Perpustakaan 2 ubin adalah perangkat yang memerangkapmu secara sadar bagaimana menyikapi benda-benda literasi di sekitar yang dialihbentuk menjadi benda digital. Metamorfosis tak hanya mengecilkan ukuran, tapi juga mengubah keseluruhan bentuknya dari ada menjadi tiada, dari jasad menjadi kasat, dari teraba menjadi terasa, dari centi menjadi bit.
Namun sifat yang tak pernah berubah adalah keterbacaan.
Keterbacaan adalah abadi dari proses perpindahan ruang lewat perantaraan cahaya. Pemindaian adalah proses dan kerja cahaya di atas cahaya di atas cahaya yang mengubah secara ajaib benda-benda yang teraba, terindera, tercatat dalam satuan ukuran mili, menjadi duplikasi yang sama tapi tak teraba.
Masyarakat penemu cara pengabadian keterbacaan benda-benda itu dari kelapukan udara, tanah, air, dan api menamai dirinya masyarakat maya, dunia maya. Sebuah atribut yang mengasosiasikan sebuah suku purba di mesoamerika yang mewariskan pengetahuan manusia tentang poros-poros waktu dan pencapaian pengetahuan lewat simbol dan aksara.
Bangsa maya menyebut pemindaian jasadi benda-benda literasi lewat perantaraan cahaya itu dengan “digitalisasi”.
Perpustakaan 2 ubin adalah perangkap abadi benda-benda sisa-sisa masa atom yang dipercayai semua orang sebagai rumah pengetahuan. Atom itu dipindai menjadi bit. Ini proyek revolusi pemikiran. Sebagaimana teknologinya, seperti itu pula gaya hidupnya.
Para leluhur bangsa maya seperti penemu listrik, pemikir fisika kuantum, penyusun semesta komputer, ahli matematika, peramu kimiawi berseru sempurnakan kedigitalanmu dengan menjadi manusia digital sempurna. Janganlah mengaku manusia digital jika kau masih merasa iba pada kehilangan hal-hal yang masih kasat.
Ini pandangan berbahaya.
Musuh pemuja museum, lawan filolog, arkeolog, kolektor barang antik, arsiparis, pustakawan di kantor-kantor pemerintahan dan sejumlah serdadu peradaban atom yang memandang benda-benda dengan cara ekstrem, eksklusif, dan karena itu tampak aneh.
Satu lagi musuh yang harus disebutkan, yakni semua dosen di semua perguruan tinggi yang mengeliminasi buku-buku digital dan informasi digital sebagai sumber skripsi atau tesis dan memaksa secara struktural agar mengopi-cetak skripsi-tesis yang dituliskan. Dosen-dosen berciri seperti itu adalah artefak dari peradaban atom yang harus dimasukkan sebagai musuh manusia digital yang berbahaya. Dosen-dosen itu, walau bukan entitas ekstrem, namun tetap jadi gulma perintang pertumbuhan peradaban digital.
Jalan pertama menjadi manusia digital paripurna adalah kenali musuh-musuhmu. Setiap peradaban baru yang dilahirkan selalu mengumpulkan musuh sebanyak kawan yang dirangkul. Sebagaimana nasib naas dialami keluarga medisi kaya raya di Florence abad pertengahan yang mengasuh sejumlah pribadi radikal dan jenius seperti Michelangelo, Leonardo Da Vinci, dan Galileo Galilei. Keluarga itu kemudian dihancurkan karena dianggap bidah bagi gereja. Jenius-jenius abad pertengahan yang menjadi leluhur pencerahan Eropa mengembara dan membuat persekutuan rahasia melawan dominator agama.
Tapi ini bukan cerita agama. Ini cerita sekular yang membutuhkan keyakinan setara dengan sekte agama yang diliyankan umat berpemahaman dominan.
Jalan kedua menjadi manusia digital paripurna tingkatkan spiritualitas kedigitalanmu. Pikiran digital, hati juga harus digital. Perpustakaan 2 ubin, untuk bisa benar-benar menjadi perpustakaan raksasa dengan hanya seukuran ubin, harus diikuti dengan hati yang digital. Ini menjadikan bahwa proyek ini bukanlah semata hanya proyek snobisme dan petualangan pemikiran. Ini adalah proyek ideologi.
Menjadi manusia digital paripurna dituntut pengorbanan layaknya seorang patriot memberikan segalanya pada bangsa. Dalam hal ini kepada bangsa maya.
Ujian pertama, digitalkan buku-buku tercinta yang diwariskan dengan segenap-genap cinta oleh keluargamu. Dan kau tahu tiga penulis ini yang bukunya harus kaujaga kelestarian fisiknya dan jangan berpindah tangan sebagaimana sangat sering ayahmu ucapkan di meja makan saat kau remaja. Di antara ribuan bukunya hanya tiga ini yang diwasiatkan dijaga dan dirawat: “De Opkimst van de Nationalische Beweging in Nederlandsch-Indie” yang diterbitkan setelah 13 tahun Rinkes wafat (1954), sekumpulan dokumen yang disembunyikan dalam kotak pandora selama puluhan tahun untuk membunuh Tirto Adhi Soerjo dua kali dalam sejarah pergerakan; “Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 dan 2”, cetakan pertama yang ditandatangani Ir Soekarno dan menjadi bacaan terlarang oleh orde berikutnya; “Tetralogi Pulau Buru” edisi stensilan yang sudah dibinding penulisnya, Pramoedya Ananta Toer sewaktu di kamp pembuangan.
Ketiga buku itu — tepatnya tujuh buku — yang menjadi warisan ayahmu ini yang menjadi ujian pertamamu menjadi manusia digital paripurna. Ketujuh buku itu dipisahkan perletakannya dengan buku-buku yang lain yang umumnya dideretkan saja dalam rak. Ketujuh buku itu dimasukkan dalam tujuh kotak kayu jati berumur yang diplitur coklat tua. Peti-peti seukuran buku itu lalu ditaruh di lemari kayu bersisian dengan kertas-kertas berharga lainnya, seperti kartu keluarga, sertifikat tanah, dan sejumlah ijazah pendidikan di semua strata.
Semua benda-benda di lemari itu pewarisan dan perawatannya diserahkan semua kepadamu yang dianggap paling peduli dan paling berminat dalam soal buku dan dokumen.
Tapi itulah masalahnya, benda-benda itu justru menjadi bebanmu selama ini. Sebelum kau tinggal seorang diri di rumah 3×3 m, kau seperti Barda, Si Buta dari Goa Hantu itu. Ke mana-mana menyeret peti mati terkasih. Si Buta yang sulit pulih dari bekapan kenangan masa silam itu mirip Janus, makhluk sejarah yang berjalan membelakangi masa depan.
Benda-benda warisan ayahmu itu adalah peti mati dan kau tak mau jadi makhluk seperti si Buta atau Janus itu. Kau pun diuji untuk mumutus tali pengikat peti mati itu dan membakarnya di belakang kehidupanmu.
Mula-mula tujuh buku itu harus kaurusak lem pengikatnya. Pemindaian lewat cahaya bisa sempurna jika kertas-kertas itu diurai seperti mula-mulanya. Berserak. Selembar-selembar.
Perkiraanmu kau butuh waktu tiga pekan untuk menyelesaikan pemindaian.
Tapi tak berhenti di situ saja.
Jasad buku yang sudah kau mutilasi itu akan kamu lenyapkan. Dibakar atau ditanam itu hanya pilihan pelenyapan. Alasanmu, buku-buku itu merebut terlalu banyak ruang. Buku-buku itu juga menjadi tempat bertelurnya debu-debu yang membikin asmamu kumat.
Kau tak seperti ayahmu mencium bau buku seperti mencium parfum terbaik chanels dengan aroma yang bisa mengguncang gairah Demi Moore. Tapi kau sebaliknya. Mencium bau buku itu seperti menyerahkan nyawamu di tali gantungan.
Masuki pintu menjadi manusia digital paripurna!
Demikian suara Leonard Kleinrock, Barners Lee, dan Robert Ledley silih berganti memanggil-manggilmu. Mutilasilah buku terbaik yang dikenang leluhurmu, ambil ruhnya dengan cahaya, lalu lenyapkan.
Dan untuk proses itu kau berhadapan vis a vis dengan tiga dokumen bagaimana ketiga buku itu hadir dan menjadi tonggak ingatan masa silam keluargamu, terutama ayahmu.
(Bersambung)