Taufiq, PKI, dan yang Cabul-cabul

::muhidin m dahlan

Tanggapan tentang isu cabul yang hendak diganyang oleh Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail sudah pernah saya ulas sebelumnya di sini. Tanggapan berikut ini masih memiliki rantai sambung.

Perlu digarisbawahi bahwa semua perdebatan di lembar budaya Harian Jawa Pos, Media Indonesia dan Republika berhulu ketika pada 20 Desember 2006 Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail naik podium dan menyampaikan pidato kebudayaannya, “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka, di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Ia mengepit kertas panas yang berisi data dan gugatan-gugatan yang merindingkan bulu kuduk tentang 13 aliansi Gerakan Syahwat Merdeka.

Merasai daya pukau yang menguras simpati—termasuk simpati Cak Kuswaedi Syafe’i dalam esainya “Kado untuk Taufiq dan Hudan” (JP, 5/8/2007) atas pidato Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail—saya teringat pada Wakil CC PKI Njoto ketika pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bodjonegoro, Jawa Timur.

Pada saat malam pidato itu, sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955, “sekolah SMA-malam jang muridnja berdjumlah lebih dari 300 orang, malam itu ditutup, dan guru2 maupun murid2nja semuanja datang ketjeramah PKI”.
Njoto, malam itu, memang tak mengepit berlembar-lembar kertas pidato, sebagaimana Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail lakukan. Setelah menerangkan secara terang-benderang tentang “Front Anti Komunis” yang menurutnya bukan hanya komunis yang dimusuhi, tapi juga PNI, NU, PSII, PRN, dll yang karena itu sebetulnya adalah “Front Anti Segala Sesuatu”; tapi juga “nyerempet” ke soal sikap PKI atas demoralisasi masyarakat khususnya bagi anak-anak pelajar.

Dengan tangkas Njoto menegaskan sikap bulet PKI bahwa “PKI menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang saja sebut sadja ,,tjelana potlot”.

Nyaris tak ada beda pesan yang diusung Njoto dan Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail. Semua yang cabul-cabul harus cabut. “Mufasir” pidato Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail, Cak Kuswaedi, memberi tekanan bahwa pidato itu adalah “dari awal sampai akhir sepenuhnya merupakan kritik terhadap berbagai destruksi yang saling menjalin dan berkelindan secara solid dalam menikam dan meruntuhkan bangunan nilai-nilai suci kemanusiaan universal yang dari abad-abad silam secara estafet telah ditegakkan dengan susah payah dan penuh ketulusan oleh para nabi, para wali, dan pemimpin-pemimpin yang saleh”.

Eit, jangan lupa, juga ditegakkan kaum Komunis (yang bukan nabi, wali, dan pemimpin2 saleh) dengan sangat intens! Bahkan ada aturan tak tertulis dalam partai memecat anggota(pria)nya yang terbukti selingkuh atau melakukan poligami sebagaimana yang dialami pelukis Sudjojono atau penyair AS Dharta. Dharta lalu “mengiba-hiba” ampun, sementara Sudjojono memilih poligami dan keluar dari partai.

Tapi yang menjadi ironi bahwa Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail adalah salah satu eksponen aktif pengganyang semua yang berbau PKI tanpa sedikit pun menimbang bahwa pihak-pihak yang dimakzulkannya juga punya program budaya menegakkan moralitet masyarakat dari angkara produk budaya “barang2 tjabul”.

Dalam usaha membendung keganasan “barang2 tjabul” itu PKI jauh lebih keras tindakannya. Njoto dalam pidato yang sama tak lupa berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Dan untuk mendukung validitas data, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar” yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.

PKI dalam arus kebudayaan besarnya memang serius dan tegas terhadap semua produk kebudayaan yang mencemari “watak dan sifat anak2 kita”. Karena itu Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra) cabang Jogja pernah membuat program melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Sikap keras PKI itu tentu berkait dengan semangat anti neokolonialisme (nekolim) yang disimbolkan dengan budaya Inggris dan Amerika.

Bagi PKI dan eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat.
Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs Soemarsono, yang menyerukan bahwa “disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatle, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim”.

Sebelum giliran “pakaian jang berbau nekolim” atau “tjelana potlot” kena sapu, Angkatan Kepolisian Jawa Timur memang sudah terlebih dulu melego semua piringan hitam berisi lagu-lagu ngak-ngik-ngok. Dalam kesadaran terdalam aktivis PKI, moralitas bangsa harus tetap dilindungi dari—meminjam istilah Cak Kuswaedi—“destruksi yang saling menjalin” yang ditimbulkan budaya-budaya nekolim.

Karena itu tindakan-tindakan di lapangan pun diambil secara seksama dan sistematis. Gelombang demonstrasi dan propaganda menjebol, misalnya, produksi film-film Amerika Serikat yang disebar oleh Association Picture American of Indonesia (AMPAI) dilangsungkan secara massif dan berhasil. AMPAI pun jebol pada Oktober 1964.

Majalah-majalah cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar yang tak pantas dilihat, “Keluarga Miring” No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.

Saya berharap Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail tak hanya berhenti pada pidato. Tak usahlah malu-malu, tiru sajalah Wakil CC PKI Njoto. Selain berpidato, ia turut menyebarkan usaha pengganyangan yang sistematis terhadap semua produk cabul.

Tak usaha pedulikan orang berkata munafik atas diri Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail yang dulunya getol menjebol PKI dan eksponen-eksponen Lekra. Anggap saja semua orang sudah mengalami amnesia akut sehingga lupa semuanya atas usaha tak senonoh mencaci-maki PKI dan eksponen Lekra tanpa pernah melihat dan mengakui sedikit pun bahwa mereka juga melakukan “hal-hal mulia dan terhormat” melindungi masyarakat dari “destruksi yang saling menjalin” oleh “barang2 tjabul” yang hari ini mengambil bentuk diproduksi 13 aliansi Gerakan Syahwat Merdeka.

Jadi tunggu apa lagi. Toh, esensi pidato Njoto dan saudara Yang Terhormat Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail sama saja. Sama-sama menggebrak semua yang cabul yang diproduksi budaya nekolim.

Langkah yang dilakukan Njoto dan PKI adalah “membajak” pemerintahan Presiden Soekarno—dan Sang Presiden memang butuh massa progresif seperti PKI untuk suksesnya program Manipol yang dicanangkannya pada 17 Agustus 1959.

Nah, sekaranglah saatnya “bajak” itu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tinggal nunggu jika wacana Doktor Honoris Causa Dokter Hewan Taufiq Ismail sodorkan laku terbeli oleh Sang Presiden, insya Allah pengganyangan terhadap para perusak (moral) bangsa—yang secara definitif ada 13 golongan—akan berlangsung efektif dan cepat.