Bayat | Km 40 | Pkl 6.37
Saya sempat bingung arah ketika memasuki Kecamatan Gantiwarno sebelum lolos dengan mulus melewati Wedi, Cawas, hingga Bayat. Tidak banyak saya lalui tempat wisata. Di Gantiwarno, papan-papan penunjuk jalan menuntun ke Air Wening Maria. Sementara di Bayat gerbang besar wisata gerabah menghadang dan juga papan penunjuk pager jurug paseban yang sudah pudar terpacak di depan Masjid Agung.
Ada atau tidak adanya tempat wisata di jalur perjalanan itu tak terlalu soal karena konsens perjalanan mudik ini adalah merah. Boleh dibilang, sejarah merah di Indonesia di masa Revolusi Terpimpin tak absah kalau tak memasukkan item Klaten di dalamnya. Sebuah kawasan yang oleh anak tumpah darahnya, Kuncoro Hadi, disebut kawasan yang potensial pertanian di samping penghasil kapur, batu kali dan pasir yang bersumber dari sungai yang berasal dari lereng Merapi. Klaten pada masanya adalah gudang beras untuk Jawa Tengah.
Nama sejarawan muda Kuncoro Hadi ini memang selalu teringat jika melewati tanah-tanah persawahan di Klaten. Maklum saja, sebelum masuk pada goro-goro 1965, skripsi yang dibikinnya pada 2009 berjudul “Penghancuran PKI (Studi Tentang Aksi Kekerasan di Jogonalan Klaten tahun 1965-1971)” itu memetakan tanah-tanah pertanian dan naik pasangnya keberanian petani di berbagai kawasan Klaten yang kemudian menjadi alasan mengapa percontohan Aksi Sefihak (Aksef) dipusatkan di Klaten.
Tafsir atas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) yang lamban diimplementasikan membikin Klaten memerah. Pokok soalnya karena terhambat komprador tuan tanah yang berkomplot dengan tentara berbedil.
Ketika berpidato dalam perhelatan akbar yang dinamakan CS Klaten sebagai “Laporan Ceramah Pertanggungan Jawab PKI” pada 1964 di lapangan kota, Njoto menegaskan sambutan dan dukungan penuh CC PKI atas gerakan petani yang timbul di daerah Klaten.
Aksi-aksi gerakan tani yang dimaksud Njoto bisa dirujuk dari rangkaian gerakan sosial petani Klaten sebelumnya. Skripsi Soegijanto Padma di Jurusan Sejarah UGM yang kemudian dibukukan dengan judul “Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965” membantu merunut peristiwa protes itu. Percik api sudah tersulut pada 1962 saat Bupati Klaten mengeluarkan aturan petani wajib menyerahkan satu patok sawahnya untuk perusahaan perkebunan dengan memakai sistem walik lubang. Karena merugikan, petani menolak dengan cara memperlambat penyerahan tanah. Itu terjadi di kecamatan Jogonalan, Karangnongko, dan Gantiwarno.
Perusahaan Perkebunan Tembakau di Wedi-Birit pada Oktober 1963 dibakar petani. Lalu disusul gudang tembakau PPN Baru Gayamprit di Kecamatan Kebonarum. Perusahaan tebu di Kecamatan Pedan tak luput juga dari protes petani. Bahkan di Ceper, perusahaan tebu seluas 8,8 hektar dihanguskan petani Ngawonggo.
Barisan Tani Indonesia (BTI) Klaten sangat impresi terhadap situasi ini. Setelah Klaten dijadikan kawasan percobaan Aksef, suasana Klaten benar-benar memerah. BTI secara terbuka menyatakan diri memimpin usaha Landreform untuk keadilan tanah garapan petani.
Tujuan Aksef Klaten: (1) merebut kembali tanah yang disewakan; (2) merebut kembali tanah yang digadaikan; (3) merebut kembali tanah yang sudah dijual; dan (4) mempertahankan tanah OG yang telah dilelang orang lain.
Petunjuk teknis yang ditempuh BTI Klaten sebelum Aksef adalah cara damai. Mula-mula petani datang ke rumah tuan tanah untuk bermusyawarah. Jika tuan tanah menolak, petani akan berunding di kelurahan. Jika di sini gagal, petani menemui Panitia Landreform Kecamatan. Jika panitia ini tak mampu menghasilkan keputusan memihak petani, Aksi Sefihak pun dilancarkan.
Tercatat sepanjang tahun 1964, ada 24 kali Aksef diletuskan di nyaris semua kecamatan di Klaten, dengan Wonosari memegang rekor terbanyak (15 kali).
Tapi beking birokrasi yang dikuasai PNI dan kaum berbedil rupanya turut membikin nyali anggota BTI Klaten menyusut. Dalam catatan yang dihimpun Soegijanto Padma, muncul migrasi keanggotaan besar-besaran dari BTI ke PNI. Terutama Kecamatan Krucuk dan Bayat. Jumlah perpindahan itu tak boleh diremehkan: 5000-an anggota. Alasan utamanya adalah represi pemerintah yang melakukan penangkapan-penangkapan atas pimpinan BTI yang kemudian melemahkan semangat berorganisasi.
Akibatnya, Aksef yang bersifat percobaan ini pun melesukan cita-cita apakah gerakan “pemurnian” UUPA dan UUPBH bisa dijalankan di semua kawasan di Indonesia.