Cinta, Dari Mana Kita Mulai?

Pengantar Buku Mencari Cinta (karya Muhidin M Dahlan)

::eko prasetyo, penulis buku seri orang miskin

“Betapa pun bejat atau gagal seseorang, ia berhak mempunyai pujaan hati.”
Y.B. Mangunwijaya, dalam Burung-burung Manyar

“Kebahagiaan adalah seekor kupu-kupu, kejarlah maka dia akan lari darimu. Duduklah dengan tenang, maka dia akan hinggap di pundakmu.”
Anthony de Mello

MUNGKIN cinta adalah kata yang terus dijadikan bahan perbincangan yang tak habis-habis. Dalam perjalanan hidup, tentu tiap pribadi, pernah menemukan pengalaman cinta. Mungkin berjalan dengan indah, atau juga menjadi gelombang yang tak habis-habis untuk dijadikan sumber ilham.

Itu sebabnya, Rendra, penyair yang semburan karyanya ibarat sihir, kaya akan khazanah mengenai cinta. Dalam karyanya yang berjudul, Sajak Cinta, yang ditulis pada usia 57, ia dengan elok berdendang tentang cinta: Cintaku kepadamu juwitaku/ikhlas dan sebenarnya/ia terjadi sendiri/aku tak tahu kenapa/aku sekedar menyadari bahwa/ternyata ia ada……/kamu bagaikan buku/yang tak pernah tamat aku baca.

Rendra telah memahat sebuah kisah cinta menjadi indah, sederhana dan inspiratif. Syair ini selalu saya bayangkan bisa hadir di muka kelas anak-anak kita sehingga mereka bisa pahami, seperti kata Rendra, usia cinta lebih panjang/dari usia percintaan. Entah mungkin memang lembaga pendidikan yang dihuni oleh anak-anak kita sulit untuk bisa merawat dan menumbuhkan cinta.

Sebab, saya selalu menyaksikan wajah mendung dan kadang beringas melintas di tampang anak-anak muda berseragam sekolah itu. Begitu mereka berpawai menggunakan kendaraan bermotor, untuk tujuan apa saja, selalu terhujam dalam perasaan saya rasa khawatir dan cemas. Mereka mungkin tumbuh dan hidup tanpa siraman cinta, juga mungkin karena terbiasa belajar propaganda.

Bagi rezim propaganda, mungkin cinta hanyalah urusan sepele. Cinta mungkin seperti yang dibayangkan oleh pemerintahan fasisme Hitler, memaksa anak-anak muda berhubungan seks bebas untuk beranak-pinak sebanyak-banyaknya. Di situ, tak ada rasa, kesetiaan, dan mungkin gairah; di sana yang perlu hanya nafsu dan obat pemuas. Kegiatan cinta hanya diisi seperti detik-detik adegan film biru, dari kenalan diakhiri dengan berhubungan badan. Cinta seperti itu bukan saja kehilangan keindahannya, melainkan juga melenyapkan akal sehat dan imajinasi.

Di balik semua pentas itu kemudian ada yang binal, yakni riset tentang keperawanan, dimana cinta dibelokkan menjadi urusan ilmiah. Bahkan, mengajak kaum agamawan segala untuk berlomba-lomba melakukan hujatan. Cinta benar-benar telah kehabisan spirit untuk menjadi sumber ilham dan pesonanya musnah oleh kaum yang menjadi pengawal rezim propaganda. Hidup di bawah rezim propaganda, tak ada yang lebih berharga, kecuali menuruti kemauan iklan. Sesuatu yang hadir dalam sehari-semalam untuk mengajari kita semua, bagaimana memilih makanan hingga merawat rambut.

Untuk urusan tentang cinta yang bicara bukan sebait puisi, melainkan segores pasta gigi atau dering suara handphone. Cinta benar-benar kehabisan keyakinannya yang suci untuk berlaga di arena yang telah dipangkas habis oleh penguasa propaganda.

Sebuah ilustrasi menarik saya peroleh dalam film Road to Home, yang menceritakan kisah cinta yang indah dan eksotik seorang guru muda yang idealis dengan gadis belia yang giat. Mereka kemudian menikah dan memiliki anak yang melanjutkan sekolah di kota. Suatu hari sang Anak dipanggil pulang karena ayahnya meninggal.

Si Ibu meminta anaknya untuk membawa jenazah ayahnya dari rumah sakit di kota dengan berjalan kaki menuju rumah. Permintaan yang tak masuk akal itu sukar dinalar oleh anaknya hingga si Ibu bercerita tentang bagaimana sesungguhnya percintaan yang mereka jalin selama ini.

Jalan yang dilalui oleh mayat ayahnya adalah jalan di mana si Ibu sering bertemu dan menunggu kepulangan ayahnya yang kadang berangkat ke kota. Bukan sebuah jalan beraspal biasa, melainkan jalan yang menghubungkan dan mengikatkan secara erat sebuah kesetiaan. Film ini tidak sekadar mengharukan, tapi melatih penonton untuk bicara, bukan lagi dengan logika, melainkan dengan hati yang lapang. Cinta di situ dibayangkan bukan seperti adegan asmara sinetron kita selama ini, melainkan gumpalan tantangan dan deretan kegelisahan. Saya masih ingat bagaimana adegan gadis belia itu menjinjing air sambil mendengarkan gurunya mengajar dengan suara kencang dalam kelas. Mungkin karena itu, saya lantas teringat kembali bait puisi Rendra, “Sajak Seorang Tua untuk Istrinya”: Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara/bukan kerna senyuman adalah suatu kedok/tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap/sikap kita untuk tuhan, manusia sesama, nasib dan kehidupan.

Yang hilang dari dunia pendidikan kita mungkin adalah pengetahuan mengenai sastra dan kebudayaan. Anak-anak kita lemah ingatan mengenai kisah indah yang terukir dalam novel Atheis atau karya cemerlang Pramoedya yakni Bumi Manusia.

Pendidikan telah menanam ranjau karena hanya menampilkan deretan nama sastrawan seperti deretan nama menteri-menteri kabinet. Mereka hafal pengarang Siti Nurbaya sebagaimana ingatan mereka tentang nama menteri penerangan kita. Seorang sastrawan tentu berbeda dengan kaum yang menjabat jadi menteri; seorang menteri bisa diganti tiap habis Pemilu, tapi sastrawan, ia manusia istimewa yang tidak bisa ditelurkan oleh pendidikan apa pun.

Sastrawan melatih anak-anak mengeja dan menghidupkan kata cinta; sebagaimana anak-anak waktu kecil begitu takjub menyaksikan keindahan warna pelangi. Deretan kisah yang dipahat oleh sastrawan telah merajut cinta menjadi kekuatan yang menjala semua aspek kehidupan, cinta sangat fasih bicara soal kesetiaan sekaligus pengkhianatan. Dengan kata lain, melalui para sastrawan, cinta bukan saja mengawal anak untuk menjadi matang, tapi telah menyumbangkan keberanian untuk menatap masa depan. Masa depan bukan sekadar harapan akan datangnya zaman yang lebih baik, tetapi kesungguhan untuk meniti problem.

Karena itu kemudian saya lalu percaya, ada baiknya anak-anak berkenalan dengan dunia sastra agar mereka tidak menyamakan cinta dengan erotisme. Barangkali karena itu saya selalu tertegun menyaksikan modus pacaran anak-anak muda sekarang; berpelukan di atas jok motor seolah-olah memberitakan tentang cinta yang didefinisikan secara dangkal. Cinta yang berawal dari tubuh dan berakhir pada perlakuan terhadap tubuh.

Tubuh, dalam masyarakat modern, menjadi sesuatu yang harus dikonstruksikan dan diadaptasikan terus-menerus sesuai dengan siklus hidup. Bersamaan dengan arus kebebasan seksual, maka aspek tubuh mengalami peneguhan dan pemanjaan; sebagian yang lain mulai melihat tubuh menjadi entitas yang perlu didisiplinkan melalui pelbagai kegiatan keruhanian.
Di sinilah apa yang dinyatakan oleh Daniel Bell sebagai kontradiksi budaya dalam kapitalisme berjalan; konon modernitas akan mampu mendorong rasionalitas dan tumbuhnya kesadaran kritis. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya, yakni modernitas dengan tulang punggung kapitalisme telah menggilas itu semua melalui pencitraan terhadap tubuh. Apa yang diyakini Michel Foucault terjadi semua, yaitu relasi-relasi kekuasaan telah mewujudkan diri dalam tubuh melalui pelbagai simbol hubungan sosial.

Ini mulai mengedepan ketika seks bebas serta menjamurnya penyakit AIDS naik menjadi persoalan sosial-kontemporer. Bertolak dari itu semua, maka kegiatan yang namanya cinta, justru bermula dari kegiatan yang berpusat dan berputar sekitar tubuh. Adegan ciuman yang tanpa sungkan-sungkan dipamerkan secara atraktif dalam film Ada Apa dengan Cinta tentu jauh berbeda dengan kisah cinta melankolik yang muncul lewat film Gita Cinta dari SMA. Terdapat jenjang yang jauh berbeda meskipun dengan persoalan cinta yang serupa, antardua generasi yang terpaut waktu puluhan tahun ini. Dari pola semacam itulah, maka tubuh menjadi kekuatan pemikat utama dari sebuah proses cinta, sebagaimana banyak digambarkan oleh pelbagai iklan shampo.

Bukan semata-mata melalui iklan, melainkan juga produktivitas penerbitan yang mengacu pada disudahinya masa-masa lajang kini tampil bak sebuah wacana alternatif. Mereka yang berusia muda dipandang layak untuk segera membuat keluarga sehingga bisa secepatnya untuk menikah dini. Atau yang sebaliknya berlangsung, yakni memperpanjang masa-masa lajang dengan memberikan ruang bagi aktivitas seksual secara bebas.

Dalam masyarakat kapitalistik seperti sekarang, cinta mungkin memang bukan sebait puisi, melainkan komoditas yang dengan gampang tak memerlukan komitmen. Sekali mencintai tak mencukupi; butuh berulang-ulang untuk menikmatinya sehingga perkara tentang perceraian bukan lagi sebuah masalah. Cerai adalah kegiatan yang menarik bahkan menjadi arena publikasi sekaligus pemberitaan. Sebagaimana poligami yang memerlukan peneguhan, bukan saja dari doktrin agama, melainkan juga dukungan dari pelbagai media. Poligami ternyata, selain merupakan ajaran agama, juga bisa membawa seseorang untuk sukses dalam hidup. Ajaran dan bahan tentang kisah cinta yang romantik, sebagaimana yang pernah dituturkan Ernst Hemingway dalam novel Lelaki dan Lautan, menjadi sebongkah nostalgia.

Pada titik ini barangkali memang orang bukan dipaksa untuk mengenal realitas, tapi rezim kapitalisme modal membuat cinta menjadi tempat terbaik untuk pelarian segala hal. Mungkin karena itu, saya menyimpan rasa “curiga” dengan tulisan yang dibuat Muhidin M. Dahlan.

Ada satu hal yang selalu membayang dalam ingatan saya tentang pria ini, yakni tampang dan tulisannya yang jauh bertolak belakang. Ia selalu saja tampak sebagai laki-laki yang serius, tapi tulisannya riuh dan bersemangat.

Gaya bicaranya memang tidak meriah, tapi deretan kalimatnya terasa memiliki getar kegairahan. Mungkin itu sebabnya ia merasa suka dengan topik cinta; saya pun tak terlalu tahu apakah dirinya memiliki pengalaman menggetarkan tentang cinta. Kalau ditilik dari isi buku ini, saya percaya, ia pernah memiliki kenangan dan pengalaman mendalam soal cinta. Saya selalu ingin melihat, bagaimana ia menuliskan ini semua di depan sebuah monitor.

Di dalam ingatannya pasti ada kelebatan kisah tentang cinta yang ia alami atau minimal pernah ia dengar ceritanya. Kebetulan ia seorang aktivis mahasiswa yang terkadang melihat cinta selalu dalam sudut pandang yang tak proporsional. Aktivis adalah ksatria yang pantang untuk menikmati cinta secara terbuka; ia sosok jagoan yang jangan kelihatan patah atau sedih karena urusan cinta. Dalam pribadi seorang aktivis yang ada hanya perkara-perkara besar, soal demokrasi, soal modal, soal budaya intelektual. Dan cinta, pada siapa saja, tak lain adalah urusan sepele dan jangan dibesar-besarkan. Muhidin tampaknya menempatkan diri sebagai seorang aktivis, yang ingin menyatakan dengan lantang, bahwa cinta bukan urusan sepele. Karena itu, ia bikin buku Mencari Cinta ini dan hendak membuat sesuatu yang mungkin bisa bermanfaat.

Saya ingin anjurkan agar buku ini menjadi “wajib” bagi semua anak remaja. Kalau perlu Depdiknas yang lebih menyukai membuat buku Fisika yang memusingkan, melirik sosok macam Muhidin ini. Ia memang tidak membuat anak tahu mengapa bumi itu bulat atau apa yang menyebabkan hujan, melainkan dengan cinta yang itu kita jadi mengerti; bumi bentuknya apa pun jika tak ada cinta di dalamnya ibarat lembah neraka yang kejam. Seorang siswa akan diajari kebijakan, kalau ia mengenal, menikmati, dan mengalami sebuah cinta.

Tapi Muhidin, meskipun pernah sekolah di IKIP, bukanlah seorang guru. Ia lebih-lebih bukan pria yang punya hubungan dengan pejabat Depdiknas, ia bukan aktivis Parpol, ia bukan seorang ulama, ia bukan seorang dosen, apalagi aktivis LSM, ia bukan siapa-siapa. Di negeri yang kebetulan popularitas dengan pengaruh bersanding, tentu Muhidin hanya nama yang ada di KTP kampung dan kadang diperlukan untuk sebuah sensus. Sesekali menulis di koran untuk artikel atau kolom resensi, yang bisa saja tulisan itu seminggu kemudian, jadi bungkus kacang atau nasi lele di warung pinggir jalan. Mungkin karena itu, ia bikin buku; untuk sebuah motif yang sebenarnya simpel, meneriakkan kembali tentang cinta. Pekerjaan yang mungkin ukurannya tidak seheroik kerja aksi ke jalan atau melakukan pendampingan; tapi itu juga yang dulu dilakukan oleh Karl Marx atau yang pernah dilakukan Hatta. Ia, terus terang, melakukan kerja besar yang kadang kita lihat secara sembarangan.

Andaikan saya curiga dengan tulisan ini, lebih karena gaya pendekatannya yang terlampau serius. Mengapa cinta selalu “diteorikan”; bukankah ia menjadi indah ketika dialami dan dijalani.

Tapi dasar seorang aktivis, kadangkala terlalu dibebani untuk memanggul dan mengirim sebuah pesan. Cinta bukan sebuah jembatan untuk memangkas kekuasaan otoriter, mungkin hanya sederet kegiatan, yang bisa mengistirahatkan kita semua dari segala sesuatu yang besar. Dalam dunia aktivis, cinta adalah mandat dan kehormatan dimana dari situ, kita dapat mengetahui ke mana sesungguhnya arah komitmen berlabuh. Ya, mungkin karena itu, cinta buat seorang aktivis, bukan seperti iklan pasta gigi; ia menghujam jauh ke dalam rambut-rambut ikal para perempuan yang kini menjadi korban kejahatan para serdadu, wajah-wajah anak jalanan yang tersembunyi di balik sorot lampu dan liukan para penyanyi dangdut kampung yang dipajak para calo.

Mungkin karena itu, saya menyukai puisi Wiji Thukul, yang dengan lantang berseru: jangan lupa kekasihku/jika kau ditanya siapa mertuamu/jawablah: yang menarik becak itu/itu bapakmu kekasihku/jangan lupa kekasihku/jika pukul lima buruh-buruh perempuan/yang matanya letih/jalan sama-sama denganmu/berbondong-bondong/itu kawanmu kekasihku.

Mengapa kecantikan buruh, TKI, korban perkosaan dan kaum pengungsi selalu memikat? Saya mungkin ingin mengatakan di sana ada cinta yang elok, yang tidak mampu disentuh oleh gelombang propaganda, yang tak bisa diendus oleh rezim pendidikan yang komersial dan seperti senja yang indah, dia bak lukisan yang tak habis dipandang.

Mungkin cinta bisa dimulai dari sana, tatapan kaum tersingkir karena kebiadaban modal dan moralitas yang otoriter. Mereka bukan korban, tapi pelaku yang terlantar karena memerankan lakon cinta yang polos dan sederhana. Saya menyaksikan cinta dari sana berkobar menyala, lebih menikam ketimbang kisah roman Shakespeare; karena usia pengorbanannya yang dahsyat.

Karena itu, mungkin saya kadang malu dan risih menyaksikan iklan cinta yang diperankan oleh anak-anak muda yang berwajah mesin dan berhati baja. Mereka kadang tertawa, meringis, atau tersenyum; melihat seorang gadis yang kebetulan juga bertampang sama. Cinta dalam iklan itu seperti serangkaian rel kereta api yang hitam, dingin, dan tawar. Makanya dengan buku ini, saya berharap cinta bukan sekadar silau cahaya, tapi udara perlawanan; yang dapat meyentuh paras pucat anak muda yang kini sedang ditikam dan dibunuh oleh pikiran “sesat” asmara iklan!!!

Sekian.