Di Neraka tak Ada Api!

::gus muh

Ini adalah kisah Bahlul, seorang bawahan Khalifah Harun ar-Rasyid yang prilakunya sering konyol, lugu, tapi menarik. Suatu hari Bahlul datang menemui penguasa dinasti Abbasiah itu dengan wajah kecut, seperti memendam kecewa.
“Kamu darimana saja Bahlul?” tanya Harun ar-Rasyid.
“Aku baru saja dari neraka, Baginda,” jawab Bahlul enteng saja.
“Dari neraka? Buat apa ke sana?” tanya Baginda keheranan.
“Saya khawatir kalau-kalau negeri kita kekurangan api, Tuan. Saya ke neraka ingin meminta api, untuk persediaan di sini. Tetapi sayang saya tak berhasil membawanya.”
“Kenapa?”
“Kata para penghuninya, di neraka tak ada api.”
“Mereka pasti bohong! Bagaimana bisa tak ada? Di neraka kan pusat dari segala api.”
“Saya pikir juga begitu, Tuan. Saya bahkan sudah mendesak dan memohon dengan sangat, tetapi jawaban mereka tetap satu: di neraka tak ada api! Saya tanya, kenapa bisa begitu? Nah kata mereka, setiap penghuninya datang ke sini membawa api (yang akan membakar)-nya sendiri-sendiri.”

Kisah itu saya kutip dari sebuah kolom ringan Sabrur R Soenardi. Lalu kisah kecil, pendek, tapi bermagnet ini kemudian dibukukan dengan judul yang seperti di atas. Saya dimintai Sabrur memberi pengantar sekira tahun 2003.

Menurut Sabrur, neraka yang termaktub di sana adalah “neraka huthamah” sebagaimana dipahami kaum sufi. Dalam Al-Quran surat 104 ayat 6-7 digambarkan bahwa “neraka huthamah” adalah “api yang kobarannya naik sampai ke hati”. Oleh kaum sufi neraka itu dipahami ketika hati terbakar oleh ego; ketika hati kalah oleh kecenderungan2 jahat.

Apa yang dikemukakan oleh Sabrur itu adalah tafsir sufistik. Biasanya cara orang sufi memandang atau “menegur” masalah berbeda dengan para peneguh formalis. Kaum agamawan formalis yang biasanya kita lihat setiap hari menenteng umpatan dan cacian terus-menerus memompa sekuat-kuatnya ketakutan kepada umatnya bahwa dosa sang pendosa mendapatkan ganjaran jilatan api neraka.

Ih, betapa mengerikannya itu Tuhan, yang kerjanya hanya membakar dan membakar dan membakar. Tiap waktu. Hidup kita pun seperti dalam titian ketakutan. Dan ketika ketakutan mendominasi sukma dan raga, maka kreativitas memudar hingga ke titik nadir: bego.

Tapi wacana sufistik menawarkan keindahan tafsir yang lain: “Di neraka tak ada api… sebab apinya sudah dibawa oleh masing2 orang untuk membakar dirinya sendiri.” Hah, betapa jauhnya cara memahami kedua anasir agama di atas. Yang satu membakar dan kelihatan membara; yang kedua sejuk dan terasa menyentuh di pedalaman jiwa.

Kita membutuhkan yang kedua ini untuk bisa menerangi golak hidup yang kian tak keruan saat ini. Wacana sufistik mengajak orang untuk kembali kepada dirinya, kepada pedalaman jiwanya. Ia menyentuh akal hati seorang insan dan bukan sekadarwadak-raganya sebagaimana yang ternisbah dalam praktik agama yang lazim.

Sufi tak berkompeten untuk “menghajar” para pendosa yang dicap dina dengan serentetan celaan, gertakan, dan dakwaan, melainkan “mengajar” dan turut mendoakan mereka agar selalu mendapat percik cahaya kebajikan (hidayah) dari Allah–sekerak apa pun dosa yang telah ia perbuat.