::achsin el-qudsy
Cinta oleh sebagian orang begitu dipuja. Banyak seniman, satrawan yang menghasilkan karya tentang cinta. Muhidin M Dahlan dalam karya novel “Kabar Buruk Dari Langit.” Tokoh utama novel tersebut bahkan berkata: “Aku tak tahu apa aku berpindah agama atau tidak, karena aku sudah tak terikat pada agama apa pun. Cintalah agamaku. Cinta melampaui semua ikatan agama.”
Cinta pula yang menginspirasi Raja Agra untuk membangun Taj Mahal di India sebagai kuburan mendiang istri yang dicintainya.
Seorang laki-laki rela bekerja seharian, bersusah payah memeras keringat sebagai petani, nelayan, guru, buruh, karyawan, atau lainnya, didorong oleh rasa cinta terhadap anak dan istrinya.
Seorang perempuan, turut membantu suaminya mencari nafkah, merawat dan membesarkan anak-anaknya, membersihkan rumah dan menyiapkan makan keluarganya, juga didorong oleh rasa cintanya kepada keluarga.
Seorang anak mematuhi perintah ayah dan ibu, merawat dan memelihara keduanya setelah mereka uzur didorong oleh cinta. Kita bersadakah, menolong dan membantu orang lain yang kesusahan adalah karena kita cinta pada sesama.
Namun, lihat di sisi lain. Seorang suami atau isteri berbuat selingkuh juga didorong oleh rasa cinta ‘yang lain’. Seorang pemuda tertarik pada lawan jenisnya, berpacaran dan kemudian berzina juga didorong oleh rasa cinta.
Seorang anak berani membantah dan melanggar keinginan orangtua, hanya karena rasa cinta yang lebih besar pada kekasih hatinya. Bahkan aborsi yang dilakukan seorang wanita, tidak jarang adalah buah rasa cinta dengan pacarnya.
Semua itu sengaja dipaparkan untuk menggambarkan fakta di sekeliling kita yang berkaitan dengan cinta. Sebenarnya, definisi cinta sampai sekarang masih beragam. Ada yang mensinonimkannya dengan kata kasih sayang.
Bahkan salah seorang teman pernah mengatakan, cinta adalah sesuatu yang profan, abstrak, surealis untuk didefinisikan. Cinta manunggaling dengan alam, kehidupan dan manusia, katanya. Begitulah.
Jadi Cinta????
Sumber: filsafat.kompasiana.com