::gus muh
Inilah buku pertama yang saya buat sekira tahun 2000. Sebuah buku yang dilahirkan dari mentalitas maniak diskusi. Di tahun 1998-2001, saya mengisi hari-hari dengan diskusi. Tiada hari tanpa diskusi; baik menghadiri diskusi yang dilakukan kelompok mahasiswa lain maupun diskusi yang dibuat sendiri.
Kelompok diskusi itu saya beri nama ‘Kelompok H-1’. Banyak sekali orang hadir di sini, khususnya tiap Jumat malam. Macam-macam tema diskusi dan macam-macam pembicara yang saya panggil. Setahu saya Gus Zen Rahmat Sugito pernah berdiskusi di sini. Waktu itu dia masih culun sekali. Seorang mahasiswa olahraga yang baru masuk kampus. Ra iso nulis, dan masih tahap belajar awal untuk nyontong-cocot-mawut yang sedikit intelek. Entah setan apa yang masuk ke otaknya, kok dia cerdas sekali hari ini. Hahahahaha….
Selain menjadi salah satu sayap pemikiran dinamis di HMI MPO IKIP Jogjakarta (bahkan HMI Cabang Jogja), kami juga disokong penuh oleh koran internal kami yang agresif: Goresan (buletin) dan Karangmalang Pos (koran tempel). Koran Karangmalang Pos ini adalah pionir (sebelum Bulaksumur Pos dan Balairung Koran di UGM ada) untuk koran komunitas yang menghubungkan antara masyarakat kampus (IKIP) dengan warga 4 kampung di sekitarnya (Karangmalang, Kuningan, Samirono, Gejayan). Bahkan kehadiran koran ini diikuti oleh komunitas lain seperti KAMMI…. Sayang koran ini mulai meredup sejak edisi membahas tuntas Hantu dan Titik-Titik Rawan Penampakannya di Kampus IKIP.
Jika pada kelompok lain semasa diskusi hanya berakhir pada hari diskusi itu sendiri, maka saya berinisiatif bagaimana jika sebuah diskusi diakhiri dengan buku. Tapi diskusi yang kami lakukan ini bukan diskusi biasa yang rutin dan reguler. Sebut saja ini diskusi besar. Atau diskusi tahunan.
Ada segelintir orang yang berperan besar dalam diskusi ini. Saya sendiri sebagai koordinator. Ada M Bakkar Wibowo yang mengantar surat dan sibuk mencari panitia. Ada Diana Dewi dan Nurul Hidayah yang menjadi tulang punggung di hari-hari diskusi besar ini. Dan ada Jarot Doso Purwanto, mantan wartawan Republika yang menjadi tempat saya mematangkan ide dan tema diskusi besar ini.
Diskusi ini kami namakan Pesantren Sosialisme Religius. Tema ini diangkat karena kami sebagai pelaksana diskusi adalah para aktivis Islam yang di saat yang sama ketemu sebuah suasana booming buku-buku kiri di Indonesia, terutama sekali di Jogjakarta. Nama ‘pesantren’ kami bawa-bawa untuk mengesankan bahwa ini pengajian, khalqah, dan bukan kongres atau apalah namanya. Karena pesantren, maka tempatnya pun di masjid kampus.
Tiga istilah: ‘pesantren’, ‘sosialisme’, ‘religius’ adalah perpaduan yang aneh. Dan itulah magnet yang coba kami tawarkan. Lalu kami mengundang para aktivis Islam (Sunni-Syiah), intelektual muda dari sudut kiri sekuler, maupun penulis muda. Kami juga mengundang sekira 20-an pesantren di sudut-sudut Jogjakarta. Saya sendiri yang kena tugas mengantar undangan berboncengan dengan Bono Kuswolo. Sementara M Bakkar Wibowo kebagian tugas menciduk satu per satu pembicara dari kos-kosan mereka dengan terlebih dahulu memfotocopy makalah mereka.
Diskusi itu berlangsung selama empat hari: 16-19 Februari 2000 di Masjid Al-Mujahidin Jogjakarta—di masjid ini pula empat tahun kemudian seorang khatibnya di mimbar jum’at menuduh saya sebagai antek Yahudi setelah menerbitkan buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!
Inilah para pembicara yang kami undang itu:
>> Budi Irawanto dengan makalah “Adakah Secercah Pijar bagi Sosialisme?”
>> Imam Yudhotomo dengan makalah “Meretas Langkah Sosialisme Demokrasi”
>> M Ihsan Abdullah dengan makalah “Sosial Demokrasi Kerakyatan: Menuju Revolusi Sejati”
>> Muhammad Romzy dengan makalah “Ideologi dan Pseudo-Ideologi”
>> Jarot Doso Purwanto dengan makalah “Lanskap Sosialisme Religius di Indonesia”
>> Ali Rizkatillah Audah dengan makalah “Sosialisme Religius Imam ‘Ali Karamallahu Wajhahu: Sebuah Tafsir Nilai-nilai Sosialisme dalam Kitab Nahjul Balaghah”
>> Muhammad Mustafied dengan makalah “Merancang Ideologi Gerakan Islam Progresif-Transformatif: Mempertimbangkan Islam Kiri Hassan Hanafi”
>> Islah Gusmian dengan makalah “Teologi Pembebasan: Dari membela Tuhan Menuju Membela Manusia, Sekilas Gagasan Ali Asghar Engineer”
>> Kiky Fardiansyah Wijaya dengan makalah “Tugas Rausyanfekr untuk Aksi Perubahan Sosial: Sebuah Risalah pemikiran Ali Syari’ati”.
Dari diskusi itulah terjelma buku Sosialisme Religius. Semua tulisan dikumpul, dirapikan. Ada juga naskah yang harus dimintai kepada penulis yang baru. Sebetulnya saya ingin sekali ada lima agama besar di Indonesia turut memberi sumbangsih bagaimana pertemuan kelima agama itu dengan sosialisme. Namun hanya Islam dan Katolik yang kami dapatkan penulisnya. Hindu, Budha, dan Protestan saya tak temukan penulis mudanya.
Inilah penulis-penulis yang saya undang untuk ikut bagian dalam buku ini:
>> Bonnie Setiawan dengan tulisan “Menyusuri Paradigma Alternatif Pasca Kapitalisme: Menimbang Tradisi Kiri”
>> Dadang Juliantara dengan tulisan “Teologi Agraria: Etika dan Politik bagi Jalan Keadilan Agraria”
>> Hajriyanto Y Thohari dengan tulisan “Koherensi Sosialisme dengan Agama”. Tulisan ini pernah dimuat di Kompas 8 Juni 1999. Pemuatan tulisan ini dalam buku atas izin penulisnya.
>> Suhendra dengan tulisan “Gerakan Sosio-Religius Yesus dari Nazareth: Suatu Penghampiran Sosiologis”
>> Awalil Rizky dengan tulisan “Sosialisme dan Agama, Bisakah Menjadi Sintesa Alternatif?”
Naskah-naskah terkumpul itulah kemudian saya pilah, saya konsultasikan, lalu saya buatkan benang merahnya dengan pengantar panjang. Karena buku ini memang tak dimaksudkan sebagai buku komersial, melainkan bunga rampai dari kelompok diskusi organisasi, maka semua penulisnya tak mendapat bayaran. Cukup diberi buku masing-masing penulisnya. Lagi pula mereka tak menyangka buku ini diterbitkan.
Karena ini buku pertama yang saya koordinatori pembuatannya—sejak dari masa pembuahan ide hingga berwujud menjadi buku—tentu saya tak tahu menahu bagaimana aturan main dalam menerbitkan buku. Ada orang mau membiayai penerbitannya saja sudah syukur tiada terkira.
Benar saja buku ‘yang bukan buku’ ini meledak dan naik cetak sampai 6 kali. Hahahaha, ternyata saya baru sadar bahwa saya ini punya potensi membuat buku-buku bestseller. Terutama sekali buku-buku yang orang akan berdiskusi sejak dari judulnya. Sebab buku ‘Sosialisme Religius’ ini yang mula-mula dibahas—dan ini sudah menjadi menu wajib diskusi—adalah mempersoalkan judulnya: apa hubungan antara sosialisme dan religius. Bisakah sosialisme dan religiusitas disatukan? Dan inilah buku yang menjadi jejak yang terdokumentasi bagaimana kemudian HMI MPO—khususnya Jogjakarta—berayun kuat dari kanan ke kiri. Padahal yang membikin ulah ini hanya sebagian orang. Pada kongres nasional setahun berikutnya, ide bahwa HMI MPO berayun ke kiri ini berhembus sangat kencang. Cabang Jogjakarta yang membawanya.
Yang kedua yang mencolok dari buku ini adalah sampulnya yang menggabungkan antara bulan-bintang-palu. Banyak orang penasaran. Mirip komunis ya….. Tapi yakinlah bahwa bukan saya yang membikin sampul ini. Penerbit pun cuma dapat jadinya saja. Pak Harry Wahyu alias ‘si Ong’-lah yang menafsirkan sosialisme-religius itu seperti ini. Mungkin Pak Ong ini punya penginderaan ke-10 ketika naruh ada pemuda yang pakai caping di sana. Lha, saya kan suka sekali pakai caping ke kampus. Hahahahaha….
Sosialisme Religius: Suatu Jalan Keempat?
Editor: Muhidin M Dahlan
Penerbit: Kreasi Wacana, Juli 2000
Tebal: 292 halaman