Pekan terakhir Januari, dunia kesusasteraan kembali ribut-ribut oleh dimuatnya cerita pendek Dadang Ari Murtono berjudul “Perempuan Tua dalam Rashomon” di sebuah koran nasional. Penulis ini dimaki-maki sedemikian rupa, seakan dialah kriminal dunia kreatif. Sampah yang harusnya di-balikpapan-kan.
Kalau merujuk pada data kronik yang dihimpun Indonesia Buku pasca Indonesia merdeka, plagiat itu bukan suatu yang mengagetkan dan bikin sesak. Selalu ada pemaafan. Selalu ada pelupaan. Bahkan plagiat kerap berujung pada kehormatan.
Tahun 1954-1955, sebagaimana dirilis Bintang Timur, penyair Chairil Anwar menghebohkan sastra setelah Kumajas menemukan salah satu puisi Chairil mencomot karya Andre Gide. Kehebohan itu bersamaan dengan terbitnya buku HB Jassin: Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45.
Saat itu, Jassin tampil sebagai pembela utama Chairil dengan mengutip macam-macam pendapat untuk menyokong argumentasinya. Seperti mengutip pendapat Andre Gide sendiri yang pernah mencari-cari bentuk pemaafan plagiasi dengan bicara soal pengaruh: “pengaruh jang datang dari luar diri siseniman mendjelang seniman itu ‘mendjadi’”.
H.B. Jassin saat itu mbulet-mbulet menjelaskan posisi plagiat itu. Yang agak jernih dan terus-terang adalah sastrawan M Ardan. “Dengan pengakuan kita atas tuduhan (plagiat oleh) Kumajas akan menambahkan kebesaran Chairil. Chairil pun terbebas dari kepulauannnja. Buat apakah kepalsuan dipertahankan dan disandjung pudja?” bela Ardan sembari membenarkan.
Enam tahun kemudian, giliran karya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijk yang dituduh Abdullah SP sebagai karya plagiasi dari novel Magdalena karya Manfaluthi. Dengan dimuatnya judul esei yang menusuk, “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” di hari Jumahat, 7 September 1962, “Lentera” Bintang Timur memulai perang panjang. Dua tahun lamanya, nyaris seluruh halaman “Lentera” diisi serbuan atas Hamka hingga ulama ini masuk penjara. Jassin sebagai pembela Hamka benar-benar keok.
Sesudah itu kita temukan riak-riak kecil. Misalnya penulis tokoh-tokoh militer produktif Solichin Salam dituduh menjiplak karya Sitisoemandari Soeroto, Kartini: Sebuah Biografi (Gunung Agung, Jakarta, 1977). Hal itu terungkap setelah Soeroto meresensi buku Solichin berjudul R.A Kartini, Seratus Tahun (1879-1979) (Gunung Muria, Jakarta, 1979). (Tempo, 12 Mei 1979)
Keributan yang heboh di media massa terjadi ketika tesis doktor Yahya Muhaimin diterbitkan LP3ES pada 1991. Buku berjudul Bisnis dan Politik adalah terjemahan dari tesis Muhaimin yang dipertahankan di MIT Cambridge, AS, 1982, Indonesian Economic Policy 1950-1980: The Politics of Clint Businessmen.
Mula-mula pengusaha Probosutedjo tersinggung atas isi buku. Tapi kemudian isu itu berubah memukul buku itu sebagai karya jiplakan. Dalam buku Plagiat-Plagiat di MIT (1992), Ismet Fanany membeberkan secara detail dan cermat—mirip yang dilakukan Abdullah SP tahun 1962 untuk buku Hamka—bagian-bagian dari tesis Yahya Muhaimin yang dijiplak dari karya Lance Castles, Gibson, Sutter, dan Robison.
Setelah itu isu plagiat karya ilmiah berturut-turut datang dan pergi di ingatan dunia pengetahuan. Antara lain Dr Amir Santoso (1997, FISIP UI membatalkan gelar doktornya), Ipong S Azhar (2000, UGM mencabut gelar doktornya setelah ketahuan mencuri kutipan skripsi Nurhasim), Zulfan Heri (2000, Universitas Riau, merampok tesis Sri Nilawati), dan Dr M Nur MS (2004, Univ Andalas, Padang, menjiplak skripsi Boby Hendry).
Selain itu, kasus rampok-merampok ini juga menimpa Sri Woro B Harijono (2008), Mochamad Zuliansyah (2010, gelar doktornya dicabut ITB), Pusat Bahasa untuk kasus penjiplakan karya Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia (2010), Profesor Anak Agung Banyu Perwita (2010, Universitas Parahyangan Bandung), dan penulis blog tunanetra Eko Ramaditya Adikara yang mengklaim menciptakan sejumlah musik untuk game Jepang (2010).
Kehormatan Bagi Yang Plagiat
Dari semua deretan kasus penjiplakan itu, semua terdakwa betul-betul duduk sebagai pesakitan. Rocky Gerung (2010) menyebutnya perilaku koruptif. Rhenald Kasali (2010) mendakwanya perbuatan tercela.
Tak semuanya tercela sedemikian-demikian. Paling tidak untuk peristiwa di Indonesia. Sebut saja Chairil Anwar yang tetap kukuh sebagai penyair pembaharu dan namanya menterang di buku-buku pelajaran sastra tanpa sedikit pun ada catatan dosanya.
Setelah berganti rezim, Hamka tetap kokoh menjadi ulama besar dan disegani. Yang lebih hebat lagi adalah Yahya Muhaimin. Sepuluh tahun setelah kasus penjiplakannya lewat, Muhaimin ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan Nasional di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Mirip dengan residivis korupsi yang comeback memimpin organ tertinggi sepakbola Indonesia. Hebat, bukan? Terhormat, bukan?
Jadi, siapa bilang plagiator atau maling itu pekerjaan menjinjikkan. Bahkan, pekerjaan ini menjadi kerja kehormatan. Ini kalau kita mengikuti definisi Brian Martin dari American Historical Association, sebagaimana dikutip Daniel Dhakidae (2008): ”Plagiarisme paling jelas terjadi ketika seorang menyalin ungkapan atau deretan kalimat-kalimat dari suatu karya yang sudah diterbitkan tanpa memakai tanda kutip, tanpa memberikan penghargaan kepada sumber, atau kedua-duanya”.
Penjiplakan macam ini disebut Martin sebagai ”plagiarism of authorship”. Istilah lain adalah “plagiarisme institusional”, yakni ketika “bawahan” menulis untuk “bos” dan sang bawahan “rela” naskah yang ditulisnya didaku sang bos. Termasuk jenis plagiarisme ini adalah naskah pidato para bos.
Saya belum pernah melihat dan mendengarkan Presiden SBY, misalnya, memulai atau mengakhiri pidato yang dibacakannya menyebut penulis naskah atas pidato itu. Demikian pula sambutan-sambutan tertulis semua menterinya.
Kasus ini tentu saja masuk di arena dengan pengertian plagiarisme sedikit digeser ke arena yang lebih meluas. Bukan lagi soal ”rampok-merampok” dalam tulis-menulis yang selalu diributkan di level rendah atau sebatas kalangan akademis yang terbatas.
Tapi kasus ini menjelma menjadi”power relations” yang asimetrik. Plagiarisme yang melekat secara kelembagaan dan dikerjakan sedemikian rupa ini, saking luas dan sebegitu besarnya, serta sebegitu jelasnya sehingga malah menjadi sesuatu yang terhormat.
Begitulah, kita ini memang paling mahir dan berani mengutuk maling-maling kecil di ranah soal teknis, tapi membiarkan perampok-perampok besar yang hanya mengganti namanya di sebuah tulisan yang satu kalimat pun tidak dipunyainya. Dan itu bukan saja terjadi di warung-warung penyedia jasa pembuatan skripsi, disertasi, dan tesis, tapi juga berkeliaran di titik nol kekuasaan.
Di Republik ini, pekerjaan merampok bisa dengan mudah bersulih menjadi kerja kehormatan. Dan yang terkutuk tetap saja priyayi-priyayi kecil, sementara penggede tetap aman.
Akur!
Sumber: Jawa Pos, 6 Februari 2011