#2 Prambanan: Padam di Hari Ketiga

29 Agustus 2011 | Km 15 | Pkl 06.00

15 kilometer atau 30 menit dari Kotagede, Yogyakarta, saya melewati Prambanan. Sinar matahari agak mengacaukan pandangan yang membikin motor dipacu dengan kecepatan sedang dalam kesunyian jalanan mudik. Pastilah siangnya jalanan ini akan sesak. Saya menepi dibawa gapura tak jauh dari halte bus transjogja, halte terakhir di bagian timur.

Saya berhenti di Prambanan ini bukan sedang menikmati eksotisme yang dipancarkan oleh candi terbesar kedua yang diwariskan leluhur. Saya juga tak tertarik menuliskan ulang lapis demi lapis makna relief candi Prambanan hingga sampai pada kedalaman menangkap kuplet cerita Ramayana yang berlandaskan pada ajaran Hindu. Sudah banyak yang menuliskannya. Sudah banyak yang mengambil alih simbol-simbol utama di dalamnya. Relief pohon Kalpataru yang tengah mengapit singa di Prambanan itu, misalnya, disebut-sebut melatari mengapa nama itu dipakai pemerintah sebagai nama penghargaan kepada penggiat lingkungan. Juga, pohon Kalpataru itu dipakai sebagai lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan bukan Panda sebagaimana dipakai WWF.

Tidak pula sepagi itu mengeluarkan catatan untuk menuliskan secara cepat Rara Jonggrang yang menipu mentah-mentah Bandung Bandawasa yang membikin ksatria culun itu ngamok pagi-pagi, menghancur dan meleburkan kan ribuan candi bikinannya semalam suntuk.

Ini soal determinasi Prambanan menjadi picu Pemberontakan PKI tahun 1926 yang kemudian digebuk habis-habisan pemerintahan kolonial Belanda. Paling tidak, frase “Prambanan” dalam buku Ruth T. McVey, “Kemunculan Komunisme di Indonesia”, disebutkan belasan kali, mulai halaman 534 hingga 600-an.

Prambanan dalam kamus PKI diingat bukan saja kegagalannya dalam merumuskan pemberontakan, melainkan bagaimana sebuah pemberontakan diputuskan dengan tergesa-gesa. Karena setelah rumusan Prambanan gagal di lapangan—bahkan hanya tiga hari—periode pergerakan revolusioner pada saat itu menurut refleksi D.N. Aidit berada pada periode “tanpa masa depan” hingga pemberontakan di atas geladak kapal Zeven Provincen pada 1933 yang gelegarnya mirip “kilatan halilintar yang tiba-tiba menggelegar di tengah teriknya hari di musim kemarau… yang membangkitkan kembali semangat perlawanan rakyat Indonesia terhada kekuasaan kolonial Belanda”. (Peter Edman, “Komunisme ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965”, Jakarta: Center for Information Analysis, 2005: 35)

Ayo mari ikuti Konferensi Prambanan yang dihelat pada 25 Desember 1925. Konferensi yang Sardjono buka itu diikuti lebih kurang sebelah pemimpin teras partai. Ini konferensi benar-benar menyiapkan pemberontakan nyata, menyeluruh, dan serentak.

Sardjono dalam pembukaannya misalnya terang-terang mengusulkan aksi dimulai dengan pemogokan dengan puncak aksi kekerasan bersenjata dengan menarik kaum tani dan prajurit ke dalam pemberontakan di pihak komunis. Pura-puranya pemogokan itu di bawah dalih tuntutan kenaikan upah, namun sebenarnya adalah uji coba kesiapan buruh. Jika ada dukungan besar, tahapannya naik ke revolusi. Jika belum, dicobai lagi sampai benar-benar siap. Tak lupa, pertemuan Prambanan menghasilkan keputusan pembentukan badan rahasia partai yang dinamakan Dubbele Organisatie atau Dicatatoriale Organisatie (DO). Badan rahasia ini dijalankan dengan sangat rahasia dengan disiplin kader di atas rata-rata.

Tapi waktunya? Prambanan tak menghasilkan keputusan bulat. Kota-kota yang diledakkan juga tak jelas, selain Padang. Jika berhasil di basis terkuat PKI di Sumatera Barat itu barulah diperluas di Jawa. Ini siasat memecah konsentrasi pemerintah kolonial.

Bukan hanya soal waktu dan tempat, Prambanan juga menyimpan perbedaan laten dalam proses antar elite partai. Keputusan Prambanan rupanya tak didukung bulat-bulat oleh penggedenya. Dukungan (persenjataan) Komunis Internasional yang bermarkas di Soviet juga angin-anginan. Tanpa senjata, revolusi apa namanya.

Dalam situasi keyakinan melimpah-limpah di antara para pemrakarsa yang hadir di Prambanan dan penantian dukungan materi dan moral dari Komintern, pemerintah Hindia Belanda punya waktu terlalu banyak melakukan represi. Elite-elite partai seperti Darsono, Mardjohan, dan Aliarcham ditangkapi. Sementara Musso, Budisutjitro, dan Sugono diuber-uber. Petinggi-petinggi partai pun lenyap pasca Konferensi Prambanan.

Termasuk Tan Malaka.

Rupanya Tan tidak seirama dengan sikap yang diambil para elite partai di Prambanan. Menurutnya, tindakan elite di Prambanan itu berani tapi bodoh. Menurut Tan, situasi objektif saat itu adalah mengadakan putch, bukan pemberontakan raya. Sebab untuk mempersiapkan sebuah revolusi, mesti dipastikan secara objektif kesiapan seluruh penduduk di belakangnya. Hanya aksi massa yang terorganisasi akan menggulingkan Belanda.

Informasi dan perdebatan antara elite partai soal jadi tidaknya pemberontakan diteruskan di persembunyian, yakni Singapura. Yang hadir adalah Alimin, Musso, Sardjono, Sugono, Subakat, Sanusi, Winanta, dan Budisutjitro. Alimin yang ditugaskan sebagai perantara kepada Tan Malaka. Situasi ini sangat tak membantu. Para elite berdebat soal teori, praktisi-praktisi partai di Banten, Batavia, dan Padang sudah dilanda kegelisahan yang menuntun mereka mengambil inisiatif serangan berdasarkan Keputusan Prambanan yang sebetulnya tak menuntun hingga di tingkat praksis. Apalagi merumuskan Plan B: bagaimana jika pemberontakan gagal.

Ini hambatan komunikasi. Seandainya waktu itu sudah ditemukan teknologi jejaring sosial seperti sekarang, tentu mudah bagi Musso, Semaun, dkk menginformasikan situasi terkini dan direspons cepat kader akar rumput. Kenyataannya tidak. Sebiji informasi bisa berbulan-bulan baru sampai karena diantar dengan jasa kurir berkaki.

Maju mundurnya realisasi Keputusan Prambanan itu dan disertai pro kontra apakah berontak atau tidak kemudian membikin keyakinan yang bulat itu menerima kutukannya. Hanya tempo 3 hari, “pemberontakan” PKI di Banten, juga Batavia, dan Padang yang berlangsung pada 13 November 1926 digulung. Bukan hanya penangkapan dan pembuangan besar-besaran atas kader PKI dilakukan, melainkan juga kontrol ketat atas semua partai nasional sesudahnya.

“Laiknya pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun. Begitupun dunia yang ternoda, ia musti dicuci dengan darah,” demikian Haji Achmad Chatib menegaskan mengapa PKI Banten harus bertindak terhadap pemerintahan kafir itu.

Keyakinan Haji Chatib itu dibayar mahal. Michael C. Williams dalam “Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten” mengeluarkan statistik penangkapan akibat pemberontakan 1926.

Dari 13 ribu yang ditangkap, sebanyak 1.300 orang berasal dari Banten, 3000 di Jawa Barat, sementara Padang sebanyak 2000 orang. Hukuman yang dijatuhkan macam-macam. Mulai dari hukum mati hingga pembuangan Boven Digul. Angkatan pertama Digul itu dihuni antara lain Haji Achmad Chatib, Puradisastra, Achmad Bassaif, Tb. Hilman, dan Agus Solaiman.

Yang menarik dari hitung-hitungan Williams adalah ada 99 jumlah interniran Digul itu yang berkaitan erat dengan komunisme dan islamisme. Bahkan 11 orang guru agama, dan sisanya haji. Dari 27 haji asal Banten, 17 di antaranya pernah tinggal di tanah suci Mekkah. Sebut saja Haji Chatib, Haji Asgari, Haji Artadjaja, Haji Emed, Haji Soeeb, Haji Abdul Hadi, Haji Akjar, Haji Mu’min, Haji Ali Asgar, Haji Mardjoek, Haji Sentani, Haji Achmad, dan Haji Enggus.

Di kemudian tahun D.N. Aidit melawan paham-paham yang menyalahkan pemberontakan PKI 1926, baik kalangan dalam maupun luar partai. Bagi Aidit, pemberontakan November 1926 mestilah ditempatkan sebagai pemberontakan kaum petani sebagaimana kronik panjang pemberontakan di Nusantara.

“Saya hanya ingin menunjukkan bahwa pemberontakan 12 November 1926 bagi bangsa Indonesia yang sudah biasa memberontak terhadap ketidakadilan bukanlah sesuatu yang luarbiasa. Begitu juga pemberontakan2 kemudian. Hanya orang2 Indonesia yang tidak mengenal sejarah bangsanya dan tidak tahu watak2 bangsanya yang merasa kaget dan tidak bisa menerima dalam akalnya pemberontakan tahun 1926. Ada juga yang menyalahkan dengan ,,alasan” waktunya belum tiba, oleh karena itu tidak mencapai hasil dan banyak memakan korban. Mereka menyalahkan PKI, karena PKI, walaupun masih sangat muda usianya, berusaha se-dapat2nya untuk memberikan pimpinan pada pemberontakan tahun 1926. Jika fikiran orang2 ini diikuti, maka mereka juga menyalahkan pemberontakan petani dibawah pimpinan Ken Arok karena pemberontakan ini tidak membawa kaum tani yang memberontak kesinggasana kekuasaan, mereka juga menyalahkan perlawanan Rakyat dibawah pimpinan Sultan Agung Mataram, Hasanuddin, Surapati, Diponegoro, Pattimura, dan pahlawan2 lainnya, karena perlawanan2 ini memakan banyak korban dan tidak membawa Rakyat kesinggasana kekuasaan. Hanya kaum reaksioner yang menyalahkan pemberontakan Rakyat!” D.N. Aidit, “Pilihan Tulisan” (Jilid II), Jajasan Pembaruan, 1960: 108

Demikian sekelumit Prambanan yang tak hanya berisi kisah tentang candi dan sendratari Ramayana, tapi juga jadi hulu sebuah pentas di mana “dunia yang ternoda… dicuci dengan darah”.

Tunggangan saya meninggalkan jalan negara dan membelok ke arah selatan. Mumpung masih pagi.