29 Agustus 2011 | Wonogiri | Km 81 | Pkl 07.40
Kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI. Dari Purwantoro, Wonogiri, kisah orang-orang dilumpuhkan suaranya itu tersiar. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang.
Dari arah kiri, saya memasuki Kota Wonogiri. Sesaat saya ngelangut di depan pasar kota sambil membuka koran “nasional” satu-satunya yang terbit: Jawa Pos. Maklum, Kompas memutuskan libur lebih dahulu.
Awalnya saya tak punya informasi sama sekali tentang merahnya merah di kota ini. Secuil pun. Yang saya ingat dari kota di mana hulu Bengawan Solo ini berada adalah di sini Presiden Epistoholic berkantor. Dialah Bambang Haryanto. Peternak blog yang tekun. Dia adalah lulusan ilmu perpustakaan dari Unversitas Indonesia. Kategorinya sangat senior. Macam-macam ditulisnya di blog piaraannya. Dan yang teringat dari postingan terakhirnya adalah Wonogiri sebagai kota juragan bus. Di sini, manol di mana-mana.
Transportasi.
Itulah dunia kehidupan sebagian dari warga kampung Kajen, kampung domisili saya di Wonogiri. Hampir setiap rumah memiliki anggota keluarga yang bekerjadi bidang transportasi. Utamanya bis.
Ada yang menjadi pemilik, tetapi sebagian besar bekerja sebagai supir, kondektur atau mekanik. Dua adik ipar saya, juga bekerja di kancah yang sama. Sehingga bila berada di terminal bis, baik misalnya di Tangerang, Bogor, Pulogadung sampai Kampung Rambutan, tak jarang kami sesama warga Kajen akan saling bertegur sapa.
Saya tidak tahu apakah ada warga kampung Kajen yang bekerja sebagai manol. Saya juga tidak tahu asal-muasal sebutan ini. Manol fungsinya, kurang-lebih, dapat disamakan dengan traffic announcer dalam dunia penerbangan. Mereka bertugas memberitahu kepada penumpang tentang lalu-lintas pesawat terbang di bandar udara.
Tetapi yang pasti, para manol itu lebih tepat disebut sebagai calo bis. Lahan kerja para manol tersebut, tentu saja, di terminal atau di pos-pos pemberhentian bis di jalanan. Mereka memberitahukan kepada calon penumpang tentang bis-bis jurusan tertentu yang akan segera berangkat.
Awalnya saya hendak sowan ke rumah Sang Presiden “surat pembaca” itu. Seperti sedyakala. Namun urung dengan pelbagai alasan. Setelah 30 menit istirahat di depan Masjid Agung At-Taqwa di sisi Alun-Alun Kota, saya memutuskan melanjutkan perjalanan dengan pemberhentian Purwantoro, kecamatan paling timur kabupaten. Catatan saya menunjuk, berhenti di Purwantoro berarti saya telah menempuh 198 km jika diukur dari Kotagede, Yogyakarta.
Walau hanya kelasnya kecamatan, terminal Purwantoro sesak oleh bus-bus besar jurusan Solo, Semarang, Jakarta, bahkan sampai melintas ke Sumatera.
Dari Purwantoro inilah saya menyusuri sejarah kelam penangkapan, pengebonan, dan pembantaian warga masyarakat yang dituduh sebagai gerombolan pemberontak Negara Kesatuan Republik Indonesia. Awalnya saya cemas tak bisa menuliskan apa pun soal Wonogiri di serial “syawal itu merah”. Pasalnya, sedikit sekali literatur yang berkisah ihwal kecemasan dan ketakutan warga di sebuah periode pagebluk itu.
Tapi dari belakang terminal bus Purwantoro, di sebuah gereja jawa, di sebuah rumah yang di sisinya terdapat sebuah taman bacaan yang digerakkan dengan sepenuh-penuh hati, kisah tentang padamnya merah di Wonogiri dikisahkan.
Dari sana, data-data yang berisi suara-suara parau dan tua itu menembus sesaknya rasa takut. Kisah dari Mbah Darso, Mbah Narto, Mbah Paryo, Mbah Yatno, Mbah Pawiro, Mbah Sumo, Mbah Marto, Mbah Hadi, Mbah Kimin, Mbah Timan, Mbah Parno, Mbah Darmo, Mbah Sardi, Mbah Sarno, Mbah Pardi, Mbah Tisna, dan Mbah Padmo. Kisah-kisah itu dipungut dari pelbagai daerah di kecamatan-kecamatan tetangga Purwantoro seperti Bulukerto, Pelem, Kismantoro, Tlogohimo. Termasuk dari Purwantoro sendiri.
* Serial catatan mudik #syawalitumerah (Purwantoro, Wonogiri). BERSAMBUNG