Tuhan Izinkan Aku Rajam Pelacur (3)

oleh heri bahtiar, ss, m.si

Nidah, tolong engkau berikan informasi tentang amal kebaikan apa yang engkau kerjakan sehingga Tuhan pantas memberimu dispensi yang tidak pernah Dia berikan kepada semua makhluk. Apakah engkau merasai dirimu sudah sedemikian hebat beramal, sehingga engkau pantas meminta sesuatu yang tidak pernah diberikan segenap makhluk, termasuk kepada para nabi dan Rosul, terutama kekasih-Nya, al-Mustafaa?

Alangkah berat pertanggungjawabanmu yang harus engkau pundak kelak di hadapan sidang yang mahadahsyat bagi semesta makhluk di padang mahsyar?

Cobalah diputar ulang apa katamu tentang Tuhan dan adab makhluk kepada-Nya,

”Kau tak percaya dengan ibadah iman dan agama,juga termasuk konsep cinta, nikah dan lelaki lantaran kau pernah dikecewakan olah semua-mua hal itu. Hingga Tuhan pun tak kau sujudi lagi” (Nidah; 10)

Padahal engkau seorang muslimah, Nidah. Kalau engkau bukan seorang muslimah, barangkali aku tak lagi peduli. Sebab bisa jadi, di dalam agama lain di samping mainstream ritual, masih ada lagi ritual lain yang subsistem dan masih tetap dalam koridor doktrin agama itu. Tetapi engkau seorang muslimah, tidak ada lagi cara peribadatan di luar syariat.

Jangan turut pula engkau membelah-belahi agama ini, dengan menjadikan Islam menjadi dua model: Makkah dan Madinah. Sebab dalam proses yang linear secara temporal, ujung yang satu dipastikan menyentuh dan berimplikasi pada ujng lainnya. Sungguh, ujianmu pada satu sisi terasa sangat berat menghimpit, namun begitu, bukan berarti jika hanya karena engkau belum bisa lulus melaluinya, lantas membuatmu boleh mempersetankan seluruh ujian. Kalau salah satu tiang rumahmu keropos tidak bijak merobohkan selurah bangun dan sruktur rumah bukan, Nidah?

Terminologi Islam yang kau pakai melukai rasa hati umat Islam, harap kau ingat, bahkan sangat-sangat mengoyak nurani hingga ke dalam mimpi tidurku. Bukan, bukan Tuhan yang kau sayat-sayat sembilu, tapi aku yang pertama-tama luka. ”Kau pukul Dia terasa aku” Aku yang “Dia cipta dari shurah-Nya dan Dia beri ruh dari nafas-Nya, QS.65,29;38,72”

Ataukah engkau memang betul-betul tidak mau terikat dengan seluruh agama, dan oleh karenanya dengan Tuhan?

Aku meragukanmu, kalau-kalau engkau punya keberanian seorang atheis. Bagiku justru sederhana permasalahan jika engkau memproklamirkan diri menjadi seorang atheis, tidak percaya sama sekali dengan Tuhan. Atau, juga seandainya kau malah tak percaya, bahkan hanya dalam konsep tentang Tuhan sekalipun. Tak ada term atheis dalam desah dan keluh protesmu. Justru sebaliknya, seluruh pemberontakanu memakai terminologi Islam. Sepertinya tidak ada bakat dan titisan Nietsze, yang telah membunuh Tuhan dengan tangannya sembari mengatakan, “Tuhan telah mati dan akulah pembunuhnya!”, dalam amarahmu.

Tidak Nidah, terhadap orang atheis begitu aku tak perlu cemas betul. Sebab, mereka hanya punya satu pintu bahaya. Tetapi orang sepertimu, punya dua sisi bahaya: di satu sisi mirip orang atheis dengan segala perilaku marabahayanya, sementara di sisi lainnya engkau seorang muslimah yang berpotensi meruntuhkan surau orang Islam dari dalam. (Bacalah Achdiat K Miharja dalam Robohnya Surau Kami). Karena protesmu yang cenderung ”sekali serang, dua kali luka” itu antara lain, yang juga meneguhkan tekadku untuk ber-tabayyun (klarifikasi) padamu. Supaya orang-orang yang tidak punya bakat keberanian, misalnya seperti aku, tidak terkena dampak “suduk gunting, tatu loro” , kata orang Jawa. Meskipun hanya secara psikologis. Tetapi sungguh, itu sangat menghentak dan menghimpit dada hingga di puncak malam.

Sekarang kembali pada seputar ending yang engkau inginkan. Jika dalam Islam (verbal katamu) terdapat ayat, ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang mengubahnya sendiri” (QS.13:11), sama saja, dalam proses pergulatanmu itu juga terdapat hal yang sama. Di atas, sebelumnya sudah aku katakan, route perjalananmu itu mengandung dua potensi ending: happy dan sad ending. Kalau engkau berpretensi menjadi phlawan dengan cara seolah menjadi pendengar atau bahkan pembela kaum yang terpinggirkan, meski yang kau sebut kelompok atau kaum itu adalah iblis, aku takut engkau sedang berpretensi menjadi pahlawan kesiangan. Coba aku nukil tuturanmu,

”Aku ingin mengimami iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, ia dimaki, dimarginalkan tanpa ada satu pun yang mau mendengarnya. Sekali-kali bolehlah aku mendengar suara dari kelompok yang tersingkirkan, kelompok yang dimarginalkan itu. Supaya keseimbangan informasi.” (Nidah:11)

Aku takut, sungguh! Rasa takutku ini lebih-lebih lagi dibandingkan ketakutanku yang lain Nidah, pernyataan pembelaanmu yang heroik terhadap iblis itu jangan-jangan hanyalah argumen rasionalmu saja untuk mengalihkan kelemahan izah dan muru’ah-mu dalam menjaga martabat, mengobral libido syahwatmu. Sampai-sampai kau sujudi dengan tuma’ninah ideologi falusisme, (phallus;dzakar) karena pada hakekatnya jiwa manusia yang lemah dan rapuh, harap kau mengerti, senantiasa memerlukan sesuatu yang kuat.

Engkau yang seolah batu padas dan dewi api, Nidah, mengapa begitu tega menghinakan diri mensujudi “kubah candi” Prambanan atau juga “Borobudur” yang sangat artifisial? Kalau engkau sampai pada pengagungan dan pemujaan terhadap hidup itu sendiri sebagaimana Hindu-Budhis, masih mending. Tidak sedikit pemeluk Hindu-Budha yang karena penghayatan dan penyembahannya terhadap hidup yang tulus, moga-moga sampai pula Kepada Yang Maha Hidup dan tidak berhenti sebatas ritual pemujaan pada kubah Borobudur di dada kaummu dan puncak Prambanannya lelaki.

Jangankan Tuhan, Nidah, ibu-bapakmu yang menjadi sebab hidupmu, bagaimanakah rasa-rasanya jika kau hujat juga dengan bertanya mengapa mereka mengundangmu hadir di dunia yang kusut masai ini? Namun begitu, sunnatullah tetap saja tidak berubah, muslihat iblis yang engkau bela-bela itu, ujung-ujungnya engkau nyalakan neraka jahim, yang kadang sudah kau cicipi sendiri di dunia ini, di dalam dadamu sendiri. Apa kau sungguh-sungguh bermaksud begitu? Belum cukupkah kiranya AIDS menjadi peringatan bagimu dan kaum fallusis lain?

Kalau engkau ingin belajar bertauhid secara benar, berpura-puralah menjadi iblis. Tetapi engkau tetap seorang manusia. Artinya, jika engkau manusia tetapi berperilaku iblis kau salah. Tetapi bahwa salah satu interprestasi iblis terhadap perintah tauhid, berpeluang benar, itu sangat rasional. Hanya saja sekali lagi, engkau masih seorang manusia yang terbatasi oleh dimensi ruang-waktu sejarah dan juga oleh syariat. Bukankah dia sudah diberi izin oleh Allah untuk menggoda manusia dari depan, belakang, samping, atas, dan bawah? Jangan-jangan memang demikian peribadatan si iblis: menggelincirkan manusia, sedangkan peribadatan manusia yaitu bertahan dari godaan iblis.

Masing-masing tentu saja punya reward dan punishmentnya. Manusia yang berhasil dapat reward berupa surga, dan iblis yang “berhasil” juga diberi surga. Salah satu pemahaman para mistis tentang surganya iblis adalah, ya neraka itu. Karena iblis terbuat dari api, maka jika ia kembali ke dalam neraka itu berarti ia kembali ke “surga” nya, sebanding dengan manusia yang berhasil masuk surga. Jika logika ini digoncang, misalnya olehmu, maka dosamu bahkan melebihi dosa manusia dan dosa iblis itu sendiri.

Sekedar penegasan, Allah berfirman “Wala tattabi’u khutuwatis syaitan. Innahu lakum ‘aduwwummubin.” [Dan janganlah engkau turuti khutuwath (garis komando; ajakan; perintah; bisikan) syaitan. Sesungguhnya syaithan itu (memang diberi izin menjadi) musuh yang nyata bagimu] (QS. 2:142; 24:21).

Atau renungkanlah hikmah baik dan buruk dalam semesta realis obyektif, dan sebagai salah satu tawaran rumusan barangkali kau perlu buka buku Merindui-Mu seperti akau nukil ini:

Si Salik yang menekuni ilmu fisika ingin mengetahui rahasia cahaya. Ia merubah dirinya menjadi sebutir partikel dan bergaul dengan ion-ion.
“Menurutku aku lebih utama dari apapun karena eksestensiku membuat manusia faham tentang banyak hal. Dalam terang segala sesuatu jadi mungkin terdefinisikan. Apa pendapatmu?”

Tanya terang kepada gelap.

“Aku tidak yakin,” bantah gelap. “Sebab engkau dikenal lantaran aku ada. Tanpa gelap, terang tidak dikenal. Oleh karena itu akulah, yang menjadi proposisi sehingga kau dikenal, yang lebih utama.”

“Mana mungkin begitu! Apakah kau juga akan menganjurkan supaya kegelapan-mu diperbanyak, karena lebih utama? Kalau begitu kau akan membuat hati banyak pencinta semakin merana.”

“Oh…! Jangan salah mengerti. Banyak dan sedikit itu masalah kuantitas, sedang utama dan tidak itu kualitas. Meskipun keduanya berbeda tetapi Sang Sutradara sering mengutamakan kualitas dari kuantitas. Jadi biar terang semakin nyata kualitas intrinsiknya, gelap sering lebih dominan secara kuantitatif.”

Alinea terakhir kutipan itulah sesungguhnya yang menjadi rahasia kehidupan ini secara keseluruhan. “Kualitas intrinsik meskipun secara kualitatif pasti lebih dominan.” Aku ingin mengingatkanmu, bahwa pembelaanmu yang membabi buta pada kelompok terpinggirkan semisal iblis, akan membuat hati banyak pencinta semakin merana, Nidah. Sebab engkau bukan hanya mengikuti jejak kegelapan, melainkan juga, dengan gaya bahasamu itu, engkau hanya menyiar-nyiarkan dan atau menjadi penganjur kegelapan. (Bersambung)

* Digunting dari “Pendahuluan” buku Tuhan, Izinkan Aku Rajam Pelacur! Memoar Autobiografi Kerang yang Terluka. Untuk lebih lanjut silakan baca buku dengan judul tersebut.