17-an Penghabisan Orang Kominis

Sudah 72 tahun Indonesia memperingati Hari Merdeka-nya. Alhamdulillah, kalian bisa melihat Negara Indonesia hingga berusia 72 tahun di tahun 2017. Di Soviet, orang hanya bisa melihat bentuk USSR hingga tahun ke-70. Di tahun ke-70 itu, Soviet sebagai Negara Kesatuan runtuh dan berganti dengan Rusia.

Yang ngenes tentu saja kominis di Indonesia. Mereka hanya melihat Indonesia di usianya yang ke-20. Indonesia sih tetap jalan terus, orang kominis yang terjungkat.

Kegiatan 17-an yang mereka ikuti berhenti di tahun 1965. Angka 20 adalah angka penghabisan; tapi, ya, namanya saja rahasia Yang Mahakuasa, orang kominis menghadapinya dengan optimistik.

Bacalah pernyataan resmi mereka di 17-an penghabisan yang menggebu-gebu betul dengan gairah kemenangan.

20 tahun jang penuh djurang dan randjau, tetapi 20 tahun pula penuh permata pengalaman dan peladjaran, 20 tahun jang tak terpermanai, 20 tahun jang sama dengan 2.000 tahun, 20 tahun jang sekali hidup takkan mati2, 20 tahun jang menderu kentjang dari angin dan men-jambar2 hebat dari halilintar!

Halilintar, Sodara! 2.000 Tahun, Sodara! Chairil Anwar dan followers-nya hanya berani tereak sampai angka 1000. Orang kominis beda. Seribu di(a)kali dua. Jika halilintar berlangsung 2.000 tahun, bayangkan saja nasib si imperialis. Kiamat! Mungkin, orang kuminis ini membayangkan Indonesia di umur 20-an tahun itu seperti pendekar linuwih dari Hutan Larangan di lereng Merapi bernama Sembara yang memegang cambuk api untuk menggasak Mak Lampir. Sembara si Pendekar Cambuk Halilintar itu Indonesia, Mak Lampir itu si imperialis, si tukang culik Farida yang menjadi sumber daya desa yang potensial. Kira-kira begitu. Mekso? Biarin. Tuh, Misteri Gunung Merapi (The Series) diputar ulang RTV dengan tajuk “Mega Klasik”.

20 tahun jang penuh rataptangis pada puluhan, ratusan ribu keluarga jang kehilangan anggotanja dipadang perdjuangan, tapi 20 tahun jang penuh airmata kebahagiaan pula pada lebih seratus djuta manusia jang tahu arti merdeka dan tahu bagaimana membela hak2 jang dimenangkan.

Pada 17-an penghabisannya, orang kominis dengan optimistik memainkan angka-angka ratusan untuk sebuah ratap tangis, untuk kehancuran keluarga demi “membela hak2 jang dimenangkan”. Optimisme yang berbalik menusuk balik kominis yang tak pernah lagi ikut 17-an bersama warga Indonesia lainnya. Sebab, 17-an yang ke-21, justru orang kominis menerima realitas mereka terkena sabetan cambuk Halilintar di mana “ratusan ribu keluarga jang kehilangan anggotanja dipadang perdjuangan”.

20 tahun dengan Merah Putih, 20 tahun dengan Indonesia Raya, 20 tahun dengan Bhineka Tunggal Ika, 20 tahun dengan Pantjasila, 20 tahun dengan Bung Karno! 20 tahun jang luhur karena didukung Rakjat, 20 tahun jang hidup karena dihidupi Rakjat, 20 tahun jang militant karena dajadjuang Rakjat, 20 tahun jang agung karena dajakreatif Rakjat!

Sudah jelas, dua puluh tahun sejak Negara Indonesia lahir, orang kominis bersama-sama di bawah kibaran sarung merah putih, lagu nasionalnya tetap Indonesia Raja, masih di bawah panji Pantjasila, juga berbaris di belakang kepemimpinan Sukarno. Lha, 1948 itu kominis ‘kan bero(n)tak? Nah, orang kominis sudah bikin pleidoi dan dibacakan di pengadilan tahun 1955 soal ’48 itu. Perkara membacanya atau tidak, orang kominis yang menempatkan “dajakreatif” dan “dajadjuang” rakyat sebagai sesuatu Yang Agung itu, sudah membeberkan pembelaannya atas semua dakwaan yang dituduhkan lawan-lawan politiknya.

20 tahun jang ada dihadapan kita menanti otak kita, tjurahan hati kita, tangan kita, keringat kita! Mari kita djadikan 20 tahun j.a.d. ini tak kalah sibuknja, tak kalah besarnja, tak kalah dahsjatnja. Ja dari 20 tahun jang silam, mari kita djadikan 20 tahun j.a.d. ini periode penentu bagi kemenangan terachir Rakjat Indonesia jang djaja!

Optimisme orang komunis ini meleset. Bukan 20 tahun yang akan datang, melainkan 2 bulan yang akan datang. Pada dua bulan ke depan itu kominis tak sedang sibuk, besar, dan dahsyat merayakan kemerdekaan Indonesia, melainkan diburu dan dibantai. Bukan airmata haru dan bangga yang diraih, tapi pemusnahan dari sebuah persekongkolan jahat atas nama “Indonesia Merdeka”.

Terakhir, dan ini khusus kepada para pedagang buku menghadapi 17-an, di hari ultah RI ini orang kominis itu seperti pelapak-pelapak onlen kiwari. Ikut bergembira merayakan 17-an, Buku Mojok, Ultimus, Marjin Kiri, Berdikari Book, Bentang Pustaka, dan puluhan pelapak orang kominis juga ikut serta jualan buku bermutu dengan harga miring diagonal. Bergembira boleh, tapi jual-beli buku jalan terus. Prinsip orang kominis ini bisa jadi begini: berpartai harus, tapi jangan lupa nulis buku, cetak buku, dan sekaligus jual sendiri lewat jalur onlen mandiri. Bahkan, di hari sakral buat sebuah negara.

Begini bunyi iklan penerbit orang kominis bernama Jajasan Pembaruan tepat di tanggal 17 di bulan Agustus di tahun ke-20 Republik Indonesia berdiri sebagai sebuah negara; lengkap dengan harga dan ongkir. Ini juga masuk kategori iklan buku penghabisan orang kominis di Hari Kemerdekaan RI:

Sudah Terbit:

D.N. Aidit

MARXISME-LENINISME

DAN

PENG-INDONESIAANNJA

(Tjetakan ke-II)

Pokok2 tceramah D.N. Aidit didepan Latihan kemiliteran Pegawa Sivil (LKPS) Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.

Harga: Rp. 150,-

Ongkoskirim: Rp. 50,-

Pesanlah segera pada:

Jajasan ‘PEMBARUAN’

Kotakpos 2522

Kramat V/7

Djakarta.