Aku dan Pamuk (3)

::muhidin m dahlan

SNOW
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Berliani M Nugrahani
Penerbit: Serambi, April 2008
Tebal: 731 halaman.

Hari ini, 26 Juni 2008, Turki kalah di kancah sepakbola Eropa dengan sisa darahnya yang terakhir. Jerman yang menyurukkan mereka di menit terakhir. Aku memang belum selesai mengaji tentang Pamuk—juga tentang KA. Buku itu sudah kutinggal di Banjarmasin lewat sebuah lawatan dramatik yang berkahir antiklimaks.

Tapi hari ini semuanya sudah berakhir. Turki takluk sudah di Jerman. Dan kutahu juga KA mati terbunuh secara misterius di Jerman setelah hidup dengan meragukan di awal-awal ia di Kars yang perlahan bangkit dan trengginas di pertengahan dan di pengujung mengalami antiklimaks. Namun takdir mengatakan lain bahwa semuanya berakhir. Semuanya harus dipungkasi. Inilah hasil akhir dari pembacaanku atas Pamuk, Turki, KA, dan Jerman. Sekaligus dengan matinya KA, tertahannya Turki di semifinal, aku juga menderita kekalahan dari taruhan dengan sahabat baikku RA setelah sebelumnya aku mengalahkannya saat komunis Rusia (kekuatan progresif revolusioner) mencekik (komprador imperialis) Holland 3-1.

Barangkali berita dari Kompascyber ini yang membesarkan jiwa sehingga tak malu-malu amat dalam pertaruhan hidup.

Darah Terakhir Turki Tetap Merah Membara
Kamis, 26 Juni 2008 | 04:49 WIB

IBARAT kata, Turki tampil dengan darah terakhir saat menghadapi Jerman di semifinal Euro 2008. Mereka benar-benar krisis. Sebanyak 9 pemain tak bisa tampil karena cedera atau terkena hukuman.

Namun, darah terakhir itu masih merah membara. Tak sedikit pun mereka mununkkan kelelahan atau kelemahan. Sebaliknya, seperti diperkirakan Michael Ballack, Turki tetaplah neraka yang harus diperhitungkan sebagai tim paling berbahaya.

Turki tetap tampil luar biasa, memesona dan mengagumkan. “We never says die,” begitu kata pelatihnya, Fatih Terim, meski harus bertarung dengan sisa-sisa kekuatan.

Namun, Turki tetaplah Turki. Mereka begitu bangga dengan nama negaranya. Sebab, Turki berasal dari kata Turk dan iye. Turk berarti strong atau kkuat. Dan, mereka tetap ingin mengibarkan identitas bangsanya sebagai pasukan yang kuat di semifinal itu.

“Tak ada yang tak mungkin. Selama kami tak menghendaki kekalahan, kami akan bertarung sampai benar-benar titik darah penghabisan,” kata Terim sebelum pertandingan.

Dan, itu ditunjukkan dengan baik oleh Turki. Jika akhirnya mereka kalah 2-3 dari Jerman, bukan berarti darah mereka telah terkuras habis atau sudah berganti warna abu-abu. Tapi, darah mereka justru semakin merah membara. Turki telah menoreh tinta emas dalam sejarah sepakbola. Bukan saja masuk semifinal untuk pertama kalinya, tapi juga memberi pesan bagaimana bermain bola yang energik, penuh semangat, tanpa kenal menyerah, hingga begitu menggairahkan. Mereka juga mengabarkan bagaimana bermain sepakbola menyerang yang baik dan memuaskan, bukan sepakbola banci yang melulu hanya mengejar kemenangan.

Sebab itu, Turki tetap bisa pulang dengan kepala tegak. Kekalahan menjadi sekadar hasil pertandingan, tanpa mendatangkan aib. Sebaliknya, sejuta pujian pantas dilayangkan kepada Turki yang telah menyuguhkan semangat juang dan permainan menyerang yang menawan.

Pantas, pelatih Jerman, Joachim Loew memberi pujian khusus buat Turki. “Mereka bermain dengan baik. Mereka mengejar bola ke mana pun berada, hingga membuat para pemain kami seolah keberatan kaki dan sulit melangkah,” puji Loew.
Karena mentalitas itu pula, mungkin, Jerman mengajak Turki beraliansi pada Perang Dunia 1914. Jerman tahu bagaimana Turki bertarung. Dan kini, mereka justru saling bertarung sendiri, tapi di sepakbola. Toh, mereka tak harus membangun permusuhan.

Itu pula sebabnya, Menteri Dalam Negeri Jerman, Wolfgang Schaeuble mengatakan, “Biarlah tim terbaik yang memenangkan pertandingan. Yang lebih penting lagi, kemenangan itu berupa persahabatan antara Jerman dan Turki.”

Turki pun sebenarnya tak hharus merasa kalah. Bahkan, jika ada catatan manis selama Euro 2008, Turki adalah salah satunya. Di saat krisis, mereka masih bisa memberikan suguhan menarik. Mereka memang tampil dengan darah terakhir, tapi justru permainannya seperti sihir.