::m safrinal, jogja
Tuhan yang diperkenalkan kepada kita adalah Tuhan berwajah besi. Wajah-Nya selalu ditampilkan sebagai tiran yang ganas, yang hanya mengenal larangan dan hukuman. Nama-Nya kerap dilekatkan dalam aksi peperangan, teror, dan kekuasaan tirani. Entah berapa banyak darah telah dikuras atas nama-Nya: Perang Salib, konflik Israel-Palestina, kerusuhan Ambon….Kabar Buruk dari Langit bermaksud menghadirkan wajah Tuhan yang lain. Bukan wajah yang selalu murka, bengis, atau kuasa, tapi wajah yang diliputi penuh dengan kelembutan, kasih, dan cinta. Wajah yang sayangnya lebih sering diasingkan dan dilupakan, sehingga manusia serasa lebih rela untuk menyalahkan ketimbang memaafkan.
Tuhan berwajah lembut dan penuh kasih itulah yang pada akhirnya dipahami figur protagonis dalam novel ini. Bukan perkara gampang ia mencapai pemahaman semacam itu, melainkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang tiada terhingga. Semuanya rela ia terabas demi kepuasan spiritualnya yang tak bisa ditawar-tawar lagi: mencari Sang Maha Pengasih!
Upaya pencarian itu ia mulai setelah diusir keluar dari Kota Kudus karena didakwa menyelewengkan syariat Islam, tak peduli betapapun masyhur pengetahuan agama yang dimilikinya. Dan ia sadar caranya bukan dengan menetap dalam diam, tapi dengan bergerak. “Ketika gerak mengandaikan ketiadaan kepemilikan dan ketakpastian masa depan, maka gerak adalah sesuatu yang memberatkan. Dan mustahil untuk mereka yang tidak berjiwa nabi. Hanya yang berjiwa nabi yang bisa bergerak” (hlm. 250).
Maka ia pun bergerak sekehendak langkah kakinya. Sejumlah peristiwa ganjil yang terjadi tak luput dari perhatiannya. Salah satunya adalah peristiwa naas yang menimpa seorang perempuan akibat dirajam orang sepasar yang tak tahan mendengar hinaannya kepada Muhammad. Pasalnya, si perempuan ditipu seorang pria tak bertanggung jawab yang selalu mengatasnamakan Muhammad saat membujuknya.
Ia yang sempat melerai kericuhan itu tak kuasa menahan amarah massa. Dan dengan masygul ia pun berlalu sambil meratapi tumpahnya darah serta kenyataan bahwa si pria tak bertanggung jawab ternyata adalah Kiai Djukriyah, mantan mertuanya sekaligus kiai ternama di Kudus. Peristiwa kelam itu terus membayang mengikuti hingga akhirnya sebuah pertanda memaksanya menuju Bukit Makrifat, bukit beraroma mistik yang kaya akan suasana spiritual.
Di sinilah ia mendirikan pondok pemujaan setelah sebelumnya bercinta dengan Sang Penari Kesuburan. Perempuan jelita ini membimbingnya bagaimana membuang segenap nafsu lahiri lewat “tarian kesuburan”, sehingga pikiran dan jiwa kembali bersih seutuhnya untuk menghadap Sang Maha Pengasih tanpa harus tergelitik lagi oleh berahi, puncak dari segala nafsu lahiri.
Melalui perjuangan beribu-ribu hari, ia tuntaskan pembangunan pondok pemujaan. Sungguh upaya yang luar biasa. Coba bayangkan, ia harus mengukir ribuan anak tangga dengan laju satu per hari, mengangkut bebatuan dan bahan bangunan lainnya ke puncak bukit lewat tangga yang sempit dan terjal. Ini bukan pameran kekuatan fisik semata. Lebih dari itu, aksi ini merupakan perjuangan mental ala nabi: pertarungan antara kehendak melawan keletihan, tarik-menarik antara keikhlasan melawan keputusasaan.
Pengalaman tersebut memberinya kematangan spiritual yang kian memuncak. Orang-orang lantas membanjiri Bukit Makrifat untuk meminta suluh agama setelah menerima warta yang entah bagaimana menyebar. Ia pun dengan senang mengajarkan tentang hakikat agama tanpa terpaku pada simbol, tentang Tuhan yang penuh kasih-sayang dan cinta, serta tentang keadilan. Para rakyat tertindas serta para santri yang memujanya juga turut menerabas aturan negeri, hanya karena ia mengatakan bahwa aturan Tuhan-lah yang harus ditaati, bukan aturan pemerintah kolonial atau para ulama yang mengklaim beriman.
Dewan ulama Kudus yang mencium aksinya merasa resah. Rakyat yang mulai berani menolak pajak serta para santri yang kerap membangkang menjadikan para ulama merasa terancam kekuasaannya. Sebab, pemerintah lazimnya menganggap mereka bertanggung jawab atas “ketertiban” masyarakat. Karenanya, di bawah pimpinan Ibnu Suja’i, Tentara Tuhan pun dibentuk untuk menghabisi sang penyuluh beserta para pengikutnya.
Perintah pembantaian segera dilaksanakan. Yang coba melawan, ditumpas tanpa ampun. Ia, yang pada kesempatan pertama gagal ditangkap karena menggenapi pencarian hingga ke Tanah Rempah, akhirnya berhasil digelandang ke penjara dan dipenggal di hadapan umum pada tanggal 14 Februari tahun Masehi.
Tanggal 14 Februari, hari ketika kasih-sayang diperingati kini, sebagaimana pesannya pada istrinya yang terakhir, “Telah benar-benar kutemukan iman yang sempurna dalam perjalanan ini. Bukan dalam agama yang kalian kenal. Bukan dari bentuk yang mereka kenal. Aku telah menemukan cahaya itu dalam keikhlasan cinta. Mata batin ini sudah terbuka. Bukan Islam, Bukan pula Nashara, tapi cinta” (hlm. 554).
Berbeda dengan novel “reportase” Muhidin sebelumnya, Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur (2003), novel tebal yang menggelitik keimanan ini mampu menghadirkan informasi sejarah penyebaran Islam di negeri ini. Bukan sejarah yang lurus-lurus saja tentunya, tapi sejarah yang dipenuhi tekanan, ancaman, bahkan luapan darah.
Darah itu meluap dari nadi siapa saja yang dianggap menyempal dari mainstream beragama yang kini kita kenal. Syekh Siti Jenar divonis mati dengan sebilah pedang semasa Wali Songo, Sultan Panggung dibakar di era Demak, Syekh Amongraga ditenggelamkan ke laut pada masa Sultan Agung. Betapa kejinya, betapa nistanya, hanya karena ketiga figur itu punya cara penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki para penguasa institusi keagamaan. Bukankah seharusnya ibadah itu untuk menghindari perbuatan keji dan nista?
Novel ini setidaknya mengajak kita untuk memahami bahwa perbedaan adalah rahmat, termasuk perbedaan berpikir dalam tafsir agama. Ya, perbedaan adalah buah dari kemerdekaan berpikir. Bukankah Tuhan menghargai setiap ijtihad, kendati kelak terbukti kurang tepat? Sebab, meminjam parafrasa Goenawan Mohamad, Tuhan begitu dahsyat sehingga Ia tak cukup disamakan dengan “akidah tunggal yang benar” yang sebetulnya hanya hasil tafsir.
* Muhammad Safrinal, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta; Pos-e: m_inal@lycos.com