:: gus muh
Kau tahu kau tinggal di kota yang dari hari ke hari makin riuh dan di hari-hari tertentu tampak seperti neraka di masa depan yang tak pernah dibayangkan Mangkubumi saat rancangannya dieksekusi pertama kali para abdi dalem di abad 18. Kau tahu kau tinggal di kota dengan cuaca makin tak menentu, hujan atau kemarau. Dan kau sadar, kota ini bukan daratan surga yang sepi Pulau Labengki (Sulawesi Tenggara) yang dikelilingi laut atau gugusan pulau Raja Ampat yang dipuji-puji pelancong. Ini kota di mana rajanya masih bertakhta di sebuah negara bernama Republik.
Dan Republik atau Kerajaan?
Kau baca di sebuah buku sejarah yang lusuh jelang bulan-bulan Proklamasi 1945, Republik atau Kerajaan hanyalah pilihan yang dibikin dengan cara stem atau pemungutan suara. Dan di antara 50-an anggota, ada enam yang memilih Indonesia adalah kerajaan. Dugamu, mungkin intelek borjuis utusan dari kota ini yang memilih Indonesia tetap kerajaan. Entahlah, tak ada dokumen yang membuka identitas enam orang soal “Republik atau Kerajaan” itu.
Mula-mula kau mengendarai mobil keluaran Eropa kesukaan para elite raja di kota ini ketimbang mobil-mobil jepang yang jumlahnya seperti menghitung jumah semut di ujung dahan talok milik tetangga yang menjuntai ke atap kandang kecilmu yang mirip kotak permen itu. Namun tiga tahun kemudian kamu muncul dalam sebuah peristiwa seni di galeri publik yang tak jauh dari jalan utama kota yang tak pernah redup memakai mobil jepang.
Kau jatuh gengsi? Seleramu bermetamorfosis? Atau kau marah dengan jalan raya?
Belum selesai terjawab, dua bulan kemudian kau berhenti di sebuah cafe susu menuntun sepeda bikinan Cina Surabaya. Cafe susu lebih kau minati ketimbang kedai-kedai kopi. Cafe susu dan kedai kopi seperti persaingan kuasa dua ras minuman (putih dan hitam) yang banyak-banyakan halte dengan jumlah yang fantastis. Cafe susu penanda bahwa orang-orang macam kau makin banyak jumlahnya atau masyarakat makin sejahtera karena pemerintah berfantasi bahwa balsem yang mereka sebar setiap jelang pemilu menandai bahwa mereka pro poor. Kedai kopi seperti menandai bahwa kesadaran budaya tanding warga kota ini makin hari makin memadai dengan satu slogan: “radikal itu gaya hidup”.
Kau tak ambil bagian di salah satu meja kayu mentah yang disediakan cafe itu. Kau memesan tiga bugkus susu murni mentah tanpa gula. Lalu kau lenyap lagi di sebuah tikungan gang setelah beberapa kayuhan.
Di rumah kotakmu yang hanya seluas tiga kali meja pingpong itu, kau buka lemari perabotan dapur yang berada di bawah tangga. Lemari itu berjajar dengan lemari pakaian dan dokumen rumah dan pendidikanmu. Hanya kau yang tahu perletakan dan fungsi lemari itu karena dibuat seragam dan manipulatif. Jika tak dibuka, orang tak menduga bahwa dinding di bawah tangga itu sesungguhnya adalah lemari dengan macam-macam peruntukan.
Dua piring dari stenlis itu kau letakkan di lantai. Dua kantong susu itu kau tuang. Dibagi merata. Lalu kau beranjak ke pintu belakang yang menghubungkan garasi sepedamu yang mungil. Tiga ekor kucing kampung menyeruak masuk rumah. Mereka menyerbu dua piring susu itu. Kau tersenyum sambil tanganmu menyambar segelas susu yang menjadi jatahmu.
Kau berjalan menuju perpustakaan yang masih embrio yang dua bulan lalu kau gadang-gadang menjadi perpustakaan raksasa yang bakal menyaingi perpustakaan kota. Perpustakaan itu yang saat di atas sadel sepeda yang berjalan lamban beberapa pekan lalu kau sebut dengan tiba-tiba: “Library 2.U”. Kepada beberapa rekan barumu yang kau kenal di cafe di kota bahagian utara atau bertemu sesapaan di tokobuku atau galeri seni, kau perkenalkan “Library 2.U” sebagai “Library for You” atau perpustakaan untukmu, perpustakaan personal. Tapi kau sendiri lebih senang menyebut “Library 2.U” rancanganmu sebagai “Perpustakaan 2 Ubin”.