Jejak Indonesia dalam Empat Tonggak

:gus muh

Membaca (karya) Pramoedya Ananta Toer adalah membaca sejarah Nusantara beserta tragika-tragika manusianya. Untuk masuk ke liang sumur berabad-abad lewat itu, Pram memakai metode yang paling dimahirinya, yakni roman. Ia menunggangi salah satu bentuk penulisan kreatif paling purba itu untuk menunjukkan tonggak-tonggak khas (perubahan) politik masyarakat (baca: Jawa).

Dan ciri khas nyaris semua karya Pram adalah hadirnya tokoh-tokoh pinggiran dalam sejarah sebagai protagonis. Dan nyaris semua-mua tokohnya itu kalah, kecuali karya yang ditulis semasa ia bergiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra-PKI), seperti Sekali Peristiwa di Banten Selatan.

Paling tidak ada empat tonggak, sebagaimana nanti terbaca dari (sebagian) pilihan karya Pram yang dilakukan Koh Young Hun di buku ini yang menurutnya “berkesinambungan dalam penceritaan” (h xvii). Keempat tonggak itu adalah: (1) Masa Kerajaan Hindu-Budha; (2) Masa Islam (Demak dan Mataram); (3) Masa Kolonial; dan (4) Masa Republik.

Tonggak pertama diwakili oleh tiga roman tebal dan satu naskah drama. Sebut saja “Tetralogi Nusantara”: Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan Mangir.

Arok Dedes sebagaimana penjelasan Koh dari halaman 275 hingga 305, tak sekadar mengelap ulang Kitab Pararaton versi Keraton, tapi menegaskan politik Jawa yang khas: licik, munafik, dan tertutup. Di novel ini, mitos keris Empu Gandring ditanggalkan dan dijadikan sepenuh-penuhnya tautan tiga elemen: agama, politik, dan (para)militer.

Jika Arok Dedes adalah tonggak bangkitnya kerajaan Jawa yang kuat secara maritim di abad 13, maka Mata Pusaran adalah luruhnya peradaban Majapahit pasca Singhasari. Namun, Koh mengabaikan novel penting yang separoh fisiknya raib oleh vandalisme Orde Baru ini untuk melacak jejak Pram membaca Nusantara via Majapahit. Buktinya, seupil pun Koh tak menyebut bahkan sekadar judul di daftar karya Pram di halaman 347 hingga 358.

Koh langsung loncat ke novel gemuk Arus Balik. Dari dermaga Tuban, Pram memperlihatkan gemuruh kekalahan segala-galanya dari Negeri di Atas Angin (Portugis). Kerajaan Islam yang diwakili Demak Bintoro, alih-alih memperlihatkan keperkasaannya menahan laju jung-jung Peranggi, malahan terus menarik diri ke pedalaman. Warisan armada maritim yang perkasa pun berubah menjadi angkatan darat dengan watak agraris dan asyik bertengkar dengan sesame. (h 258)

Padahal menurut Pram, sebagaimana dikutip Koh: “Jawa ini kecil, lautnya besar. Barangsiapa kehilangan air, dia kehilangan tanah; barangsiapa kehilangan laut, dia kehilangan darat.” (h 266)

Demak luruh, muncullah Mataram pada abad 17 M. Koh sadar momen ini penting, sebagaimana dijelaskannya pada Bab V (h 161-162). Tapi mengajukan roman Gadis Pantai sebagai latar pemerintahan Islam-Mataram kurang banyak membantu. Karya paling tepat—dan tentu saja “berksenimbungan dalam penceritaan” untuk menggambarkan masa ini—adalah naskah drama Mangir.

Strategi literer Pram di naskah ini tak menceritakan gelanggang pusat Mataram, melainkan memutar ke pinggirnya. Ia berkisah tentang Ki Ageng Mangir Wanabaya di selatan Mataram (Bantul sekarang) yang dianggap pembangkang—setara dengan tokoh Samin yang diudar Koh sepanjang Bab IV buku ini.

Dari sudut tokoh Mangir, Pram menembak penguasa Mataram, Panembahan Senopati, sebagai penguasa licik yang bahkan puterinya sendiri pun tak segan diumpannya untuk menghabisi lawannya.

Sebagaimana di Arok Dedes, pada Mangir Pram menghancurkan dua hal yang dibabar Babad Mangir ciptaan Bangsawan Keraton, yakni mitos pusaka Baru Klinting dan proses kematian Mangir yang kesatria di Alun-Alun Mataram (Kota Gede). Pram menempatkan Mangir sebagai pembangkang yang punya cita-cita dan kecerdasan politik, dan bukan anak muda yang sekadar beroleh kekuatan dari bantuan makhluk halus.

Tonggak Kebangkitan

Jika “Tetralogi Nusantara” memperlihatkan jatuh dan luruhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara (Singhasari-Maritim), maka “Tetralogi Bumi Manusia” membawa pembaca pada suasana perjuangan yang sama sekali berbeda dengan masa silam. Yakni dengan jalan pers dan pergerakan. Sementara bahasa (Melayu-Pasar) dipakai Minke sebagai bagian inti penyadaran politik. (h. 102)

Minke yang menjadi protagonis memikul dua beban jalan itu dengan ditopang srikandi utama yang namanya kemudian abadi: Nyai Ontosoroh. Perempuan gundik ciptaan Pram inilah yang jadi lilin-sadar awal Minke untuk tak terpukau pada Barat, tapi juga tak terlena dalam dunia priyayi yang feodal (h 163); tak hanya bisa bergaul dengan pembesar, tapi juga bisa ngajeni petani. Ketika mengkritik habis-habisan feodalisme dan advokasi pada kaum papah inilah Pram dituduh menyelundupkan (ajaran) marxisme dan leninisme. (h. 105-119)

Minke dan semua tokoh yang dipanggungkan Pram kalah. Tapi kekalahan Minke sukses membibitkan gerakan yang lebih luas. Sjarekat Dagang Islamiyah yang disemainya pada 1909 berubah menjadi organ bermassa besar dan disegani yang tahun 2012 genap seratus tahun: Sjarekat Islam. Pergerakan dengan jalan pers yang dirintis Minke juga menjadi model bagi pemimpin-pemimpin pergerakan kemudian hari.

Proklamasi adalah puncak dari seluruh keringat yang diperas di fase awal abad 20 ini. Proklamasi juga dipatok sebagai tonggak peralihan: dari fase kebangsaan (nation) menuju pembentukan struktur kenegaraan (state).

Namun, lagi-lagi Koh abai memberi tekanan pada pergulatan Pram bergolak dalam kecamuk Revolusi Agustus ini. Sebetulnya beberapa karya penting Pram bisa dipakai Koh untuk memperlihatkan masa-masa ketika Indonesia susah-payah membangun infrastruktur kenegaraannya, seperti Keluarga Gerilya, Larasati, Perburuan, dan Mereka Yang Dilumpuhkan.

Yang paling memukau tentu saja Di Tepi Kali Bekasi. Menurut saya roman ini lebih kuat dari Keluarga Gerilya, yang disebut Koh secara sekilas sebagai “novel yang padat dengan persoalan kemanusiaan” (h 231).

Selain memperlihatkan cara bertutur Pram yang cepat dan cekatan, roman Di Tepi Kali Bekasi juga membongkar bagaimana Revolusi Agustus ini dihela oleh watak-watak lemah pemimpin yang terus-menerus kita warisi hingga kini.

Nah, dari pembacaan ringkas ini, juru bicara Sastra Indonesia di Semenanjung Korea ini justru tak konsisten dengan pernyataannya di bagian pendahuluan buku ini: memilih 7 karya Pram dengan alasan “berkesinambungan dalam penceritaan”. Nyatanya, ada beberapa karya penting Pram luput yang itu memberi latar kuat pada ikhtiar “Mencari Jejak Indonesia”.

Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia
Penulis: Prof Koh Young Hun
Penerbit: Gramedia, Desember 2011
Tebal: xxix+407 hlm