Buku

Di Hari Buku Nasional, 17 Mei, atau bertepatan dengan hari ulang tahun Perpustakaan Nasional, izinkan saya menekankan kembali bahwa nuklea perpustakaan itu adalah buku; bukan bangku, bukan meja, bukan rak, apalagi AC. Tak ada buku, tak ada perpustakaan.
Perpustakaan itu rumah besar bagi buku, ya; tapi bukan satu-satunya. Buku itu sendiri sesungguhnya adalah rumah bagi pemikiran, rumah bagi ragam pendapat dan ide(ologi). Jika demikian adanya, buku bukan sekadar benda mati, melainkan peluru, melainkan senjata bagi dunia kecendekiaan, dunia pencerahan, dunia budi.
Memandang buku sebagai buah dari kecendekiaan, peluru-peluru bagi pemikiran, menggeser cara kita memperlakukan buku bukan sebagai sekadar kumpulan kertas yang dibinding dengan lem atau kawat dengan ukuran yang khas.
Karena buku adalah ruh bagi pemikiran, buah dari budi, maka membacanya menjadi upacara yang mulia; kerja yang tak sembarangan dan serampangan. Membaca pun menjadi semacam “obat” untuk menyelesaikan ragam masalah kehidupan.
Dibimbing kepercayaan seperti inilah, perpustakaan muncul sebagai ruang suci upacara membaca. Pahamlah kita mengapa dalam beberapa perpustakaan itu dikenal laku hening. Karena ia serupa altar upacara mereguk hikmah yang dipancarkan oleh buku.
Jika membaca adalah syariat, jalan, sementara perpustakaan adalah rumah peribadatan; maka buku adalah penuntun hidup yang dimuliakan. Oleh negara lewat pustakawan, oleh para kamitua, oleh siapa pun yang menyadari pentingnya buku menasehati untuk menemui buku lewat syariat dan rumah-rumah ibadat yang ada lewat perpustakaan.
Mereka yang pertama-tama melaksanakan syariat atau jalan kembali ke buku dengan cara seperti ini mestinya para pustakawan. Mereka itu ahli buku. Mereka setiap hari, setiap waktu dikelilingi roh-roh pemikiran. Mereka adalah garda terdepan, bukan hanya ahli dalam klasifikasi, teknisi restorasi, pengisi katalog daring, tapi juga teladan bagaimana memperlakukan buku dengan segala syarat-syariatnya.
Pustakawan itu ahli dalam mengenali ragam corak pemikiran yang dipancarkan buku-buku. Mereka memiliki lebih banyak waktu lebih dari siapa pun di muka “bumi yang datar” ini untuk bercengkerama dengan buku.
Jika banyak angka minor terus didengungkan di telinga soal minat baca dengan segala rupanya, mula-mula yang diperiksa adalah kesehatan para pustakawannya. Sudahkah mereka kembali ke buku secara kaffah, secara murni dan konsekuen.
Jalan Harikatha
Kembali ke buku punya makna esoterik, yakni bukan mengumpulkan buku sebanyak-banyaknya, namun membaca buku setekun-tekunnya. Membaca yang tekun itu, yang khusyuk itu, bisa dilakukan secara berjemaat maupun secara sendiri.
Dalam historiografi Nusantara, membaca buku secara berjemaat itu sudah dimulai pada 14 Oktober 906 M di Kediri. Buku yang dibaca adalah Wirataparwa, buku pertama yang diselesaikan penerjemahannya ke dalam bahasa Jawa dalam proyek negara penerjemahan Mahabharata. Metode itu disebut harikatha.
Metode harikatha kembali ke buku dengan jalan membaca ini masih berlangsung hingga kini dalam pengajian para mbah atau anak-anak muda di masjid. Sebuah buku dibacakan secara keras dan diberi pengertian oleh seorang ahli yang dipercaya para jemaat. Begitu seterusnya; dari kata per kata, kalimat per kalimat, halaman per halaman. Berkesinambungan setiap pekan yang disepakati.
Di Indonesia, di antara sebagian kecil para pegiat buku, model harikatha ini diperkenalkan kembali Sigit Susanto. Ia yang tinggal di Zug, Swiss, bersama istrinya ini mengikuti pengajian harikatha di klub buku James Joyce. Menurut Sigit, satu buku biasanya baru bisa rampung dibaca butuh waktu lebih kurang tiga tahun.
Harikatha ala Swiss itu dipraktikkan secara konsisten di sebuah desa terpencil di Lebak, Banten. Sudah satu dekade lebih taman baca di desa terpencil ini membaca Max Havelaar karya Multatuli. Jika ada kelompok kecil masyarakat yang nyaris menghapal paragraf demi paragraf karya Multatuli itu, mereka itu adalah anak-anak dan remaja di Ciseel. Di kabupaten/kota lain Kendal, Jogja, Bandung, Kediri harikatha pernah juga diselenggarakan.
Metode harikatha ini tentu bisa disegarkan kembali oleh guru di sekolah, oleh komunitas-komunitas penyelenggara literasi di kampung-kampung. Tentukan “buku-buku utama” yang bergizi. Harikatha kemudian menjadikan jalan kembali ke pangkuan buku menjadi berkualitas.
Jika pustaka dinamis dilakukan para pegiat literasi, maka pustaka statis seperti perpustakaan publik kita dorong memundaki buku dengan memperbaiki kualitas. Salah satu kerja utamanya tentu saja menelisik, menyidik, dan mengeluarkan rekomendasi “buku-buku utama”–atau buku bermutu menurut amanat UU Sistem Perbukuan–untuk dikonsumsi kalangan tertentu, keluarga, sekolah, maupun kawasan tertentu.
Tugas para pustakawan secara kolegial yang “kembali ke buku secara berkualitas” itu adalah, misalnya, mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi seperti ini setiap tahun, setiap momentum tertentu: “100 Buku Cerita Anak Terpilih 2016-2017”; “250 Buku Terpenting Soal Jogja di Hari Ulangtahunnya ke-250”; “200 Teks/Buku Jawa Terpenting Menyambut 200 Tahun History of Java”; “30 Buku Utama Patut Baca di Bulan Ramadhan“; 99 Buku Fiksi Utama Sepanjang Masa untuk Pelajar”.
Dengan begitu kita jadi tahu bukan saja pencapaian kita atas buku bermutu, tapi juga kualitas pustakawan kita mengenali buku di Hari Buku.