Spirit Novel, Demokrasi Budaya, dan Nekrokultura

Artikel ini saya tuliskan ketika saya masih aktif di Penerbit Jalasutra sebagai editor awal dan pertama. Lahirnya artikel ini bersamaan dengan perkenalan pertama saya dengan Milan Kundera.

KOMPAS – Minggu, 10 Nov 2002 Halaman: 18 Penulis: Dahlan, Muhidin M Ukuran: 8599

SPIRIT NOVEL, DEMOKRASI BUDAYA, DAN NEKROKULTURA
Oleh Muhidin M Dahlan
SPIRIT novel, kata Milan Kundera dalam Art of Novel (2002), adalah spirit festival atau upacara. Novel adalah wadah literer terbaik untuk menampung “heteroglasia”, yakni situasi bahasa yang
mencerminkan karnaval atau festival.
 
Dalam karnaval, apa yang disebut ruang publik dan waktu publik berpaut dalam keragaman yang “tidak saling mendelik dan cerca”, melainkan keragaman yang berpadu-baur. Di sana, keragaman suara tak
bisa diringkas dalam satu proses menuju sintesis atau konsensus.
 
Sebab, yang kita temukan di sana adalah keragaman yang lahir dari permainan yang riuh antarpelbagai bahasa, pelbagai wacana, baik bahasa penyair, bahasa jalanan, badut, maupun agamawan. Dalam ruang publik dan waktu publik, segala momen yang bersifat semantik, bahasa yang konkret dan indrawi, gairah, dan petualangan yang gila maupun geli, mendapat tempat tersendiri.
 
Novel menampung banyak suara yang datang secara serempak, saling mendahului dan berlomba, berlapis-lapis dengan tak ada kata putus tentang suara siapa yang menjadi representasi kebenaran (absolut).
Pengarang pun tidak. Mereka bukan ahli sejarah atau nabi yang membawa risalah abadi. Ia tak lebih sebagai wadah paling kasar dari sebuah proses cipta. Dan ia tidak boleh lebih pintar dari novelnya.
 
“Novel yang buruk (mutunya) adalah bila penulisnya lebih cerdas dari novelnya,” kata Kundera sembari menyitir Don Quixote karya Carvantes.
 
Bacalah novel Salman Rushdie berjudul Midnight Children, novel Arundhati Roy berjudul The God of Small Things, atau novel Jhumpa Lahiri berjudul Interpreter of Maladies. Bukan karena kebetulan kalau ketiga novelis itu berasal dari Anak Benua India-sebuah tanah “pascakolonial”-tapi novel-novel mereka merupakan representasi dari medan karnaval yang bersuara riuh dalam lintasan sejarah dan geopolitik yang serba gagap. 

Dan ketiga novel ini, kalau kita baca secara cermat, tak pernah merepresentasikan sebuah kebenaran absolut khas kaum literal atau agelaste-istilah terakhir ini saya kutip dari Milan Kundera untuk menyebut manusia literal yang mengalami “mati tawa”. Di sana ada keterlepasan. Pengarangnya sengaja membiarkan arus narasi berjuntai bebas memasuki ruang imaji pelakunya masing-masing. 

Demikianlah sifat khas karnaval atau festival yang tak harus tunduk pada otoritas, termasuk otoritas pengarangnya sendiri.

Spirit novel dan demokrasi budaya

Spirit novel yang berbasis karnaval atau festival atau upacara itu sesungguhnya bisa dengan mudah kita temui dalam sukma masyarakat kita. Namun sayang spirit itu ditumpas habis sampai ke akar-akarnya oleh politik yang bersandar pada spirit penunggalan (monisme) dan penaklukan.
 
Memang, dalam medannya yang paling gigantis, spirit monisme politik selalu berhadapan vis a vis dengan spirit karnaval atau heteroglasia sebuah novel.
 
Berkali-kali Taufik Rahzen, salah seorang tokoh avant-garde wacana silang budaya, mengungkapkan adanya persemayaman diam-diam spirit upacara ini dan bekerja secara terus-menerus dalam masyarakat. Fakta dan sukma inilah yang membedakan peradaban kita dengan peradaban lainnya.
 
Kalau dahulu Yunani melahirkan filsafat, Timur Tengah melahirkan agama dan para nabi, Eropa melahirkan teknologi, maka Indonesia melahirkan maestro-maestro pengelola festival atau upacara. Boleh jadi para penggerak spirit festival itu jarang, bahkan boleh dibilang tak pernah membaca novel-novel Rushdie, Roy, Lahiri, Carvantes, Kafka, atau bahkan Kundera, namun mereka sanggup menumbuhkan semangat heteroglasia; semangat mengelola sumbu keragaman dalam irama yang “tidak saling mendelik dan cerca”.
 
Dalam beberapa peristiwa, betapa kita takjub dengan kemampuan masyarakat kita menyelesaikan konflik dengan festival. Sebagaimana novel yang mampu menumbuhkan keragaman bahasa dari bahasa itu sendiri, penyelesaian konflik yang substantif sejatinya bukan lewat persuasi atau meyakinkan dua kelompok yang bertikai, melainkan penyelesaian itu bermuara dan tumbuh dari sukma masyarakat itu
sendiri.
 
Dari pengalaman Rahzen selama bertahun-tahun di medan konflik, ia berkesimpulan bahwa daerah yang penyelenggaraan upacara atau karnavalnya rutin dan kukuh akan rendah sekali derajat konflik yang sifatnya horizontal. Di Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Kutai Kertanegara, adalah satu contoh yang pasti. Di sana, setiap tahun ada Festival Erau yang menyatukan budaya adat Dayak dengan masyarakat
setempat.
 
Namun, lain cerita di Kalimantan Barat dan Tengah yang menjadi pusat gravitasi konflik karena ketiadaan upacara yang mengikat multikultur. Padahal agamanya sama, sukunya sama, tapi rusuh terus.
 
Nah, ketika instrumen ruang publik dan waktu publik hancur oleh konflik, negara datang dengan segudang otoritasnya dan mengganti semua simbol festival tersebut. Ini yang membuat prakarsa masyarakat
rendah dan tumpul.

Di titimangsa ini spirit novel atau festival atau upacara bisa menjadi ruh untuk merancang proyek-proyek demokrasi budaya. Sebab di ruang paling sublim sebuah festival, terdapat ruang publik yang semua orang bisa hadir tanpa diskriminasi dan waktu publik yang dirayakan secara bersama-sama. Tak ada otoritas negara yang memaksa untuk dituruti di sana. Yang ada adalah karnaval suara yang saling mengisi dalam struktur irama polifonik. Bukankah itu yang menjadi sukma demokrasi budaya?

Novel, imaji budaya, dan nekrokultura

Saya kira spirit novel berbasis karnaval dan festival ini kita bisa jadikan sumbu untuk terus mengalirkan imajinasi kebudayaan kita yang perlahan kehilangan basis materialnya.
 
Sampai di sini, novel kemudian menampakkan perannya yang cukup signifikan. Dengan mengusung semangat heteroglasia, karnaval, ataupun festival, sebuah novel bisa dijadikan alat penjelas alternatif di luar bidang sosiologi, sejarah, antropologi, dan lain sebagainya, yang terkadang sangat dingin dan pucat untuk membeberkan realitas imaji kebudayaan masyarakat.
 
Selain karena sifatnya mudah dipahami dan naratif, novel yang bahan-bahannya diambil dari sebuah penelitian yang intens dan kukuh dari jantung realitas masyarakat, bisa mendekatkan publik pembaca kepada sebuah kenyataan budaya masyarakatnya. Maka mestinya Indonesia berterima kasih kepada para novelisnya, sebagaimana halnya Perdana Menteri India yang dengan jiwa besar memberi ucapan terima kasih
kepada Arundhati Roy yang berkat novelnya-bukan saja mampu meletakkan India dalam peta kesusatraan dunia-melainkan juga lewat refleksi Roy, ia mampu menyumbangkan sejumput asa bagi kemajuan kemanusiaan.
 
Di sini kita memiliki, untuk menyebut contoh, Pramoedya Ananta Toer, yang dengan kerja serius dan cermat telah merekam semangat pergulatan manusia Republik di peralihan abad lewat Tetralogi Buru-nya yang sangat digemari itu. Atau Umar Kayam lewat salah satu novelnya, Para Priyayi, yang menerakan sedemikian rupa feodalisme dan kegagapan kaum-kaum di dalamnya dalam menghadapi zaman yang penuh dengan ketakpastian dalam episode transisi 1960-an. Dan masih banyak lagi. Novelis dari generasi teranyar juga mulai bermunculan. Di sini kita menyebut nama Ayu Utami dalam Saman dan Larung-nya yang mengisahkan kontrarelasi manusia-manusia aktivis dengan jelaganya represi negara. Sebuah karnaval yang berlomba menaiki tangga-tangga kemanusiaan yang paling musykil. Atau novel debutan pertama Dewi Lestari, Supernova, yang mampu menyihir dan/atau sedikitnya menggairahkan anak-anak muda Benua Ketiga akan
pentingnya sains yang bertatalkan spirit kebudayaan.
 
Beberapa novel itu dengan caranya sendiri sesungguhnya bekerja dalam gerak yang cukup mendasar untuk mempertahankan imajinasi kebudayaan Indonesia dari “kepunahan” yang datar alias dingin.
 
Maka untuk menyambung imajinasi tersebut, tak mustahil bila perayaan mengapresiasi karya-karya sastra sepatutnya kembali digiatkan. Mestinya kita sedikit malu dengan anekdot dari sebuah Benua Lain yang mengatakan bahwa seorang belum dianggap manusia berbudaya kalau belum membaca sastra. Apa sebab? Karena di jantungnya yang paling sublim, sedikitnya sastra mampu menunda terjerumusnya seorang manusia dalam pekatnya jelaga nekrokultura, sebuah kondisi ketika budaya membujur mati.**

MUHIDIN M DAHLAN,
Pembaca sastra dan editor buku, tinggal di Yogyakarta.