29 Agustus 2011 | Ponorogo | Km 155 | Pkl 12.45
Ponorogo, 31 Oktober 1948, di sebuah Minggu yang terik, sebuah tragedi mengenaskan terjadi. Musso, Sekertaris Jenderal PKI, ditembak mati di sebuah kamar mandi. Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo. Di sana, mayat yang disimbahi darah dan luka itu dipertontonkan. Dan…. dibakar!
Paragraf pembuka yang tragik itu saya kutipkan dari review kawan Zen RS atas booklet propaganda Jalan Baru Musso. Saya tidak tahu dari mana kutipan itu didapatkannya. Mungkin dari Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Saya belum mengeceknya. Tapi pasti bukan dari Laporan dari Banaran-nya T.B. Simatupang (1980).
Ponorogo adalah jalan paling akhir dari rentetan kegagalan yang dialami manusia merah yang kerap digelari stalinis garis keras. Musso yang lahir dari keluarga alim pada 1897 di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu bernama Munawar Musso.
Ketika remaja indekos dan belajar pergerakan dari Sjarekat Islam Tjokroaminoto di Paneleh VII, Surabaya. Jalan radikalnya tampak ketika ia berselisih jalan dengan Tjokro dalam soal taktik pergerakan di hadapan pemerintahan kolonial. Musso pun mengambil kiri bersama rekan seperguruannya, Semaoen.
Musso dan Semaoen kemudian dikenal sebagai pendiri PKI pada Mei 1921 yang pada usianya yang kelima digulung pemerintahan kolonial karena tuduhan memberontak.
Tapi Musso lolos dari interniran sebagai otak Prambanan. Dari kegalalan Prambanan itu praktis puluhan tahun hidupnya berada dalam pelarian. Ia loncat dari satu negara ke negara lain dengan menyaru dalam berbagai nama atau alias. Untuk soal memalsukan identitas dan dokumen, Musso memang jagoannya.
Setelah merancang pemberontakan Prambanan Desember 1925, Musso menyeberang ke Singapura. Berkumpul bersama kawan-kawannya yang lain seperti Sardjono, Budisutjitro, Sugono, Winanta, Subakat, dan Agam Putih. Di situ mereka mematangkan aksi Pemberontakan 1926 yang gagal total itu.
Musso pun melanjutkan pelariannya ke Canton/Tiongkok dan berlabuh di Moscow. Musso beruntung, karena di Moscow inilah dia beroleh kesempatan mengikuti Kongres Komunis Internasional (Komintern) keenam pada Juli 1928 di bawah pimpinan Joseph Vissarionovich Stalin. Saat itulah kemudian Musso dikenal sebagai stalinis garis keras berdarah jawa. Musso ditunjuk sebagai anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional. Sempat kuliah di sebuah universitas di Moskow, tapi drop out karena lebih sibuk berorganisasi ketimbang hadir di kelas perkuliahan.
Kedatangannya kembali membereskan jawa dengan jalan baru yang diketahuinya ditunggu dengan optimisme kaum merah yang disingkirkan dari semua medan politik dan militer.
Khusus untuk awal 1948, duet Nasution-Hatta menghabisi kekuatan kiri dalam militer dengan mengumumkan reorganisasi militer dari faksi laskar-laskar di mana golongan kiri bernaung.
Langkah Nasution-Hatta itu mula-mula mencopot Amir Sjarifuddin dari kursi Perdana Menteri usai Perjanjian Renville. Setelah itu diikuti pencopotan berbagai pucuk pimpinan resimen di Solo dan Jawa Tengah, serta Jawa Timur.
Dalam situasi penantian datangnya Ratu Adil bagi kaum merah yang diliputi kegamangan itulah Musso datang. Di salah satu fragmen buku Matu Mona, Pacar Merah Indonesia (Jilid II), Paul Mossote a.k.a Musso digambarkan Matu Mona sebagai patriot merah yang ditunggu-tunggu, serupa Ratu Adil. Di tengah masyarakat Jawa yang masih terbelakang, Musso disebut-sebut punya ilmu melenyapkan diri. Seperti seorang dewa berhati dermawan, Musso membagi-bagikan beras dari rumah ke rumah di masa ketika rakyat dicekik masa paceklik dan kelaparan di mana-mana.
Ya, ya, puluhan tahun setelah pengembaraan itu, Musso dengan memakai nama alias dan penyamaran yang rapi mendarat dengan pesawat di Campurdarat, Tulungagung. Menumpangi sebuah jeep mengarah ke Solo. Disambut gempita kader-kader merah. Bahkan dari Solo itu berhamburan pernyataan Musso yang termuat di halaman surat kabar semasa.
Pada Medio Agustus 1948 Musso bertemu kawan lamanya satu kos sewaktu masih sama-sama muda di Surabaya, yakni Soekarno. Tapi kawan yang remajanya jago pidato dan bikin brisik malam-malam di rumah Peneleh VII Surabaya di tahun belasan itu kini sudah menduduki pucuk pimpinan tertinggi Republik.
Sukarno jadi presiden, sementara Musso bertahun-tahun menghabiskan umur dalam pelarian, menjadi jajaran elite Komunis Internasional di Moscow, dan kini kembali ke tanah tumpah darahnya dengan semangat Moscow yang tetap menyala. Keduanya bertemu di Gedung Agung, Yogyakarta. Sebagaimana karib lama, keduanya berpelukan lama dan saling memuji.
Usai berbasa-basi, di akhir pertemuan Sukarno merangkul Musso untuk turut serta membantu meredakan konflik antarfaksi di tubuh Republik yang berusia belia. Dialog keduanya itu adalah dialog kunci yang penulis mana pun pastilah akan mensiternya. Sebabnya? Tragisme di ujungnya.
“Saya harap Pak Musso, setelah kembali ke Tanah Air, bisa membantu menciptakan rust en orde,” ajak Sukarno.
Musso menjawab dengan tangkas dalam bahasa Belanda, “Ik kom hier om orde te scheppen (Saya memang datang ke sini untuk menciptakan ketertiban).” Seperti biasa, jawaban tangkas yang datang dari seorang–pinjam kata-kata Sukarno–manusia yang jago pencak yang suka berkelahi, “…yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”.
Mungkin karena terinspirasi oleh dialog itu dan ucapan Sukarno yang menyebut Musso suka memperlihatkan otot tangan kalau berpidato itu, maka pada awal tahun 2010 sekelompok dosen dan mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta mengumumkan alat pencatat kekuatan otot digital bernama Musso yang kroniknya bisa dibaca dalam kabar yang direkam Tempo No 3848/18-24 Januari 2010. Yang lebih ajaib tentu saja, Dinamo Musso ini juga berguna menguji seberapa mujarab obat kuat yang Anda minum. Keampuhan obat pengobar vitalias itu terlihat dalam getaran garis di laptop. Karena itu, alat ini sebetulnya bisa dipakai untuk menguji otot penis pemakai obat kuat. Untuk keperluan ini, Anda cukup diminta meletakkan ujung alat ini di otot kebanggaan lelaning jagad seperempat jam sebelum dan sesudah minum obat kuat. Namun, karena ini departemen faal, maka Musso belum dipakai untuk konsultasi seksologi.
Tapi sudahlah, kita tinggalkan dulu alat pengukur kekuatan otot bernama Musso itu. Yang pasti otot yang diperlihatkan Musso kepada Sukarno di Gedung Agung itu langsung diuji di Madiun–dua bulan lebih beberapa hari sejak pertemuan dengan Sukarno yang diakhiri tukar menukar buku itu. Sukarno memberi Musso buku Sarinah karangan Sukarno sendiri.
Front Nasional yang dibentuk FDR/PKI di seluruh Karesidenan Madiun yang diproklamirkan pada 18 September 1948 itu menjadi pembuktian bahwa Musso serius mengembalikan “kejayaan” Komunis sebagaimana dalam cita-cita yang nyaris selalu tertumbuk tembok kegagalan. Tapi pembentukan Front Nasional itu gagal total. Sukarno dan Musso yang dua bulan sebelumnya saling berpelukan mesra, di corong radio, kemudian jual beli gertakan yang berakibat sungguh memilukan.
Dan ceritanya kita tahu, pasukan Siliwangi yang diotaki Wakil Panglima Angkatan Bersenjata A.H. Nasution yang menusuk dari Lawu-Sarangan/Magetan berhasil melumpuhkan otot Musso yang tergelar pada 18 September 1948. Otot itu lunglai pada 30 September 1948 oleh operasi gabungan yang efektif di bawah komando Siliwangi yang dikomandani Mayor Sambas yang muncul dari arah Lawu-Magetan.
Dan setelah lumpuhnya FDR/PKI dalam kota Madiun, ribuan pengawal merah yang sebagian besar adalah kader Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) itu menempuh jalan pelarian bersama keluarga komunis yang masih loyal. Sebuah iringan merah yang kandas oleh adu lihai dengan kubu borjuasi nasional dan militer lulusan KNIL.
Dalam perjalanan mundur itu Musso berselisih jalan dengan Amir Sjarifuddin usai sebuah debat panas tentang rencana-rencana memperlakukan Madiun dan implikasinya yang sama sekali mereka tak perhitungkan. Amir kemudian memilih ke utara dalam kawalan dan ditangkap di sebuah rawa di Grobogan. Sementara Musso memilih selatan tanpa kawalan yang membikin banyak sejarawan diliputi misteri mengapa Musso berjalan sendiri. Hingga ia menemui hari akhirnya. Ahad yang terik, 31 Oktober 1948.
Saya kutipkan lagi paragraf akhir kawan Zen RS saat mereview karya utama Musso “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” (Jajasan Pembaruan, Jakarta: 1953).
Di hari Minggu yang mengenaskan itu, ia menemukan sebuah mobil yang ditumpangi pasukan TNI dan berniat menggunakannya. Ia berhasil melumpuhkan prajurit TNI yang berjaga di mobil sasaran.
Sial, mobil itu ternyata tak bisa distater. Prajurit TNI malah berhasil menguasai keadaan dan balik menodong Musso. Tapi Musso tak bergeming. Dengan keberanian yang penuh, Musso berteriak lantang: “Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta saya menyerah pada engkau. Lebih baik mati daripada menyerah, walau bagaimana saya tetap merah putih.”
Prajurit TNI itu kalah wibawa dan malah melarikan diri ke desa terdekat. Tapi pasukan TNI pimpinan Kapt. Sumadi keburu datang. Musso lantas bersembunyi di sebuah kamar mandi. Ia menolak menyerah. Baku tembak tak terhindarkan. Akhirnya Musso tertembak mati. Mayatnya di bawa ke alun-alun Ponorogo, dipertontonkan dan kemudian dibakar. Di alun-alun itu kini saya berada, mencari peneduh dari tenda-tenda pedagang yang saling berimpitan di hampir sema jengkal tanah lapang itu.
Ya, ya Ponorogo kemudian menjadi cerita akhir dari semua cerita derita, patriotisme, dan kegagalan cita-cita yang dikepit stalinis garis keras berdarah jawa itu. Musso dibakar di sini, di kota yang dibaptis Lekra di kemudian tahun sebagai ibu kandung kesenian Rakyat bernama Reog. (Bersambung #6 Trenggalek-Tulungagung)
# Catatan mudik #syawalitumerah