Menulis Itu Seperti Para Darwis Yang Menari sampai “Trance”

Resensi ini adalah resensi tipuan saya yang pertama kepada redaksi Kompas (yang waktu itu diasuh oleh Pak Wisnubrata dan beliau sudah alm. Sorry pak). Sesungguhnya saya nggak terlalu suka buku ini. Nyaris buku ini hanya saya ambil sampulnya saja, isinya saya cari di tempat lain yang nggak ada hubungannya. Pernah masuk nominasi resensi terbaik mizan 2002, tapi dikalahkan oleh resensi saya yang lain: Islam Nusantara. Inilah resensi itu.

KOMPAS – Minggu, 21 Oct 2001 Halaman: 32 Penulis: Dahlan, Muhidin M Ukuran: 6185

MENULIS ITU SEPERTI PARA DARWIS
YANG MENARI SAMPAI “TRANCE”

Judul : Menulis dengan Emosi:
Panduan Empatik Mengarang Fiksi,
Penulis : Carmel Bird,
Penerjemah: Eva Y Nukman,
Penerbit : Kaifa Bandung, Cetakan I Juli 2001,
Tebal : 260 halaman.

“MENULISLAH. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari
dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah,” kata Pramoedya Ananta
Toer, pengarang besar Indonesia, dalam tetralogi keempatnya Rumah
Kaca (2001:352). Benar, menulis membuat kita abadi dalam kenangan
sejarah. Tapi lebih daripada itu, “Menulis bisa membuat ruhaniah Anda
sehat,” kata Carmel Bird, penulis buku Menulis dengan Emosi: Panduan
Empatik Mengarang Fiksi yang berjudul asli Dear Writer: The Classic
Guide to Writing Fiction ini.
“Menulislah-pada saat awal-dengan hati. Setelah itu, perbaiki
tulisan Anda dengan pikiran. Kunci pertama dalam menulis adalah bukan
berpikir, melainkan mengungkapkan apa saja yang Anda rasakan,” lanjut
Carmel sembari mengutip William Forester dalam film Finding
Forrester.
Perempuan penulis asal Tasmania ini merupakan salah satu barisan
penulis “kiat-kiat”, how to, dan motivator agar kehidupan kita yang
mengagumkan dan hanya sekali ini tidak terlewatkan tanpa aktivitas
menulis. Di Australia ia adalah seorang pengajar yang malang
melintang khusus mengajar mata kuliah creative writing.
Seperti judulnya yang menggugah, buku ini disulap seenak mungkin
untuk dibaca. Tidak ada gugusan teori berat yang disajikan di sini.
Penyajian materinya pun berbentuk surat-surat pendek, hanya
berkisar 3-4 halaman (ada 22 surat). Di setiap halaman buku ini juga
disajikan kata-kata bertuah tentang jagat kreatif kepenulisan dari
pengarang-pengarang besar. Memang buku ini dibuat lebih untuk
menggugah kesadaran emosional ketimbang pikiran.
“Para novelis yang melahirkan karya-karya monumental umumnya
memiliki kesadaran emosional yang luar biasa. Anda pun bisa melatih
itu, lewat apa saja: surat, catatan harian, dan terutama mau
meluangkan waktu barang sesaat untuk merenungkan pengalaman,” kata
Carmel.
***

MENULIS adalah kehidupan dan bahkan kehidupan itu sendiri. Begitu
mudahnya kata ini terdengar, tapi mengapa begitu banyak juga kita
yang sangat sulit untuk menghasilkan karya tulis yang baik. Sampai
pada akhirnya pelajaran mengarang di sekolah, bahkan menulis skripsi
di perguruan tinggi pun, seakan menjadi aktivitas yang sangat
menakutkan.
Menulis sesungguhnya mudah, indah, dan mengasyikkan. Kesulitan
orang untuk menulis, apalagi fiksi, karena mereka tidak mengenali
dirinya sendiri. Mereka umumnya membayangkan ingin menjadi Agatha
Cristie atau David Malouf atau Pramoedya atau Nh Dini; mereka umumnya
terjebak untuk menulis kisah “pinjaman”, bahkan imajinasi yang asing
yang tak pernah ia ketahui (hlm 37).
Padahal, untuk bisa menulis sesuatu yang baik, kita harus dekat
dengan obyek tulisan kita. Itulah pengalaman hidup.
“Imajinasi tanpa realitas akan membusuk,” kata Angela Carter
seperti dikutip Carmel. Artinya, seorang penulis tidak pernah
menganggap remeh kenyataan apa pun. Setiap tulisan merupakan dunia
tersendiri.
Seperti pengakuan Gabriel Garcia Marquez, novelis Amerika Latin,
yang lagi-lagi dikutip Carmel dalam buku ini: “Pujian terbesar untuk
karya saya tertuju kepada imajinasi, padahal sebenarnya tidak satu
pun baris di dalam semua karya saya yang tidak berpijak pada
kenyataan” (hlm 96).
Bagi penulis, apa pun yang ia kerjakan yang berkait dengan soal
kepenulisan, merupakan suatu bentuk peribadatan, suatu panggilan
hidup. Bagi mereka ini, menulis adalah seperti halnya para darwis
yang menari sampai trance.
Nah, bagi umumnya penulis profesional, dedikasi semacam itu sudah
tertanam sejak awal. Bila dedikasi ini tidak ditanamkan, kata Carmel,
maka dipastikan seseorang yang coba-coba berada di jalur ini akan
lumpuh. Itulah sebabnya, keinginan untuk terus menulis adalah sesuatu
yang tidak bisa ditawar-tawar (hlm 73).
***

MENURUT Carmel, untuk bisa menulis baik, diperlukan latihan tanpa
batas. Salah satunya adalah membuat jurnal, buku catatan, dan
kliping. Mengapa? Sebab mereka yang kembali ke buku harian adalah
orang yang mencari dirinya, penyusuran jalan menuju pengembangan dan
kesadaran, jalan menuju kreativitas.
Itu artinya, menulis yang rutin dan dengan sepenuh diri merupakan
obat paling manjur untuk menyehatkan jiwa. Coba simak pengalaman
novelis John Mulligan, seorang veteran Vietnam yang setelah kembali
dari medan perang kerjanya hanya lantang luntung di San Francisco.
Ternyata, perang Vietnam telah membuat hatinya bobrok.
Kehidupannya berubah setelah ia mengikuti workshop menulis yang
disampaikan penulis mahsyur, Maxine Hong Kingston. Usai mengikuti
pelatihan itu, ia segera menghambur keluar dengan perasaan gembira
sembari bersiul-siul.
Mulligan pertama kali menulis adegan-adegan menegangkan di medan
perang: tentang teman-temannya yang menembak membabi buta demi
kesenangan, membalas dendam tidak pada tempatnya, tentang darah,
desing peluru yang memekakkan, dan tentang perasaan kehilangan serta
kubangan kehampaan.
Tahun-tahun berikutnya, ia menemukan hal-hal yang mencengangkan:
menorehkan horor masa lampau ke dalam tulisan ternyata membantunya
menjernihkan pikiran dan mengangkat semangat hidupnya.
***

BUKU ini sangat bagus untuk mendorong motivasi kita untuk telaten
menulis. Walaupun merupakan panduan bagi penulisan fiksi, tapi buku
ini mampu menunaikan fungsinya melampaui tema itu. Ia memberi tahu
kita bahwa menulis itu sehat, sehat jiwa dan terlebih-lebih sehat
ragawi.
Kehadiran buku ini amat bermanfaat untuk menggairahkan kembali
budaya menulis dalam masyarakat kita yang kian memudar.

(Muhidin M Dahlan, mahasiswa Sejarah Peradaban IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta)