The NameSake

Saya belum membaca novel Jhumpa Lahiri yang
berjudul The Namesake. Udah diterjemahin penerbit Gramedia
dan juga udah diresensi di Kompas. Ini mungkin kecerobohan. Karena setelah
nonton film ini pasti deh saya akan malas sekali membaca bukunya. Soalnya,
ketika membaca buku setelah menonton filmnya, pembayangan nggak enak. Agak
mampet. Wajah dan karakter tokoh-tokoh yang ada di film menjadi sangat dominan jadinya
dalam pikiran. Pada akhirnya terbalik deh. Film itu kemudian yang
“mendikte”.
Tapi tentang gaya bercerita dan tema yang
diusung Jhumpa Lahiri, saya sudah agak akrab. Saya pernah membaca karyanya yang
lain yang menang Booker Prize taon 2000. Kumpulan cerita, The
Interpreter of Maladies
. Lahiri bukan pencerita yang gamblang sih
menurut saya. Dia bahkan bertele-tele. Jangan harap ada hal-hal mahadahsyat di
ceritanya. Tema yang digarapnya dengan suntuk ya soal sehari-hari. Benda-benda
sepele. Makanan. Kadang masalah sepatu gaya Eropa dan sandal habitus India.

Sutradara: Mira Nair
Pemain: Irfan Khan (Ashoka), Kal Penn (Gogol), Jagganath Guha (Ashima)
Berdasarkan novel Jhumpa Lahiri: The Namesake

Konflik?
Ya, konflik keluarga. Dan satu lagi. Nah, ini
dia yang membuat banyak orang kepincut. Benturan dua kebudayaan: India, London,
Amerika.
Dalam film ini–hehehe dalam novel The
Namesake
maksudnya—budaya Amerika dan India itu juga yang
dieksplorasinya. Dua budaya yang berbeda. Satunya bertumpu pada efisiensi dan
praktis, satunya pada kehidupan upacara yang lamban dan sublim. Satunya dengan
transportasi yang padat dan lingkungan yang kotor dan berpeluh, satunya lagi
penuh dengan ketertiban dengan hidup yang bersih, rapi, ajeg. Satunya berudara
dingin, sementara yang lain sangat gerah. Perbandingan itu diperlihatkan dengan
manis ketika keluarga perantau, Ashoka dan Ashima, pulang kampung alias mudik.
Demikianlah Ashoka dan Ashima hidup di Amerika
dengan gaya India. Mereka mesti memasak sendiri karena soal kebiasaan lidah.
Seenak-enaknya makanan di Amerika nggak akan cocok dengan lidah orang Asia. Komunalisme
masih kental. Pertemuan-pertemuan keluarga dan dupa serta doa masih
dilantunkan. Kecuali bagi anak-anak mereka yang sudah bergaya Amerika dengan
gaya bebasnya.
Yang menarik adalah justru “konflik”
dan ketegangan muncul ketika Ashima melahirkan anak lelaki dan babanya memberi
nama Nickolai Gogol. Hanya karena nama yang “aneh” dan “sangat
Rusia” ini kerap Gogol dicibir dan diketawain. Tahu sendiri dalam konteks
tahun 1980-an awal, ejek-ejek Amerika kepada Rusia masih kuat. Mereka tahu sih,
Gogol adalah sastrawan kawakan, tapi tetap saja dia seorang Rusia.
Maka, tak ada yang paling menyakiti si anak
ini selain soal namanya: GOGOL. Nama kemudian menjadi beban. Gogol pun, di
antara teman sekolahan, teman main, teman kerja, dan pacarnya mengganti nama
panggilan “Gogol” itu dengan “Nick”. Terdengar sangat
Amerika kan?
Sampailah si ayah memberitahu betapa nama
“Gogol” itu sungguh berarti dalam hidupnya. Ia seperti jimat dalam
sebuah kecelakaan keretapi maut. Buku The Selected Work of Nicholai Gogol
ditemukan berada digenggamannya dengan bersimbah darah. Buku itu sudah tercabik
dan menahan nyawanya agar tak lepas dari raga. Gogol terhenyak benar bahwa
babanya tak sekadar fanatik dengan Nickolai Gogol, tapi buku itu pula yang
menjadi daya hidupnya. Ia ingin semangat Gogol itu pingin diwariskannya kepada
anaknya.
Hingga kemudian sang ayah meninggal tiba-tiba
yang menyadarkannya kembali bahwa ia masih seorang India dan bukan Amerika. Di
India setiap denyut hidup adalah upacara dan penghormatan kepada keluarga
batih.
Jadinya nggak asyik kemudian. Karena setelah
sadar begini si Gogol ini mutusin pacar amerikanya yang kaya-raya dan sudah tak
terhitung jumlahnya mereka naik ranjang. Ia memilih cewek India yang dandis.
Dengan ganti pacar, Gogol bisa menjadi “pimpinan” keluarga pengganti
Ashoka dalam komunalisme India di Amerika.
Nah, kalau ngumpul semua keluarga India ini
nggak ada bedanya udah dengan film-film India yang katrok itu.
Coba kalau si Gogol ini kawin ama pacar
Amerikanya. Bayang pun, sewaktu diputusin si Gogol ini, Maxin sampai nangis
sesenggukan. Padahal si Maxin ini rindu berat sama Gogol dan ingin sekali
dicumbu. Tapi gimana mau nyumbu, si Gogol kepalanya diplontos dan masih
berpakaian duka (putih-putih). Di atas ranjang itu pula Gogol berkata ia
memilih keluarga batihnya.
Saya senang sekali lihat hubungan mereka ini.
Apalagi gaya Maxin yang bebas nyium, meluk, dan meraba si Gogol di mana saja.
Nggak peduli bahkan saat bertamu dan ketemu orang tua Gogol. Kan si Gogol yang
risih, apalagi ibunya dengan mata yang aduhai dan senyum memikat itu
meliriknya. Malulah dia.
Belum lagi saat Maxin bergabung dalam upacara
perkabungan atas kematian babanya si Gogol yang mati mendadak. Tampak sekali
bagaimana Maxin menjadi berbeda di tengah keluarga India itu.
Kalau mereka jadi kawin dan si Maxin mesti
dirias dengan gaya penganten perempuan India lengkap dengan upacaranya.
Biasanya kan rambut cewek India itu hitam tebal dan menjurai. Nah, si Maxin
berambut emas abis. Terus keningnya diberi sumba merah (namanya apa ya …
Hehehe).
Tapi kan nggak jadi. Pada akhirnya seperti
film India pasaran deh.
Patehan Wetan, 6 November 2007