Martin Aleida (4)

::gus muh

Saat bercerita tentang Pramoedya Ananta Toer, Martin Aleida tahu Pram punya “jimat”, terutama ketika cerita menyisir lini masa revolusi 1945. Jimat bertuliskan aksara Arab itu diberikan seorang dukun itu “berjasa” menyelamatkan diri Pram saat diberondong pasukan Inggris di Kranji dan saat digerebek marinir Inggris di Kemayoran.

Sebagaimana Pram, Martin Aleida juga punya “jimat”. Dua malahan. Satu, surat wasiat dari kedua orangtua dengan kapal laut selama tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. Jimat kedua, surat-surat cinta pacarnya yang kemudian menjadi istri Martin hingga kini. Karena kedua “jimat” itu, cerita Martin Aleida (hlm 212), ia tidak sampai setahun dikerangkeng di kamp konsentrasi Operasi Kalong Kodim 0501, Jl Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Sungguh, “jimat” itu yang “membebaskan” Martin Aleida dari Cipinang atau Salemba dan batal jadi penghuni Buru belasan tahun.

Namun ada satu lagi “jimat” bagi Martin Aleida sehingga ia menemukan kembali dunia yang digelutinya: jurnalis cum penulis. Jimat itu bernama “GM”.
Pagebluk tahun 1965 adalah titik balik kehidupan Martin Aleida; dari manusia yang punya martabat menjadi manusia paria. Benar, ia bebas karena dua “jimat” yang sudah disebutkan di awal, tapi bagi seorang paria dan sampah politik dari orde yang dibangun dari pembantaian massal, kehidupan sosial sehari-hari lebih ganas dan terornya teramat panjang. “GM” adalah jimat ketiga yang mengangkatnya dari kepariaan tiada tara menjadi manusia yang berarti. Martin bergabung dengan EKSPRES memang direkomendasikan staf redaksi Horison dan EKSPRES Jufri Tanissan. Tapi “GM” yang memutuskan diterima atau tidak.

Dalam sejarah karir jurnalistiknya, Martin ingat betul tonggak masa ia bergabung di majalah berita mingguan terbesar di Indonesia hingga kini, TEMPO, yakni 15 Januari 1971. Artinya, ia sudah bergabung dengan TEMPO selama 50 hari sebelum majalah itu resmi terbit: 6 Maret 1971.

Bagaimana sosok “GM di mata Nurlan a.k.a. Martin Aleida? Saya kutipkan beberapa paragraf:

(232-233) “Saya masih ingat, ketika para tahanan politik dibebaskan dari Buru, GM meminta saya untuk mengundang Apin dan Boejoeng Saleh untuk datang menemuinya di TEMPO, dan saya laksanakan dengan baik. Merasa dihormati, GM tambah tahu mengenai saya.”
(129-130; diulangi lagi kisah ini di 234) “Ketika Pramoedya Ananta Toer baru saja dibebaskan dari pulau pembuangan Buru akhir 1970-an, Mas Goen menulissatu artikel yang kritis terhadap pengarang paling terkemuka yang berahang liat itu. Goenawan memanggil saya, yang duduk tak jauh dari meja-tulisnya. Disuruhnya saya membaca ulang tulisan itu….

“Waktu itu, saya usulkan  kepadanya untuk meminta Pram membaca tulisan itu lebih dulu. Agak marah, nada suaranya meninggi: ‘Mengapa harus dia baca dulu…?’ Saya jawab dengan spontan, walau sedikit gugup: ‘Untuk mencek kebenaran fakta, dan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjawab. Kalau ditunggu reaksinya setelah terbit, kan dia dilarang menulis!?’ Mas Goen diam. Kemudian, dia menyelipkan tulisannya ke dalam laci, dan di situ tulisan tadi hanya tinggal menjadi milik waktu untuk selama-lamanya. Begitulah rupanya cara Sang Pemimpin menghargai martabat seorang bekas pesakitan yang dia anggap pernah berperangai sewenang-wenang ketika suatu waktu dulu sempat berada di puncak kejayaan.”
(216) “Belasan tahun saya, dan beberapa penulis yang selamat dari jerat tiang gantungan rezim Soeharto, bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO. Saya tidak pernah menganggap kesempatan itu sebagai permintaan maaf dari seorang yang sadar secara intelektual menjadi anti-Komunisme: Goenawan Mohamad… Dia juga kabarnya menjadi tuan rumah untuk arisan istri orang-orang penting PKI yang diburu dan dibantai. Dia lakukan itu semua padahal dia bukan romo apalagi nabi. Dia cuma penyair yang meniti di titian peradaban.”
“GM” bagi Martin adalah orang bijak. GM dengan kekuasaan sebagai salah satu pemilik media paling berpengaruh di masa Orde Baru bisa memberikan martabat kepada musuh yang telah dibikinnya bertekuk lutut. “GM” punya bakat menerima titisan kebjaksanaan seperti itu.

Martin Aleida bisa dengan enteng memaki Ajib Rosidi yang pernah berseteru dengan Goenawan Mohamad soal nasib “Pustaka Jaya” tahun 80-an; Martin Aleida tanpa tedeng aling-aling beteriak-teriak menunjukkan kebobrokan Salim Said; Martin Aleida bisa menunjuk-nunjuk Taufiq Ismail sebagai penghasut; bahkan Aidit pun kena sisir kritik Martin saat mengutip cerita Pram yang “menyelah” pendapat Aidit soal land reform yang keterlaluan dalam praktik di lapangan.

Tapi dengan “GM” tak ada suara kasar itu. Martin tak sendirian. Rekan-rekannya di TEMPO seperti Harun Musawa, Yusril Djalinus, Herry Komar, memuja “GM” seperti “setengah nabi” dalam pembicaraan santai mereka di belakang sang tokoh. Sebagaimana Janet Steele menuliskan “GM” tanpa cacat di Wars Within, demikian pula Martin Aleida menempatkan sang jimat.

(233-234) “Di mata saya (“GM”) adalah orang yang mulia, yang telah menerima saya bekerja, untuk melepaskan saya dari jerat pengangguran, untuk membiarkan saya kembali ke dunia saya (penulisan), bukan untuk menggunakan saya sebagai pemukul terhadap Orde Baru…”

Hubungan “jimat” antara “GM” dan Martin Aleida terkadang sulit dipahami; apalagi para “politisi sastra” di balik jurnal galak bernama boemipoetra. Mereka adalah teman-teman Martin Aleida. Bahkan salah satu surat Martin (353-360) ditujukan secara khusus pada salah satu kamerad jurnal yang bersemboyan “boekan milik antek imperialis” ini. Setiap terbitan, pamflet sastra selalu memaki “GM”. Dan galaknya boemipoetra itu meleleh dalam buku Langit Pertama Langit Kedua ini.

Bagaimana memahami hubungan “jimat” antara “GM” dan Martin Aleida ini? Sulit! Tapi mungkin salah satu cerita di bagian “Langit Pertama” bisa menjelaskannya. Walaupun samar. Silakan buka halaman 101-111 dan baca perlahan-lahan fabel berjudul: “Eric, Makanlah…” (Bersambung)

Martin Aleida 5

Martin Aleida 3

Martin Aleida 2

Martin Aleida 1