Aku Mendakwa Hamka Plagiat! Komentar Anggota Sidang

“Tidak ada yang baru dengan buku ini, polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya Pemberontakan PKI tahun 1965. Sama dengan polemik antara “Harian Merdeka” dengan “Harian Rakyat”. Polemik dihentikan oleh Pemerintah Indonesia.” (Dasman Djamaludin, Sejarawan)

“Skandal plagiarisme Hamka yang terekam di lembar-lembar Bintang Timur/Lentera sudah sulit ditemukan, kalaupun masih ada mungkin sudah hampir lapuk dimakan usia dan tercecer di berbagai tempat. Skandal terbesar di dunia sastra ini hampir saja terkubur selama-selamanya dan hilang dari ingatan kita kalau saja buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat yang disusun oleh Muhidin M Dahlan ini tidak terbit beberapa waktu yang lalu. Kehadiran buku ini patut diapresiasi karena dengan ketekunan seorang kerani sejati, Muhidin rela membuka-buka lembar Bintang timur yang sudah menguning dan berbau apek untuk mendokumentasikan dan menyatukan kembali halaman-halaman lepas yang tersebar di Bintang Timur/Lentera antara 1962-1964 agar kembali diingat dan dibaca oleh generasi kini.” (Hernadi Tanzil, Resensor, Bandung)

“Muhidin (Gus Muh) kembali mengingatkan pada khayalak bahwa pernah ada polemik/palagan dalam istilahnya yang harus diketahui oleh generasi sekarang. Buku yang layak dan harus menjadi bacaan wajib para penggiat sastra.”(Rama Prabu, Penyair, Dewantara Institut))

“Kalau Anda seorang peminat sastra dan sejarah, tentu saja berita plagiasi Hamka ini bukan tak pernah terdengar. Bagaimana mungkin aktor dan pemenang sejarah tak menjejali ingatan kita. Hanya saja, lamat-lamat berita itu perlahan tak digubris dalam mimbar akademik, lalu cepat-cepat saja dianggap sebagai “abab” yang dilancarkan oleh para pendulang sensasi belaka. Ini bukan skenario yang mengherankan. Sebab, pada dasarnya sejarah skandal plagiasi satu ini mesti diselesaikan bukan oleh mahkamah sastra kita, tetapi oleh birokrasi dan rezim yang kemudian hari tak hanya menutup skandal ini, tapi juga panggung gerakan kiri Indonesia. Dan, Gus Muh menulis chronic sastra Indonesia ini secara chronicle sehingga plagiasi Hakma adalah satu persoalan. Persoalan lain, yang sekaligus menjadi konteks mengenai seteru idea sastra untuk sastra dan sastra untuk rakyat, adalah siapakah yang memulai pegang arit dan membabat habis roman berjudul Tenggelamnya Kapan van der Wijck. Roman yang pada mulanya merupakan cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masjarakat (1938) ini merupakan bestseller.” (M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S., peminat sejarah, bergiat di Komunitas Kembang Merak, Jogjakarta)

“Bagi saya, AMHP adalah lentera baru bagi dunia kepenulisan Indonesia, baik fiksi dan non-fiksi, yang tengah dijalari belukar gulma plagiarisme.” (Ahmad Subhan, Pustakawan IRE Yogyakarta)

“Buku ini hadir untuk memberikan pencerahan sikap pada pembaca agar bisa mengetahui mana padi mana gulma. Mana karya yang harus ditumbuh kembangkan, mana yang harus di babat pula. Sebab sejarah sastra adalah sejarah bangsa, sekelam apapun itu tetaplah ada dalam memori kolektif bangsa kita. Tak perlu lagi memperdebatkan seni untuk seni ataupun seni untuk rakyat. Yang harus dilakukan adalah kerja, kerja dan kerja. Karya, karya dan karya. Itulah yang harus dilakukan oleh generasi pasca Pram, pasca Jassin, dan pasca petarung-petarung dalam perang sastra 1960-an.” (M Shofa As-Sadzili, Mahasiswa Theologi & Filsafat IAIN Sunan Ampel, Surabaya)

Sumber: www.indonesiabuku.com, 23 Maret 2012