::gus muh
Sudah tujuh tahun buku “Cerita dari Blora” berdiri gagah di satu deretan rak karya Pramoedya Ananta Toer. Dan selama waktu panjang itu pula karya yang terbit pertama kali 1952 ini tak pernah kureken. Walau A Theew dan HB Jassin merayu-rayu mengatakan bahwa cerita itu adalah cerita-cerita terbaik dalam kepengarangan awal Pram.
Aku baru terusik setelah tujuh tahun kemudian ketika di pekan terakhir Desember 2008 aku menyongsong Blora dengan “gagak rimang” merahku dalam jarak ratusan kilometer dari Jogjakarta. Membawa satu-satunya buku untuk kubaca dalam kota itu; selain karena aku ingin memulai 2 penulisan buku tentang Pram pada 2009: “Pramulopedia: Pramoedya Ananta Toer dari A-Z” (dikerjakan dengan telaten bersama Nurul Hidayah), “Pramoedya Ananta Toer: Laskar Merah Lentera” (kiprah Pram selama mengasuh rubrik “Lentera” Bintang Timur; ditulis bersama Rhoma Dwi Aria Yuliantri).
Dan inilah “Cerita dari Blora”. Ia menjadi segulungan peta dan semacam buku kompas yang menuntunku untuk membaca kota ini. Bahkan ketika pertama kali melewati gerbang “Blora Mustika” dari arah Ngawi-Bojonegoro-Cepu, Pram sudah menyambut di Alun-Alun kecil kota yang juga sungguh mungil ini.
Alun-Alun masih basah. Sesorean itu disirami hujan kehijau-hijauan yang mengangkuti lumpur-lumpur ke sungai.
Sambil makan jagung pedas, menonton dengan bosan murid-murid SMP yang baris-berbaris, dan menyipit segerombol polisi dengan postur-postur kecil ngepos di depan kantor bupati yang menghadap selatan, kuminta Pram berkisah tentang alun-alun ini. Dengan suara yang serak dan perlahan, Pram mengatakan sambil menyitir dongengan nyi Kin yang membantu keluarganya:
“Bupati yang memerintah kabupaten Blora itu ndoro Kanjeng Said. Suatu kali kota kami mengalami musim hujan dobel. Kali Lusi meluap melampaui tepinya. Kota kami yang aman dan damai digenangi air banjir yang mengandung lumpur. Dan karena alun-alun kota kami terletak pada salah sebuah pucuk pegunungan, gumpal tanah ini akhirnya merupakan pulau di antara laut air yang luas. Penduduk daerah kami digiring oleh air ke alun-alun. Mereka membawa anak, kerbau, sapi, dan diri sendiri. Dan barangsiapa tak cepat-cepat pergi akan digulung oleh air dan dibawa ke muaranya. Hujan terus jua jatuh dengan lebatnya. Rumah ndoro bupati penuh sesak oleh manusia. Ndoro bupati ke luar dari rumahnya dan membawa sebilah cemeti. Dipecutnya air yang menjilati tepi alun-alun sambil memantrai. Dan perlahan-lahan tapi pasti air pun dimulai surut dan kembali masuk di kali Lusi.”
Kantor bupati yang diceritai itu kutengok. Tampak menyeramkan. Bangunannya besar. Megah. Dinding pagarnya tebal. Di sisi kirinya didirikan kemah polisi untuk jaga-jaga hari Natal. Kubayangkan juga tiba-tiba bupati Said yang masyhur muncul dari sana. Gagah memegang cemeti sementara para kawulo duduk rapi berjongkok melihat penguasa mereka menantang banjir laknat. “Keharuman ndoro kanjeng Said itu tetap dalam kenang-kenangan penduduk kota kami yang kecil itu,” kata Pram.
Tapi bukan RM Said sekarang di sana. Yang ada RM Yudhi Sancoyo yang bertakhta setelah Bupati Basuki Widodo meninggal dunia karena sakit lever pada Sabtu malam 21 Juli 2007 di rumah pribadinya Semarang. Tak ada yang menaonjol dan magis yang terpancar dari sosok ini. Kecuali bahwa ia pernah digugat perdata senilai Rp2 miliar lebih oleh CV Intermed karena merasa dirugikan terkait lelang pengadaan mobil puskesmas keliling dan motor DKK Blora tahun anggaran (TA) 2008.
Bupati RM Yudhi juga pernah duduk sebagai saksi atas sangkaan korupsi pada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Blora M Warsit, Sumarso. Sang terdakwa menanyakan tanggung jawab sang bupati atas kasus dugaan korupsi pos tunjangan anggaran DPRD dari APBD 2004 Kabupaten Blora senilai Rp 5,6 miliar di mana saat itu RM Yudhi menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blora mendampingi M Warsit.
Karena itu barangkali di milis blora.com muncul kesangsian dari warganya. “Mending ra sah ono bupatine wae blora isine gur janji2 thok pas di tageh ngmonge lali politik itu BULL SHIT hahahahahhahahahahhaha.”
Yang lain menyahuti: “Yen diganti koyo jamn mbiyen opo kuwi adipati piye ?, opo diceluke ario penangsang ben dadi kerajaan ae.”