Setelah puluhan kali mengirim setelah dimuat artikel saya pertama kali di Kompas, inilah buahnya. Resensi pertama di harian kompas. Inilah wujudnya. Buku yang sesuai minat saya sejak awal, sejak saya masih di Sekolah Teknologi Menengah. Tentang peradaban.
KOMPAS – Minggu, 08 Aug 1999 Halaman: 11 Penulis: MUHIDIN Ukuran: 8770
JALAN AWAL DIALOG ANTARPERADABAN
*The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia,
Marshall GS Hodgson, penerjemah: Dr Mulyadhi Kartanegara (Paramadina,
April: 1999) xxv+356 (termasuk indeks), Harga Rp 42.250
SEBENARNYA, sikap keberagamaan yang komunalistik dan simbolik
tidak berbahaya dan mengarah pada sektarianisme ekstrem manakala ada
diskursus genre tentang sejarah peradaban. Bahwa antara historisitas
agama dan agama itu sendiri memiliki signifikansi sekaligus
insignifikan. Tinggal, sejauh mana umat menempatkannya dalam ruang
madah yang pluralistik ini.
Di sinilah problematisnya. Seringkali penanda antara “Islam
historis” dan “Islam normatif” mengalami distorsi di tingkat praksis
(politik). Bahwa ajaran-ajaran Islam harus mengatur politik iya,
tetapi yang terjadi (terkadang) justru sebaliknya. Yakni, eksploitasi
nilai-nilai Islam oleh kelompok dan elite politik. Hasilnya adalah
politik “hasutan omong kosong” (sheep demagoguery), bukannya politik
yang terilhami oleh moral.
Akibatnya, slogan “agama dan politik dalam Islam adalah tak
terpisahkan”, cenderung dipolitisir untuk menipu orang-orang awam agar
menerima bahwa alih-alih politik atau negara yang melayani tujuan
jangka panjang Islam, tetapi justru harus melayani tujuan-tujuan
sesaat partai-partai politik.
Lewat buku 356 halaman ini, pembaca diberi penjelasan yang
mengesankan dalam diskursus peradaban Islam di antara tarikan-tarikan
kepentingan politik dan ideologi. Dalam buku ini pembaca budiman akan
diuji kedewasaannya untuk terbuka dalam dialog, khususnya mereka yang
selalu bersemangat uniformitas, eksklusif, dan apologetik ketika
terlibat dalam dialog. Selain itu pembaca juga diminta ketahanan
membaca buku ini, karena, selain isinya padat bernas, penyajian buku
ini juga amat ketat dan serius. Namun, cukup menggugah dan memancing
keingintahuan khususnya pada bahasan tarik ulur antara Barat
(peradaban yang dikecam Hodgson habis-habisan) dan peradaban Islam
(yang dibelanya mati-matian).
Buku yang aslinya berjudul The Venture of Islam Conscience and
History in a World Civilization ini merupakan buku pertama dari enam
buku yang terbit dalam edisi Indonesia. Ide-ide pokok buku ini sudah
dipersiapkan Marshall GS Hodgson sejak usia 19 tahun. Pantas, The New
Yorker memuji karya ini sebagai “maha karya yang tiada ban-dingannya,
bukan hanya karena mutunya, tetapi juga karena buku ini telah
menunjukkan bagaimana seharusnya sejarah itu ditulis”.
Sementara Archibalo R Lewis, sejarawan AS, menyebutnya sebagai
penelitian intelektual yang paling lengkap dan memuaskan tentang
peradaban Islam. “Inilah buku terbaik tentang Islam di luar yang
berbahasa Arab,” kata Prof Nurcholish Madjid terkagum saat peluncuran
buku ini dalam edisi Indonesia pada 19 April 1999. Tak heran jika
karya ini mendapat Ralph Waldo Emerson Award pada tahun 1975.
Buku ini dipilah atas tiga bagian: (1) pengantar pada pengkajian
peradaban Islam yang meliputi transelerasi bahasa (Arab, Persia,
Turki, Utsmaniah, dan Urdu), metodologi analisis peradaban, pembahasan
dasar tentang istilah-istilah fenomenologi “Arabik”, “Allah”,
“syari’ah”, “Riwayat Hadits”, (2) prolog umum, yakni visi Islam dalam
agama dan dalam peradaban; dan (3) membentangkan lahirnya tatanan baru
Islam berdasarkan tinjauan peran Islam sampai pada pergolakan masuknya
Islam dalam gelanggang politik kenegaraan.
SEBAGAIMANA Arkoun dalam Rethinking Islam, dalam buku ini Hodgson
menyerang secara kritis etnosentrisme Barat dan Eropa atas Islam
dengan sebuah proyek konstruksi kritik historis dan epistemologis
tentang pelbagai prinsip, pengertian-pengertian, definisi-definisi,
alat-alat konseptual, alasan-alasan logis yang diskursif, yang
digunakan dalam konteks keislaman.
Hodgson memulainya dengan pelacakan dan tafsir atas perkembangan
peradaban Islam secara “holistik”. Menurut dia, ide-ide peradaban
Islam itu pada dasarnya inklusif dan pluralis, terutama pada praksis
negara Madinah yang disemaikan Nabi Muhammad SAW, beserta kulafaur
rasyidin selama 30 tahun. Namun praksis yang begitu anggun itu
terkotori oleh metodologi (penulisan) sejarah yang bias dan tidak
seimbang.
Tentang prakomitmen atau bias-bias ini, Hodgson mencatat bahwa,
“Telah ada kecenderungan di kalangan orang-orang Kristen yang mau
mengakui keabsahan spiritual Islam, namun lebih sebagai versi
terpenggal dari kebenaran Kristen. Demikian juga, kaum muslimin telah
secara historis melihat agama Kristen sebagai Islam yang ternoda.”
Bila bias pandang itu dikembangkan maka berakibat tidak sehat, paling
tidak untuk tujuan-tujuan historis.
Sementara itu berbagai upaya menjembatani berbagai konflik itu
seringkali gagal karena adanya klaim identitas yang diistilahkan
Hodgson bertendensi “tangan mati tradisi”. Yakni pengungkapan
identitas yang diperagakan secara keras, kasar, dan fanatis. Pun kalau
terjadi dialog hanya sekadar arena “pengadilan keberimanan” sepihak
dan secara sewenang-wenang memberi “kata putus” atas tradisi
tandingannya.
Dalam banyak hal, seperti diurai Mulyadhi Kartanegara, dosen IAIN
Ciputat yang pernah mengecap kuliah Hodgson tahun 1980-an, The
Venture of Islam mewakili puncak tradisi Barat dengan kajian-kajian
Islam. Hodgson, dalam taraf tertentu, memang tidak mengkonfirmasi
secara kasat mata apa saja bibit konflik antarperadaban itu. Namun
secara eksplisit ketika ia berusaha menempatkan peradaban Islam dalam
konteks historis dunia, di situ ia memperlihatkan bahwa akar konflik
itu terletak pada bias (penulisan) sejarah yang sengaja direproduksi
untuk saling melecehkan.
Oleh karena itu, upaya Hodgson mengangkat Islam, yang diakuinya
sebagai salah satu imperium di atas singgasana percaturan peradaban
dunia, bisa disebut sebagai upaya fantastis khususnya bila kita
melihat latar belakang Hodgson yang berpendidikan Barat dan beragama
Kristiani.
Islam, kata Hodgson, karena kelengkapan visinya – sebagai yang
terbaik yang termaktub dalam QS, 1:150 – tidak akan pernah betul-betul
sama dari satu tempat dengan tempat yang lainnya. Sehingga, dengan
menempatkannya sebagai bagian dari Islam historis, Islam bisa bebas
dari sakralisasi kritik. Oleh karena itu, visi islami yang ditafsirkan
secara beragam itu menjadi sebuah mainstream untuk membangun sebuah
masyarakat yang beradab, inklusif, dan melahirkan hasil-hasil nyata
yang tak terduga. Ini menunjukkan bahwa, ternyata wacana-wacana
pluralisme dan inklusivisme merupakan sebuah mainstream yang lahir
untuk membangun sebuah peradaban.
***
PENDEKATAN interegional Hodgson atas sejarah dunia Islam ini
adalah gugatan keras atas interpretasi makna historis peradaban Islam
yang kerdil dan tertutup. Dengan senantiasa berusaha untuk menyelipkan
kisah peradaban Islam ke dalam masyarakat manusia melek huruf, Hodgson
secara tegas menolak paradigma interaksi (etnosentrisme Barat) yang
memakai standar ganda (double standard) ketika menilai peradaban lain
(Islam).
Melalui rangka pikir seperti itu, secara historis geneologis, kata
Hodgson, Islam bisa menjadi ideologi perekat atas runyamnya konflik
khususnya Islam dan Kristen. Yakni, membuka cakrawala sikap beragama
dari eksklusif ke inklusif dan bermuara pada pluralisme. Hal ini
ditunjukkan Hodgson, semisal, ketika menyelidiki korespondensi Islam
melalui cita-cita formatifnya, seperti mengubah urutan pencarian
(kebenaran historis), dari tingkat sekte (konflik antarkelompok) ke
tingkat universalitas agama-agama. Dengan kata lain, buku ini
merupakan jalan awal memasuki ruang bagi terjadinya dialog
antarperadaban.
Cuma, kadang agak harus sabar membaca buku ini kalau ada kata yang
sulit dipahami. Misalnya penggunaan istilah Islamicate, Islamdom,
Agrarianate, Islamics, atau dari Nil sampai Oksus. Kesabaran juga
diperlukan ketika kita membaca bentangan peta-peta yang disajikan
dalam buku itu.
Buku ini memang bernas, tegas, dan serius. Bagi mereka, khususnya
para sejarawan (kini) yang tertarik pada sejarah sosial dan ekonomi
kaum muslimin, petualangan Hodgson patut disambut, ketika dalam
sejarah peradaban dunia terjadi transmutasi yang memisahkan diri atas
sesama di luar peradaban kita. Dan bagi kita di Indonesia yang amat
majemuk dan kaya khazanah budaya, buku ini bisa menjadi panduan agar
kita bisa bersikap inklusif di tengah pluralisme bangsa, menghormati
satu sama lain dan menjauhi sikap melecehkan.
(Muhidin, Pelaksana Lingkar Jurnalistik “Goresan” HMI IKIP
Yogyakarta)