Aku dan Mangir (2)

::muhidin m dahlan


MANGIR
KPG, 2000
143 halaman

29 Juni 2008, masih di lereng Gunung Sempu. Seharian setelah mengetahui bahwa esai bukuku dimuat hari ini di Jawa Pos, aku menghamburkan diri ke toko buku. Tapi kali ini aku memilih toko buku terjauh: Toga Mas. Jika rumahku berada di ring road selatan, maka toko buku ini ada di bagian utaranya. Jadi, aku menjelajahi kota dari ujung ke ujung.

Tapi toko buku ini selalu membawa kemujuran. Sebab di sinilah, malam ini, aku menemukan dua buku yang paling kucari dalam sepekan terakhir ini. Di sini, Mangir dan John Rossa (Dalih Pembunuhan Massal) ada. Di sini, zakat untuk esaiku kuhabiskan. Ada empat buku yang kubeli sembari menanti RA yang sebelumnya berjanji bertemu kembali di toko yang serba tradisional tapi menyenangkan ini. Dua buku lainnya Fisionogrami (khusus untuk bahanku membuatkan novel biografis seorang seniman muda pelukis wajah) dan Genjer-Genjer (untuk menambah amunisi penulisan Lekra Tak Membakar Buku yang sedang memasuki ‘hamil tua’)

Toko buku ini memang tampil bersahaja. Arsitekturnya yang lapang dan kebanyakan berbahan kayu (pohon kelapa). Nuansa tradisionalnya masih terasa. Mural-mural berbahasa Jawa yang cerdas dan lucu-lucu tampak menghiasi beberapa bagian dindingnya. Ada juga cafenya yang unik dan menyenangkan di lantai atas berjajar dengan panggung untuk peristiwa-peristiwa buku. Bikin betah seharian nongkrong di sini. Selain karena satpamnya memang nggak galak seperti di Gramedia kalau kita datang hanya untuk membaca buku (bagi kalangan fakir buku). Dan yang pasti, parkirannya gratis. Soal parkir barangkali punya daya tarik sendiri. Ini hanya soal sepele. Tapi dasar orang Jogja, beda Rp 500 perak aja dicari kok. Dan Toga Mas tahu psike itu.

Bukan karena soal parkir dan ketiadaan satpam yang sangar aku ke toko ini dan menemukan Mangir. Tapi karena ingin melepaskan ‘zakat’ saja. Dan juga pergi ke toko buku bukan pekerjaan tercela bukan. Dengan tertangkapnya Mangir, artinya aku membunuh satu pekerjaan untuk kembali ke perpustakaan Malioboro (Jogja Library sekarang namanya) membaca peta perlawanan Mangir sebelum menuju petilasan Ki Ageng yang berjarak sekira 25 kilometer dari pusat kekuasaan Mataram di Jogjakarta.

Buku ini merupakan seri ke-4 dari tetralogi Pramoedya Ananta Toer selain Tetralogi ‘Bumi Manusia’ yang sudah dikenal publik luas. Buku 1: Arok Dedes yang berkisah tentang awal munculnya Kerajaan Singhasari. Buku 2: Mata Pusaran yang berkisah senjakala Kerajaan Majapahit. Buku 3: Arus Balik yang berkisah tentang luruhnya Demak. Dan buku 4: Mangir yang berkisah tentang bagaimana Mataram mengonsolidasikan kekuasaan pedalamannya dengan pelbagai cara, bahkan cara-cara kotor sekalipun.

Jika ketiga buku saudaranya umumnya gemuk-gemuk, si bungsu ini kelihatan kerempeng dan seperti orang yang jarang makan saja. Bentuk penulisannya pun berbeda. Ketiga saudaranya berbentuk fiksi naratif, sementara Mangir fiksi-lakon.

Tapi mengapa Pram mengambil peristiwa pembangkangan Mangir dalam sejarah Mataram dan bukannya hal yang lain? Pertimbangan apa yang melatari Pram mengambil momen itu? Apa yang ingin diperlihatkan Pram untuk memungkasi ‘Tetralogi Aros Dedes’-nya dengan sebuah adegan ringkas di sekitar terbunuhnya Wanabaya alias Mangir dalam siklus kerajaan Jawa terakhir?

Mangir masih terbungkus rapi. Minggu depan akan kucatat peta menuju pertempuran paling berdarah dan licik yang berlangsung di pal 20 Mangir-Mataram.