Cermin Retak Kuli Imigran (Perempuan) Indonesia

Resensi ini kutulis ketika Akademi Kebudayaan Yogyakarta mulai mengeluarkan satu per satu “ijazah” mahasiswanya berupa penulisan novel dari hasil riset mendalam. Dan buku ini adalah “ijazah” pertama yang keluar.

KOMPAS – Sabtu, 15 Mar 2003 Halaman: 34 Penulis: Dahlan, Muhidin M Ukuran: 7130 Foto: 1

CERMIN RETAK KULI IMIGRAN (PEREMPUAN) INDONESIA

“INDONESIA adalah negeri para pembantu. Bangsa Indonesia adalah
budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.”
– Pramoedya Ananta Toer

BANGSA pembantu. Satir betul sebutan itu. Apalagi kalau kita
kaitkan bahwa bangsa kita selama ini terkenal dengan alamnya yang
kaya-raya, gemah ripah loh jinawi.
Tapi, kita tak bisa mungkir ketika pada medio 2002 silam, kota
kecil Nunukan, Kalimantan Timur, melongo mendapat limpahan kuli dan
pembantu rumah tangga yang jumlahnya ribuan. Kuli-kuli yang dicap
haram itu berhamburan meninggalkan Malaysia sebelum negeri yang
dipimpin Mahathir Mohammad itu memberlakukan Akta Imigresen 2002.
Di dalam akta itu jelas-jelas tertera bahwa pekerja asing yang
tidak memiliki paspor atau surat izin kerja diancam hukuman penjara
lima tahun, denda 10 .000 ringgit (sekitar 23 juta rupiah lebih), dan
enam kali cambuk. Kuli yang mana tidak merinding?
Novel ini mengungkap sejarah paling kelam yang menimpa kuli-kuli
di Malaysia tersebut. Inilah novel pertama berbahasa Indonesia yang
menjadikan kuli imigran-khususnya kuli perempuan-Indonesia ke
Malaysia sebagai setting kisahnya.
Dengan material yang digali dari penelitian dan penyusuran data
secara kukuh dan ekstensif selama dua tahun, novel ini merekam
kehidupan kuli Indonesia memburu ringgit di Tanah Harapan. Bagi
pemburu ringgit itu, Malaysia tak ubahnya Negeri Impian.
Akan tetapi, tidak banyak yang tahu betapa ironisnya kehidupan
para kuli Indonesia di Tanah Harapan itu. Setidaknya menurut novel
ini.Tersebutlah Maisaroh, tokoh utama dalam novel ini-seorang anak
babu nyuci di sebuah desa kecil di Malang, desa yang tak terjamah
dalam peta Nusantara. Di desa itu, keluarganya adalah bingkai potret
sempurna tentang jelaganya kemiskinan.
Didesak oleh nyinyirnya kemiskinan, ingin membahagiakan emaknya,
dan seliweran cerita tentang Negeri Impian yang menjanjikan setumpuk
harapan dari teman-temannya, Maisaroh nekat ke Semenanjung dengan
hanya bermodal tubuh sintal hitam-manis dan sedikit utangan untuk
ongkos transportasi. Dari Malang ia singgah di Yogyakarta, lalu Riau,
lalu Dumai, lalu menyeberang ke Semenanjung.
Ternyata, di sana ada duka derita yang menyayat. Belum lagi kuli
perempuan ndeso nan bodoh itu dipalaki calo. Dua kali diperkosa laki-
laki yang berketiak apak dan bermulut bau, sebelum sampai ke Tanah
Harapan dengan perahu kecil sesak penumpang yang hampir tenggelam di
Selat Malaka.
Dengan pakaian yang ada di badan, kuli perempuan itu tiba.
Nakhoda yang takut perahunya ditangkap dan dibakar patroli pantai
Malaysia, menurunkan secara paksa kuli-kuli itu dari jarak sekitar
200 meter dari pinggir pantai.
Kehabisan tenaga karena berenang, Maisaroh pingsan. Beruntung ia
ditemukan Salim. Laki-laki ini adalah tangan kanan Datuk Yusuf yang
terkenal di seantero Semenanjung sebagai juragan karet dan pemilik
bisnis jual-beli (tenaga) manusia.
Dalam keluarga ini, Maisaroh bersekongkol dengan Salim bahwa
Maisaroh adalah Fatimah, anak Datuk Yusuf yang hilang semasa kecil
karena mencebur ke laut oleh pengaruh gaib. Maisaroh pun berubah dari
anak babu nyuci menjadi anak seorang juragan dan memiliki korporasi
warung makan yang membentang di hampir semua daratan Semenanjung.
Kisah Maisaroh bergelimang kebahagiaan itu tak berlangsung lama
dan berakhir dengan ironis. Ia digelandang ke penjara-sebuah wajah
semesta yang paling purba bagi kuli-kuli.
Dengan akal bulus yang ingin menguasai seluruh harta kekayaan
Datuk dan ditambah rasa patah hati karena Maisaroh menolak cintanya
mentah-mentah, Salim melaporkan Maisaroh ke polisi imigrasi dan
ditahan dengan alasan melarikan kekayaan ke Indonesia, pendatang
haram, dan terlibat pemalsuan identitas.
***

KISAH perburuan ringgit ke Malaysia ini memiliki akar sejarah
yang lumayan panjang. Sebagaimana dicatat EM Ali dalam novel ini,
sejarah masuknya buruh migran di Semenanjung terdiri dari tiga
gelombang.
Emigrasi gelombang pertama terjadi pada 1975. Ribuan orang yang
masuk waktu itu umumnya bersifat politis dari upaya Pemerintah
Malaysia untuk mengimbangi dominasi puak Cina yang bisa mengancam
ketahanan politik puak Melayu.
Karena itu, selain pekerja yang bekerja di sektor perdagangan dan
jasa, pemerintah juga mendatangkan ratusan guru dan dosen. Lahirnya
Universitas Kebangsaan Malaysia berkat dukungan dosen-dosen itu.
Umumnya kedatangan gelombang pertama ini berhasil dan banyak menetap
di Malaysia.
Gelombang kedua terjadi pada tahun 1980-an. Kedatangan orang-
orang Indonesia bukan lagi dari golongan terdidik, melainkan mereka
yang bertujuan mengisi kekurangan buruh di perkebunan kelapa sawit
setelah Malaysia melaksanakan diversifikasi besar-besaran perkebunan
karet menjadi perkebunan kelapa sawit.
Tahun 1990-an gelombang ketiga terjadi. Gelombang ini masuk di
banyak sektor kehidupan: pembantu rumah tangga, kuli bangunan, sampai
berdesak-desakan menjadi buruh perkebunan yang sudah penuh. Buruh
yang hanya bermodal dengkul dan jumlahnya overdosis inilah yang
sangat merisaukan Pemerintah Malaysia.
Apalagi pemerintah sedang menggalakkan program industrialisasi
yang mensyaratkan tenaga ahli. Karena itu, ratusan ribu pendatang
haram yang tak siap pakai itu harus diusir. (hlm 100-101) . Liang
ironis yang menimpa imigran gelombang kedua dan terutama ketiga
inilah yang diulas secara deskriptif oleh novel ini.
***

NOVEL yang dituturkan secara deskriptif ini bukannya tanpa cacat.
Sebagaimana nasib novel-novel deskriptif, rasa bosan karena tuturan
yang terlampau datar sungguh tak bisa dihindari. Belum lagi beberapa
kecerobohan dilakukan oleh penulisnya, sadar atau tanpa sadar.
Misalnya, pada halaman 53-57 ketika tokoh Emak, seorang babu
nyuci, mendongeng tentang bintang yang tak ubahnya seorang akademisi
yang sedang bercerita dalam kelas-kelas kaum terpelajar. Begitu rapi,
mempesona, dan dengan bahasa yang begitu meyakinkan. Pengarang tidak
sadar bahwa Emak hanyalah orang lugu dan ndeso.
Selain itu, tokoh-tokohnya yang terlampau pintar-dan pengarang
tampak abai terhadap sosiologi (pengetahuan) di mana tokoh itu hidup
dan bagaimana status sosial (dan pendidikannya)-terus terang sangat
mengganggu pembacaan dan sekaligus menghilangkan kealamiahan tokoh
dalam novel.
Maka, kesan yang saya tangkap dalam novel ini adalah pengarangnya
lebih pintar dari novelnya sendiri. Ini mengingatkan saya pada ucapan
novelis Chek, Milan Kundera, bahwa novel yang buruk adalah apabila
pengarangnya lebih pintar dari novelnya dan tokoh-tokoh di dalamnya
kehilangan sketsa kealamiahannya.
Muhidin M Dahlan, Pekerja buku tinggal di Yogyakarta.

Foto:
Kompas/Johnny TG

Judul Buku : Peta yang Retak: Sebuah Novel
Penulis : EM. Ali
Penerbit : AKYPress bekerja sama dengan Jendela, Oktober 2002
Tebal : 349 halaman