Ini adalah artikel yang kutulis karena beberapa kali membaca tajuk rencana Kompas. Jadi hanya sekadar latihan menyimak tajuk rencana media massa. Dan bagaimana tajuk rencana itu saya respons. Ini semacam latihan di rumah “Membaca Tajuk Rencana Media Massa”. Kursus yang saya ciptakan sendiri dan saya satu-satunya pesertanya yang saya selenggarakan dalam kamar saya sendiri. Boleh toh….
KOMPAS – Sabtu, 31 May 2003 Halaman: 37 Penulis: Dahlan, Muhidin M Ukuran: 6795 Foto: 1
NURCHOLISH MADJID DAN POLITIK BIOKULTURA
Muhidin M Dahlan
KESEDIAAN Nurcholish Madjid menjadi kandidat presiden untuk
Pemilu 2004 merekahkan senyum optimisme politik Tanah Air yang makin
lama makin tak menggairahkan. Tajuk Kompas (30/4/2003) menandaskan,
majunya Nurcholish dengan platform yang jelas memberi alternatif
pemimpin kita di masa datang.
Nurcholish dengan jubah integritas moral dan kapasitas
intelektual yang tak perlu diragukan melela ke gelanggang politik
bukan dengan cek kosong. Ia hadir dengan platform dan visi yang
dititeli “Membangun Kembali Indonesia”.
Dari 10 platform yang diajukan, kita menangkap aura menonjol:
jalan kebudayaan sebagai resolusi konflik. Jalan yang diajukan
Nurcholish menarik sebab sudah lama kita kehilangan aura budaya di
pentas politik nasional. Sebuah politik riil yang disebut sastrawan
Inggris kelahiran India, George Orwell, sebagai politik tunabudaya.
Dalam politik tunabudaya terancang kehendak agar kebohongan terdengar
benar dan pembunuhan dihargai. Semua itu mengesankan kepejalan derai-
derai angin. Politik tunabudaya selalu menyeret kita pada suatu titik
orientasi: bagaimana caranya berkuasa. Maka, biasanya, cara-cara yang
muncul adalah kekerasan dan teror.
Oleh karena itu, politik tunabudaya ini memiliki filsafat politik
yang angkuh yang mengklaim memiliki kebenaran yang mutlak; sebuah
alas pijak yang nekrokultura, sebuah alas pijak yang membunuh
kreativitas penciptaan. Begitu lamanya alas pijak politik ini
menghuni lubuk keasadaran kita, maka tidak terlampau aneh bila
melahirkan kemandekan kreativitas. Terlihat begitu lambatnya kita
mencipta. Ketika pun ada yang mencipta, sang pencipta akan dicurigai
dan disandera dengan label dan cap yang tidak mengenakkan.
Rendahnya kualitas penciptaan itulah yang sebenarnya membuat
bangsa kita tak ubahnya penari poco-poco: kelihatan bergerak, tetapi
sebenarnya tidak beranjak-anjak, berkubang di situ-situ saja.
***
ADA politik nekrokultura ada politik biokultura. Politik
nekrokultura adalah politik tunabudaya. Mereka yang berorientasi
politik ini biasanya hanya bisa merayakan peristiwa budaya tanpa ada
keinginan mencipta. Dalam bahasa Nurcholish, “Kalau di dalam
(pemerintahan -Penulis) harus berani mengambil inisiatif tingkat
tinggi (penciptaan-Penulis).”
Kalaupun memproduksi budaya, biasanya budaya sekadar dijadikan
komoditas belaka. Bukannya budaya antikomoditas, tetapi kerap
politikus tunabudaya rapuh dan nihil akan komitmen budaya demi
tumbuhnya sebuah kualitas kemanusiaan di masa depan.
Oleh karena imaji yang mereka sanggul adalah feodal, maka
politikus nekrokultura menjadi salah satu motor penggerak bagi usaha
pembunuhan semangat interkulturalitas, keterbukaan, dan terutama
sekali membunuh tiap usaha penciptaan pelbagai bentuk kreativitas
baru dengan jalan teror dan intimidasi.
Watak politikus ini tak beda dengan watak kaum borjuis. Agama
mengistilahkan watak mereka dengan at-takatsur: serakah dan tak tahu
diri!
Di titik inilah platform budaya Cak Nur akan berbenturan dengan
politikus beraliran nekrokultura atau tunabudaya ini.
Saya menyebut platform politik budaya Nurcholish sebagai politik
biokultura (bio=hidup; budaya=komitmen tinggi mencipta). Politikus
yang berorientasi biokultura menunjuk pada subyek-subyek budaya yang
terus memproduksi atau melahirkan aneka peristiwa budaya untuk
dirayakan bersama. Komitmen atas kemajuan manusia menjadi ujung
tombak visi politik biokultura (Multatuli pernah menulis: Tujuan
manusia adalah menjadi manusia. Borris Pasternak pernah menulis:
Manusia dilahirkan buat hidup).
Berbeda dengan politik nekrokultura yang hanya bisa memproduksi
budaya instan, mereka yang berorientasi politik biokultura terus
menggelorakan spirit budaya daur-ulang, budaya kemandirian, dan
budaya mencipta di setiap kantong (kehidupan) masyarakat.
Di panggung kekuasaan, politikus biokultura biasa disebut-
meminjam istilah Tajuk Kompas-“pemimpin” dan bukan “pejabat”
apalagi “penjahat”. Di kancah lebih luas, peran yang dimainkan
politikus biokultura adalah peran yang disebut novelis kelahiran
Afrika, Ben Okri, sebagai “duta sejarah” karena kesanggupannya
mencipta dan menjelaskan ke mana bandul sejarah bakal berayun.
Sebagai “duta sejarah” dan politikus biokultura, secara otomatis
Cak Nur memanggul tanggung jawab untuk melahirkan jaringan politik
biokultura ini di semua lapisan masyarakat: multiprofesi dan tradisi.
Luasnya jaringan ini mutlak diperlukan guna jalannya dan terwujudnya
visi platform politik dalam real politic. Pembentukan jaringan itu
tak perlu diwujudkan dalam bentuk institusi tunggal. Sebab, dalam
real politic biokultura, mereka tidak pernah diikat oleh sebuah
bentuk organ konvensional. Meski bekerja di lapangan karier yang
berbeda, kaum ini diikat kesamaan visi dan semangat bawaan yang sama,
yakni semangat asketisme dan kerelaan berkorban. Dengan semangat
itulah politikus biokultura ini menjadi selapis kelompok manusia yang
terus bekerja demi kemajuan martabat kemanusiaan.
***
KITA sedang bergelut untuk keluar dari jelaga nekrokultura yang
perlahan mematikan. Bangsa ini memang dihuni mayoritas politikus
nekrokultura yang hanya memikirkan diri sendiri. Tetapi, optimisme
kita untuk hidup hendaknya tetap bekerja dan merentak dalam keinginan
untuk terus mencipta. Mencipta apa saja, yang penting bisa
memartabatkan kehidupan diri dan manusia lain pada umumnya.
Oleh karena itu, kesediaan Nurcholish bisa ditafsirkan sebagai
kesediaan untuk membuka kebuntuan masa depan politik Indonesia yang
kebanyakan dihuni politikus nekrokultura. Dengan watak khas
Nurcholish selama ini, akal yang berendah hati (humaility of the
mind), tidak berlebihan bila kita meletakkan optimisme dan
kepercayaan politik.
Saatnya pengusung jargon yang terkenal di masa lalu, “Islam Yes,
Partai Islam No”, ini akan diuji sejarah. Sanggupkah ia menjadi
politikus biokultura dalam real politic Indonesia dan dunia atau sama
saja dengan politikus nekrokultura yang sudah-sudah.
Muhidin M Dahlan
Pekerja buku dan budaya, tinggal di Yogyakarta
Foto: 1
Kompas/Alif Ichwan
CAK NUR DAN TRI KARYA – Nurcholish Madjid (Cak Nur) menghadiri
undangan Tri Karya Golkar, masing-masing SOKSI, Kosgoro, dan MKGR, di
Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (27/5). Undangan ini untuk menjajaki
kesiapan Cak Nur dicalonkan sebagai presiden pada Pemilu 2004 nanti.
Berjalan di belakang Cak Nur, Oetojo Oesman, salah satu calon Ketua
Konvensi Partai Golkar yang juga Dewan Pembina Golkar.