Mas Marco Kartodikromo: Redaktur Koran Rakyat

:: salman nasution, nova anggita, bushtari ariyanti
 
Sebanyak 14 barak berukuran 30×4 meter berdiri di Boven Di­goel. Beratap rumbia, salah satu tenda itu digunakan sebagai rumah sakit. Sisanya dipakai untuk tempat tinggal orang buangan. Air muka mereka tampak menye­dihkan. Sebagian besar badan mereka diperban. “Kebanyakan badannya penuh luka karena digigit pacet dan binatang kecil lainnya yang hidup di sekeliling hutan itu,” ujar Marco Kartodikromo dalam sebagian tulisannya kepada harian Pewarta Deli, pada 1931.

Marco diberangkatkan dari Solo ke Boven Digoel, tem­pat pembuangan tokoh-tokoh politik kebangsaan Indonesia, bersama 63 orang lainnya, pada 21 Juni 1927.

Selama mendekam di Digoel (1927-1931), Marco rutin menulis semacam catatan harian yang dikirimnya sebanyak 51 angsuran kepada harian Pewarta Deli, dari 10 Oktober sampai 9 Desember 1931.
Meski mendekam di tempat pembuangan, sebagai jurnalis dia terus menulis. Belakangan, kumpulan tulisan Marco selama di Boven Digoel itu disunting Koesalah Soebagyo Toer menja­di buku dengan judul Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel (Gramedia, 2002).

Sejarawan Universitas Indo­nesia Rushdy Hoesein menilai, tokoh pergerakan kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 25 Maret 1890, ini diasingkan ke tengah hutan belantara Papua itu, lan­taran diduga terkait pemberon­takan Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 12 November 1926. “Ketika Sarekat Islam pecah menjadi PKI, Marco me­milih untuk bergabung dengan PKI,” ujarnya kepada Prioritas, Rabu pekan lalu.

Selain dikenal sebagai sosok yang berani, menurut Hoesein, tulisan-tulisan Marco kerap membongkar kebusukan kolo­nial Belanda. Tulisannya mem-pengaruhi rakyat untuk mela­wan pemerintah Belanda. “Ma­kanya tak heran surat kabarnya sering dibredel dan Marco harus keluar masuk penjara,” kata Hoesein. Kendati Marco terlahir dari keluarga priyayi rendahan, namun dia muncul menjadi tokoh yang menonjol. Itu lantaran pergaulannya dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Tirto Adhi Suryo, Semaoen dan Darsono. “Jika kebanyakan orang saat itu hanya berpikir untuk bekerja dan menghasilkan uang, visi Marco jauh ke depan untuk perlawanan terhadap penindasan penjajahan,” Hosein menambahkan.

Pegiat lembaga riset dan penerbitan Indonesia Buku Muhidin M Dahlan mengata­kan, Marco adalah paman dari Kartosoewirjo. “Dalam seja­rah pergerakan Indonesia, dua ideologi yang dianut keduanya bergesekan dengan sangat keras dan saling membunuh,” kata Muhidin kepada Prioritas, Rabu pekan lalu.

Marco hanya tamat Ongko Loro (Tweede Klase School) di Bojonegoro, sebelah timur Cepu. Lantaran itu, kata Muhidin, dia berusaha untuk sejajar dalam kelas akademik pribumi lainnya dengan bela­jar secara otodidak. Ilmu jurnalistik banyak diperoleh dari Tirto Adhi Soerjo. Ketika menjadi wartawan magang bersama Tirto di Medan Prijaji pada 1909, Marco belajar mulai dari merangkai huruf untuk dicetak hingga mengenali manajemen jurnalistik. “Bahkan meniru bagaimana seorang jurnalis harus berani melawan kekuasaan dan membela kaum kromo yang tak berdaya,” kata Gus Muh, sapaan akrab Muhidin.

Dalam penilaian Gus Muh, hampir semua tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti Tirto Adhi Soerjo, HOS Tjokroaminoto, Semaun, KH Ahmad Dahlan, Tjipto Mangoenkoesoemo, Sutomo, Soewardi Soerjadiningrat (Ki Hadjar Dewantara), Haji Misbach, Agus Salim, Sukarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Kartosoewirjo, hingga Aidit dan Natsir merupa­kan redaktur koran. Perbedaan­nya, kata Gus Muh, diantara semua tokoh itu, Marco lebih memposisikan dirinya sebagai redacteur koran rakyat.

Pada 1914, Marco menjadi Presiden Ikatan Jurnalis Hindia atau Indlandsche Journalisten Bond (IJB). Namun, dia menyayangkan dalam sejarah, peran Marco dalam pers kebangsaan sepertinya dikucilkan. Gus Muh menceritakan, ketika meriset Seabad Pers Kebangsaan pada 2007, dia menemukan nama Marco dihilangkan sebagai Presiden IJB dalam laporan Dewan Pers tentang direktori pers Indonesia. “Dan digantikan oleh nama di bawah nama Mas Marco: Redacteur-Adminis­trateur, R Sr Koornio. Itu jelas penggelapan,” kata penulis buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo (IBOEKOE, 2008) sete­bal 1060 halaman itu.

Dalam menulis, kata Gus Muh, Marco sangat kritis. Korannya Doenia Bergerak, yang terbit pertama kali pada Maret 1914, termasuk salah satu koran paling garang di masanya. Tulisan-tulisan di Doenia Bergerak tersebut yang menjadikan Marco mengukir sejarah hidupnya dalam penjara. Tulisannya di Pantjaran Warta Nomor 36, 14 Februari 1917, dan di Sinar Hindia, 16 April 1918, juga membawanya kem­bali masuk bui.

Penulis buku Marco Kartodikromo, Pemikiran, Per­anan, dan Karya-karya Leng­kapnya (IBOEKOE, 2009), Agung Dwi Hartanto menilai, Marco memiliki peranan besar dalam menjadikan bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Surat kabar yang pernah diasuh Marco, seperti Medan Prijaji, Doenia Bergerak, Sinar Djawa, Sinar Hindia, Medan Moeslimin, dan Hidoep semuanya berbahasa Melayu. “Surat kabar yang di­awaki Marco semuanya berpihak kepada kaum kecil, atau dalam bahasanya disebut sebagai kaum karma,” katanya kepada Prioritas, Senin pekan lalu.

Menurut Agung, upaya rintisan Marco yang penting yaitu dalam menulis sejarah Hindia Belanda, dalam bukunya berjudul Babat Tanah Djawa. Buku itu semula merupakan tulisan berseri yang terbit di majalah Hidoep (terbit Juli 1924), setelah Marco pindah ke Salatiga. “Babat Tanah Djawa salah satu karya terbesarnya,” ujar peneliti sejarah pers di IndexPress ini.

Agung menilai, banyak orang yang keliru memasukkan nama Marco ke dalam kelompok PKI. Padahal, menurut dia, Marco justru dekat dengan H. Misbach. Ketika H. Misbach dibuang ke Manokwari, Marco meneruskan perjuangannya dengan mendiri kan Sarekat Hijau, yang berisi orang-orang Islam yang punya semangat sama. “Dia memakai gagasan komunis untuk melaku­kan gerakan perlawanan. Tetapi semangat yang mendasarinya adalah semangat Islam. Jadi dia lebih spiritualis,” Agung menam­bahkan.

Pada akhirnya, di jalan pergerakan dan pers nasional Marco mempertaruhkan segalanya, dengan kematian dalam kesunyian abadi di Boven Digoel, 18 Maret 1935.

Masuk Bui

Penulis buku Marco Kartodikromo, Agung Dwi Hartanto, merinci setidaknya ada empat artikel yang dimuat di Doenia Bergerak yang kena persdelict (pengadilan pers). Keempatnya yaitu Doenia Bergerak No 15 berjudul “Wong Gede”; Doenia Bergerak No 18 berjudul “Pendapatan hal technische Hooge School di Hindia”; Doenia Bergerak No 19 berjudul “Ah Javanen ziznerg dom”; dan Doenia Bergerak No 22 berjudul “Keluh kesah jang amat sangat”.

Menurut periset Indonesia Buku Muhidin M Dahlan, tulisan-tulisan Marco itu mengkritik tabiat peja­bat pemerintah, pendidikan diskriminatif, dan kemelaratan kaum kromo. “Sebagai hoofd redacteur, Mas Marco bertanggung jawab penuh atas semua pemuatan tulisan itu,” ujar Muhidin. Namun, kata Muhidin, Marco sama sekali tidak menyesal dengan tulisan yang membawanya masuk bui berulang kali. Justru dia bangga dengan mengatakan: “Sesoenggoehnja ini persdelict loear biasa, sebab kebanjakan Redacteur kalau kena perdelict hanja seboeh karangan, tetapi ini Doenia Bergerak pertama kali terserang dengan empat boeah karangan.”
Tentang Marco

Karir Jurnalistik:

  • Wartawan magang di Medan Prijaji (1909)
  • Bersama Sosrokoernio mengawaki Sarotomo, surat kabar milik SI Surakarta (1912)
  • Menerbitkan Pembrita surat kabar milik Centraal Sarekat Islam (1920)
  • Memimpin Medan Moeslimin milik Sarekat Rakyat (1924)
  • Menerbitkan majalah Hidoep di Salatiga (1924)

Organisasi:

  • Presiden Inlandsce Journalisten Bond (1914)
  • Komisaris Centraal Sarekat Islam (1919).
  • Pemimpin Sarekat Rakyat (1924)

Karya:

  • Mata Gelap (1914)
  • Student Hidjo (1918)
  • Matahariah (1919)
  • Rasa Mardika (1918)
  • Sair Rempah-rempah (1918)
  • Sair Sama Rasa Sama Rata (1917)
  • Babad Tanah Djawa (1924-1925)

Sumber: Tabloid Prioritas, Edisi 54 – Tahun 2 | 21 – 28 Januari 2013