Politik Budaya di Paras Garuda Wisnu Kencana

:: gus muh

Pembangunan monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Ungasan, Jimbaran, Bali adalah potret bagaimana kebudayaan diposisikan dalam konteks membaca Indonesia sebagai bangsa. Dimulai pada Juni 1997, patung Garuda Wisnu Kencana dan taman wisata kebudayaan (cultural park), hingga 17 tahun kini, masih terlantar.

Nyoman Nuarta sebagai perupa dan sekaligus pusat inspirasi dari cultural park ini harus melewati lima periode politik kebudayaan (sirkulasi 5 nama presiden) untuk mempertahankan kesadaran penciptaannya agar Garuda Wisnu Kencana berdiri seutuhnya sebagai monumen kebudayaan terbesar dalam seribu tahun terakhir di Nusantara.

Sebagaimana empu-empu agung, Nyoman Nuarta adalah simbol kegigihan dari sebuah pemikiran besar kebudayaan yang direalisasikan dalam pembangunan patung GWK setinggi 126 meter dan berat 3000 ton; lebih tinggi dari patung Liberty New York yang hanya memiliki ketinggian 93 meter.

Pengiriman pertama kepingan patung GWK pada 24 Juli 2013 dari NuArt Sculpture Park Bandung ke Bukit Ungasan Bali menjadi titik balik kedua dari dua babak sejarah pembuatan patung monumen dan taman kebudayaan terbesar ini. 

Seperti memutar jarum jam, Nyoman Nuarta bilang, tiga tahun lagi patung ini akan jadi seluruhnya. Bukan soal keyakinan maestro patung ruang publik ini yang penting, melainkan semangat pribadinya ini hendak mengejek habis-habisan bagaimana politik kebudayaan kita dikerjakan dengan amburadul.

Jika negara cum pemerintah berpihak pada kebudayaan maka keberpihakannya berbasis semata pada ekonomi. Lalu muncullah terminologi “pariwisata”. Itu pun pariwisata yang lebih banyak diberikan oleh alam yang eksotik Nusantara, ketimbang penciptaan pedestal simbol baru.

Kita begitu bersemangat dan masyuk mengeksploitasi ciptaan leluhur masa silam, tapi lupa bekerja untuk menciptakan kawasan monumental baru yang lebih baik yang layak diwariskan untuk generasi seribu tahun kemudian.

Ketika istilah “pariwisata” ini makin rudin, dimunculkan istilah baru “ekonomi kreatif”. Maksudnya sederhana saja, jika proyek kebudayaan itu tak memberi keuntungan dari anggaran yang sudah dikeluarkan, maka proyek itu “boleh diabaikan”.

Politik (Pengabaian) Kebudayaan

“Pengabaian” pembangunan taman budaya GWK oleh politik kebudayaan mengingatkan kita pada pembangunan Monumen Nasional atau Koningsplein di Jakarta. Ada rentang waktu 23 tahun yang dilewati oleh Monas hingga terbangun menjadi landmark seperti saat ini. 

Dimulai pada pada 1937 ketika kertas kerja Thomas Karsten memenangkan sayembara pembuatan desain Koningsplein. Lama mangkrak sebagai ide, lalu muncul sayembara kedua pada 1955.

Proyek ini lagi-lagi mangkrak sebelum akhirnya diambil alih langsung oleh Presiden Sukarno yang memang bervisi politik budaya gigantis dan berwatak monumentalis pada Oktober 1960. 

Tak tanggung-tanggung Sukarno sendiri yang mengetuai juri sayembara ketiga pembuatan patung yang dalam kata-katanya: “mencermikan kepribadian Indonesia, patriotik, menjulang yang bisa dilihat orang dari jarak seratus kilometer”.

Hasilnya, cemoohan dari oposisi yang mengatakan rakyat tak butuh batu, rakyat butuh beras. Jawaban tegas Sukarno adalah rakyat butuh beras, juga butuh batu. Itulah monumen kemerdekaan Indonesia.

Jika tak ada politik budaya yang tegas dan besar seperti ini, Jakarta sebagai Ibukota  hingga hari ini barangkali tak pernah punya cultural park dan monumen berskala nasional yang jadi identitas bersama warganya.

Mandat Peradaban

Garuda Wisnu Kencana adalah taman kultural paling monumental yang tidak hanya lebih gigantis dari Monas Jakarta, melainkan bisa mengalahkan patung Liberty New York dalam soal simbol dan monumentalisnya.

Dengan volume dan skala kerja raksasa seperti itu, maka hanya politik budaya negara yang berpihak pada kebudayaan yang bisa memuluskan jalannya. Di titimangsa inilah kita dihadapkan pada sekian sekuen ironi yang coba dihalau perupa Nyoman Nuarta sebisa-bisanya. 

Nyoman Nuarta sadar betul bahwa Garuda Wisnu Kencana adalah mandat peradaban yang harus dilakukannya, selain untuk merampungkan tugasnya sebagai pematung modern. 

Ia memberi tahu secara terbuka tentang tampang politik negara yang tak berpihak pada kebudayaan dengan cara “mengabaikan” ada tidaknya dukungan anggaran dari pemerintah dengan mendekati pengusaha-pengusaha Tionghoa yang memiliki medan kesadaran yang sama tentang arti GWK sebagai mandat peradaban.

Hasilnya, Taman Kebudayaan Garuda Wisnu Kencana kembali digeber pengerjaannya tanpa kehadiran instrumen negara.

Karena itu, dalam kesunyiannya memanggul obor semangat membangunkan taman kebudayaan raksasa di kawasan internasional Bali, Nyoman Nuarta memberitahu kita bahwa kita ini sudah betul-betul bangkrut secara ekonomi konsumerisme yang gila-gilaan, kontrak sosial yang dari ke hari kian pupus, korupsi merajelala, dan ditambah lagi kita kehilangan visi besar berkebudayaan mondial di hadapan bangsa-bangsa lain.

dimuat di Harian Jawa Pos, Minggu 11 Agustus 2013, Rubrik “Ruang Putih”, h 4