Literasi Guru-Bangsa

Saat diundang dalam acara literasi di hadapan para calon guru di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Jombang di pekan kedua Bulan Kemerdekaan, saya teringat frase founding father yang memiliki padanan unik dalam bahasa Indonesia: Guru Bangsa.

Sebutan ini bermakna pribadi yang pengabdian hidupnya melampaui ruang dan waktu pribadi dan keluarganya.

Dalam arti sempit, betul, guru bermakna mereka yang berdiri di kelas, mengajarkan pengetahuan di hadapan pribadi-pribadi pengetahuan tertentu.

Namun, guru berarti pula pribadi yang menyebarkan pengetahuan di lembaga-lembaga sosial keagamaan dan padepokan-padepokan khusus dengan keutamaan yang diakui oleh publik.

Guru bangsa gabungan dari itu semua, bahkan lebih. Ia bukan sekadar guru formil dan bukan pula mesti berasal dari kelas bangsawan tertentu.

Seorang “guru bangsa” adalah pribadi yang mewakafkan dirinya untuk kemaslahatan umat, memperjuangkan kesejahteraan sosial, menyerukan pembebasan dan pemanusiaan manusia, mengajak ke jalan pencerahan dengan jalan organisasi dan pendidikan, dan tak sudah-sudah menjadi perekat keragaman.

Dalam konteks kekinian, lebih khusus ketika isu gerakan literasi mengalami pasang, frase “Literasi Guru Bangsa” kita bisa sodorkan. Literasi jenis ini adalah suatu usaha penggalian dan penanaman nilai-nilai utama “guru bangsa” dalam praktik harian berbangsa.

Dalam praksis dalam kelas pendidikan, literasi guru bangsa bisa berbentuk penanaman model pengajaran kolaboratif di mana guru adalah teladan dan sekaligus sahabat bagi siswanya. Dalam model literasi kolaboratif ala guru bangsa ini, di suatu keadaan guru bisa berguru kepada muridnya, dan di suatu situasi guru menjadi sahabat siswa.

Literasi guru bangsa ini secara tepat dan akurat dirumuskan Ki Hadjar Dewantara lewat parafrasa Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mbangun Karsa, Tut Wuri Handayani.

Dalam konteks ing ngarsa, guru adalah pemimpin dan berada di front dalam amal, kreativitas, dan keberanian.

Guru dalam konteks ing madya berarti pribadi yang hidup di tengah massa, menyelami hidup massa, dan belajar bersama massa. Hanya dengan begitu, seorang guru bisa merasakan denyut hidup massa.

Guru pun bisa berada di front belakang, tut wuri handayani, yang memangku mereka yang paling menderita, minoritas, paling lemah, dan mendorong kelahiran generasi-generasi baru.

Begitulah posisi seorang guru yang memiliki kesadaran literasi bapak-bangsa yang senantiasa dinamik dan bergerak; kadang di depan, di tengah, dan kerap berada di garis belakang.

Literasi guru bangsa, oleh karena itu, bukan sesuatu yang baru. Dasar-dasarnya yang kokoh telah ditanamakan lewat jalan sejarah pergerakan yang liat.

Ki Hadjar Dewantara mempraktikannya lewat pengajaran pembebasan berbasis tiga ruang: keluarga, perguruan, dan pergerakan. Sukarno dan Hatta masing-masing pribadi mempraktikan literasi ini dengan jalan pendidikan massa dan sekolah kader revolusi. Atau, Tan Malaka membuka sekolah dasar untuk anak-anak.

Kiai Hasyim di Jombang dan Kiai Dahlan di Jogja maupun Tjokro di Surabaya mengejawantahkan literasi guru bangsa dalam kultur pendidikan keagamaan lewat sentuhan tradisi di perdesaan dan budaya modern di perkotaan.

Kita pun tahu bahwa literasi guru bangsa adalah upaya kita mengembalikan hakikat dan posisi guru dalam sirkuit yang sudah digariskan mereka yang kita sebut “Guru Bangsa”.