::dasman djamaluddin
Sebuah buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat – Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 hadir di hadapan kita. Di antara kita ada yang memilikinya dan mungkin saja ada yang belum. Buku ini terbit bulan September 2011 setebal 238 halaman yang diterbitkan Seripa Manent & Merakesumba. Penulisnya Muhidin M. Dahlan, tetapi tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya di penulis tersebut, karena identitasnya tidak ada bahkan banyak di antaranya meraba-raba siapa Muhidin M. Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan kelemahan dari sebuah buku. Tidak ada tanggungjawab di dalamnya.
Buku ini ingin menuduh Hamka sebagai plagiat dalam novelnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (1938) dan sudah dicetak sebanyak 80 ribu eksemplar. Hamka dituduh melakukan plagiat dari novel Magdalena yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, Sous les Tilleuls.
Saya melihat permasalahan ini tidak beda dengan polemik “Harian Merdeka” yang didirikan B.M.Diah dengan “Harian Rakyat” yang dikuasai Partai Komunis Indonesia (PKI) sekitar tahun 1964. Saya ingin menegaskan bahwa untuk melihat sejarah jangan sepotong-sepotong. Kita harus mengetahui terlebih dulu pada masa apa polemik itu berlangsung. Sama halnya dengan tuduhan plagiat terhadap Hamka di mana sudah terjadi pada tahun 1962 di Harian Bintang Timur.
Perlu kita pahami polemik di sekitar tahun itu (1962-1964) tidak murni lagi polemik sebagaimana seorang ilmuwan. Polemik sudah mengarah ke fitnah, adu domba, sebagaimana sifat warga komunis di Indonesia yang benci dengan Islam. Perlu diketahui bahwa Hamka seorang Muslim sejati. Tidak hanya itu, PKI juga waktu itu menginginkan agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan. Jadi persoalannya bukan sebatas dunia sastra, tetapi sudah mengarah ke perbedaan yang amat jelas antara PKI dan Islam.
Untuk lebih memperjelas, saya melakukan pertemuan dua kali dengan Ahmad Hussein di Jakarta. Beliau adalah Ketua Dewan Perjuangan yang mendeklarasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Apa yang dikatakannya, “Kami mengultimatum pemerintah, karena anggota-anggota PKI sekitar tahun 1958 sudah banyak mempengaruhi pikiran Presiden Soekarno. Kami ingin Soekarno sebagai Presiden tidak terpengaruh. Jadi kami bukan pemberontak, karena kami pejuang juga dan sangat mencintai tanah air sendiri.”
Singkatnya pada tahun 1958 pengaruh PKI sudah merambah ke mana-mana, termasuk di bidang kebudayaan. Yang menjadi musuh utama PKI adalah Islam dan identik dengan Hamka.
Jadi tidak ada yang baru dengan buku ini, polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya Pemberontakan PKI tahun 1965. Sama dengan polemik antara “Harian Merdeka” dengan “Harian Rakyat”. Polemik dihentikan oleh Pemerintah Indonesia.
Seandainya pun dikatakan plagiat, maka pada waktu itu tidak mungkin terjadi dua pendapat. Ada yang mendukung Hamka dan ada yang menuduh plagiat. Kebenaran belum dibuktikan. Tugas sastrawan-sastrawan muda lah untuk melakukan penelitian lanjutan. Bahkan yang mendukung Hamka adalah H.B. Jassin dan kawan kawan. H.B. Jassin bukan warga baru di dunia sastrawan. Ia mengerti betul apa yang dikatakan plagiat atau hanya sekedar fitnah atau adu domba. Memang sastra asing mempengaruhi pemikiran sastrawan Indonesia pada waktu itu. Tetapi kita bukan asal comot dan menjiplak. Kita masih tetap mengagungkan budaya kita, dalam hal ini Hamka selalu mengangkat budaya Minangkabau sebagai alur pikirnya. Oleh karena itu bukan plagiat namanya. Yang terjadi sebuah kreatifitas anak negeri. Akhirnya saya sependapat dengan pendapat HB.Jassin:
“Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot dan buah pikiran, tapi jelas Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri…..maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”
#KlipingBlog | wikimu | 24 Februari 2012