#8 Kediri (Bag. 4) Lapisan Misteri Tan Malaka dari Pekuburan Umum di Lembah Gunung Wilis

Di hari ketiga Lebaran usai, saatnya ziarah ke kuburan. Di kaki Gunung Wilis, Kediri, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, lima tahun terakhir memang digegerkan penemuan kuburan yang selama ini “dicari” banyak orang. Terutama sekali oleh salah satu akademisi cemerlang asal Belanda yang menghabiskan usia intelektual produktifnya untuk meneliti Tan Malaka. Akademisi itu bernama Harry Poeze, “juru bicara” terbaik Tan Malaka. Ia dibakar rasa penasaran soal titik akhir hayat Tan Malaka yang secara meyakinkan ditembak mati tentara Republik Indonesia pimpinan Sukarno-Hatta pada 21 Februari 1949.
Tapi, di mana kubur Tan?
Itulah soalnya.
Seiris dengan semangat Nahdlatul Ulama, Poeze sejenis manusia pemburu kubur Tan yang gigih. Ratusan data dan wawancara ia lakukan untuk mendapatkan data paling akurat dan presisi spot kubur. Ribuan halaman narasi Tan yang ia susun dengan memburu dokumen autentik di lima benua memasukkan hal-ihwal paling pelik soal di mana kubur sang revolusioner. Poeze tahu dan memastikan siapa penembak sekondan gerilya Panglima Besar Sudirman ini dan atas perintah siapa, dan dari batalion mana. Gonjang-ganjing waktu penembakan pun sudah mendekati akhir yang pasti.
Buku Vurgsuid en Vergeten, Tan Malaka, de Linkse beweging de Indonesische Revolutie, 1945-1949 yang edisi Indonesianya dikerjakan Hersri Setiawan atas pesanan KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, diluncurkan di Belanda. Namun, picu yang membikin nama Tan kembali ke permukaan justru kabar kubur dari lereng Wilis. Kabar itu membikin Tempo dan Koran Tempo (Ruang Baca) menurunkan edisi khusus mengisahkan ulang sepak terjang guru revolusioner, penulis, kerani, mandor, dan sekaligus tukang jahit asal Payakumbuh, Sumatera Barat ini. Terutama sekali pakansi revolusionernya usai lawatan internasionalismenya sebagai pelarian, sebagaimana bisa Anda baca di buku detektif karya Matu Mona, Pacar Merah Indonesia. Laporan Khusus itu menyusuri ulang potongan akhir hayat Tan di Indonesia, mulai dari Padang, Jakarta, Banten, Purwokerto, Madiun, Magelang, Yogyakarta, dan berakhir di Kediri.
Nah, di Kediri inilah, lewat semangat “syawal merah”, saya dan tiga pegiat literasi dari TBM Gelaran Jambu Kediri, Ikhwan Susilo, Koko Attamimi, dan Surya Andi memacu dua motor menuju Selopanggung. Berdiam sejenak di rumah asri milik sosiolog Emmanuel Subangun yang dijaga Joko Saw. Rumah yang dikepung undakan sawah itu tak jauh dari peziarahan Gua Maria Pourdes Pohsarang.
Sebelum menuju lembah sunyi Gunung Wilis, di pekuburan oleh warga dikenal dengan pemakaman Mbah Selo, Joko Saw berpesan jangan terlalu sore turun ke desa itu. Pesan itu terbukti, tanpa plang apa pun, sebuah jalan makadam yang curam berkelok-kelok berkilo-kilo di sebuah lembah terasa sepi. Di kanan kiri rimbunan belukar menudungi jalan. Terdapat sebuah masjid. Bertanya hingga tiga kali, sampailah ke sebuah kuburan lebih kurang 300 meter dari jalanan kampung. Motor diparkir di sisi jalanan tanah berdebu dan mesti berjalan kaki di jalan setapak. Di bawah sana, tampak sebuah area pemakaman di kelilingi sawah dan taman batu besar yang kemudian menjadi asal usul nama daerah ini, Selopanggung, batu yang tegak.
Bayangkanlah, Kediri di tahun 1949, bayangkanlah kampung ini di tahun di mana agresi militer Belanda ke-2 baru saja berakhir. Ini hutan belantara dan nyaris akses jalan tertutup oleh kendaraan apa pun kecuali jalan gerilya pasukan perang.
Poeze barangkali tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang yang telah memberi banyak untuk Republik ini lewat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kemudian dengan Murba dieksekusi di tengah belantara Wilis dan dipendam di antara taman-taman batu yang sinar matahari pun kesulitan untuk menembusnya.
Saya dan tiga kawan literasi seperjalanan saya kesulitan sejenak dengan titik kubur sejatinya Tan. Hanya mengingat sepotong foto Poeze di depan sebuah pondok kecil di tengah perkuburan, di hadapan tumpukan tanah penggalian. Maklum, tak ada nisan, tak ada penanda apa pun yang ditinggalkan setelah heboh penggalian kubur Tan Malaka di pekuburan Mbah Selo ini. Bahkan, di rembang petang itu tampak gundukan tanah yang masih baru yang artinya ada penghuni baru. Dengan random, Ikhwan Susilo memimpin pembacaan doa kubur dan pengiriman Al-Fatihan kepada sosok dengan nama alias yang begitu banyak.
Jika Tan punya kata-kata pamungkas soal makna kubur, “ingatlah bahwa dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi”, hingga kami bersimpuh secara random di kuburan di antara pohon-pohon kamboja itu, tak juga jelas di mana kuburan Tan.
Hingga peziarahan ini berakhir, kelanjutan aktivitas memastikan bahwa sosok yang ditembak tentara Republik betul-betul dipendam di Selopanggung ini. Tak ada kabar terbaru dari hasil tes DNA yang memastikan bahwa Tan Malaka menjadi penghuni generasi awal di perkuburan Mbah Selo ini.
Ya, ya, status kubur Tan Malaka ini serupa dengan jejak hidupnya yang diliputi kabut tebal. Ia ada, namun tiada. Namanya ada dalam barisan pembesar, namun tanpa pose. Foto-fotonya hampir tak pernah ada dalam pose foto bersama dengan sebarisan pembesar Republik. Selalu begitu. Hingga di kuburannya, Tan masih memberikan teka-teki yang rumit.
Namun, kuburan misterius dari Selopanggung ini menerbitkan kembali imajinasi yang melahirkan beragam tafsir tentang sosok Tan Malaka yang ganjil. Ia terpuji, sekaligus terkepit. Ia serupa dengan nasib Kiri di Indonesia.
Secangkir teh masing-masing kami seruput di kediaman yang dijaga Joko Saw sebelum betul-betul turun dari Selopanggung, meninggalkan Pohsarang, menjauhi kuburan yang misterius yang jika kata-kata Tan soal kuburan saya gubah: “Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suara saya jauh lebih misterius daripada dari atas bumi”.*