Almanak Kota

::gus muh 

Kota adalah ruang di mana kehidupan peradaban ditata dan dibangun bersama oleh semua agensi yang bekerja di dalamnya. Peradaban diorkestrasi dalam ruang yang sama dan dalam waktu-publik yang disepakati dalam persamuan-persamuan yang berlangsung tiap masa.

Oleh agensi-agensinya sebuah kota terus berdetak. Siang dan malam. Di sini dan di sana. Peristiwa hadir serentak dan menciptakan sejarah yang baharu dan buruk. Tokoh-tokoh kreatif dan unggul selalu lahir. Komunitas-komunitas tumbuh. Diatur oleh sebuah pemerintahan yang terkelola, kehidupan bersama itu bisa kita baca dalam satu ruang dan waktu ingatan yang sama dalam kitab besar bernama Almanak.
 
Kota, oleh pemangku kuasa, kerap dipercayakan pada brosur untuk menangkap gerak peradaban yang terus berdetak tanpa henti selama 350 hari dalam deret warsa yang berjalan. Brosur terlalu ringkih untuk tugas seberat itu. Lagi pula terlalu menyepelekan jika kota dibangun siang malam semata untuk kepentingan pariwisata. Semestinya parawisata. Sebuah konsep membangun kota untuk pemanusiaan atas manusia yang hidup di dalamnya. Keindahan kota berarti bila semua manusia yang tinggal di dalamnya nyaman hidup.

Karena itu kita mengajukan Almanak Kota. Almanak adalah pencatatan yang berkesinambungan atas pencapaian sebuah kota yang meliputi peristiwa yang terjadi selama tiga tahun terkini; inovasi, prestasi, dan penciptaan dalam pelbagai bidang; tokoh-tokoh istimewa yang lahir dari rahim masyarakat; rekaman tumbuhnya komunitas dan ruang-ruang kreatif; lini usaha kreatif yang menghidupkan asa kota; dan tonggak-tonggak sejarah penting yang sudah ditorehkan sebuah kota.
 
Dengan demikian Almanak Kota adalah radar bagi pemangku kebijakan untuk mengidentifikasi kekuatan ekonomi kreatif yang dmiliki yang ada dalam masyarakat, baik individu atau figur maupun komunitas-komunitas yang tumbuh. Dengan identifikasi itu peta bisa tersusun sekaligus mencari model ideal bagaimana membuat program-program pemanusiaan manusia yang menjadi hakikat parawisata. Dengan identifikasi itu pula kita bisa mengukur komitmen wali pemangku kebijakan dalam menyediakan dukungan ruang dan fasilitas agar kehidupan dalam kota berjalan seimbang.
 
Dan kita tak punya contoh satu pun almanak kota yang sudah terbit. Tak satu pun! Sebut saja kota-kota utama seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Makassar.
 
Yang ada adalah sejarah kota. Almanak berbeda dengan sejarah. Sejarah mencatat masa silam yang jauh, sementara almanak mencatat situasi kekinian yang masih kita rasakan detaknya saat ini. Walaupun dalam almanak selalu ada unsur sejarah dimasukkan. Almanak gabungan penulisan bergaya who’s who, direktori, yellow pages, kamus, ensiklopedia, dan kronikal. Dan yang menjadi ciri khasnya lagi, almanak tiap tahun disempurnakan.
 
Dan kita tak punya jenis buku seperti itu. Yang ada adalah, sekali lagi, brosur! Juga Yellow Pages yang dikeluarkan Telkom untuk pelanggannya. Kehidupan kota yang kaya hanya disandarkan pada brosur? Tak lucu. New York City punya The Almanac of New York City. Philadelphia punya The Philadelphia Citizen’s Almanac: Daily Readings on the City of Brotherly Love. Glasgow punya Glasgow Almanac: An A-Z of the City and its People. Bahkan warga klub sepakbola semacam Manchester United (MU) punya The Official Manchester United Almanac.
 
Umumnya produksi almanak ini diusahakan oleh industri-industri pers. Namun dalam almanak kota yang saya maksudkan semestinya almanak diselenggarakan oleh pemerintah, khususnya seksi terkait semisal humas. Karena itu, humas bukan seksi pengkliping koran yang kerap diremehkan pekerjaannya dalam mesin birokrasi. Dengan kerja Almanak Kota ini, humas kota/kabupaten menjadi pusat di mana semua peristiwa tercatat dengan rapi dan dihidangkan dalam bentuk Almanak. Humas juga yang berwewenang membentuk tim kreatif penyusun almanak ini yang bisa diambilkan dari luar birokrasi.
 
Dengan dipegang oleh pemerintah kota/kabupaten, pendanaan penulisan Almanak diambilkan dari dana APBD yang bersifat ajeg dan berlangsung tiap tahun. Dengan Almanak, kita tak membiarkan kota terus berdetak, riuh, tapi gaungnya cepat hilang oleh arakan masa.
 
Bahkan pencipta mikrobloging semacam Twitter sadar dengan pentingnya linimasa, mengapa kota yang begitu gigantik dan penting membiarkan begitu saja peristiwa berlangsung tanpa linimasa yang tercatat dengan sistematis, ajeg, dan dipresentasikan dengan kreatif. Almanak Kota adalah linimasa kota. Dari sana kita melihat bagaimana sebuah kota berdetak.

* dimuat pertama kali harian Jawa Pos, 2 Desember 2012, “Ruang Putih”, hlm 20