:: gus muh
Garuda sebagai simbol dalam ketatanegaraan di Nusantara sudah berlangsung nyaris seribuan tahun. Tarikh itu bisa diulur hingga ke masa Dharmawangsa Teguh di Kerajaan Medang, Jawa Timur. Oleh Henri Chambert-Loir (2009) era ini disebut-sebut sebagai renaisans pertama Nusantara saat tradisi penerjemahan kitab-kitab asing berlangsung dengan pesat dan sistematis. Pada saat yang sama untuk pertama kalinya garudamukha dipakai sebagai simbol dan identitas kultural sekaligus penanda kekuasaan.
Itulah sebabnya, nama “Dharmawangsa” oleh masyarakat Jawa Kuno dan Bali dinisbatkan sebagai citra era peradaban madani, sejahtera, dan berkeadilan atau merdesa. Setidak-tidaknya ada lima raja di Jawa dan Bali yang menggunakan nama “Dharmawangsa”, yakni Dharmawangsa Teguh (Jawa Timur), Dharmawangsa Airlangga (Jawa Timur), Dharmawangsa Marakata Pangkaya (Bali), Dharmawangsa Kirtisi (Bali), serta Dharmawangsa Kertawardhana (Jawa Timur).
Ujian pertama renaisans ini muncul pada 1016 M saat tragedi besar meletus, yakni ketika keluarga Dharmawangsa Teguh dibantai Wurawari. Peristiwa ini dikenal sebagai mahapralaya atau kematian besar. Disebut “mahapralaya” bukan saja karena keluarga raja dibantai, melainkan hilangnya simbol keadaban dalam politik dan sekaligus kultural.
Di masa ketika keadaban sirna oleh pembantaian besar itu Airlangga lolos dengan membawa amanat pemuliaan, yakni garudamukha.
Mandat garudamukha yang dipundaki Airlangga sebagai angkatan muda terakhir yang lolos dari mahapralaya kemudian menjadi semacam babad baru tentang apa yang disebut “harapan”.
Semua arkelolog dan peneliti kepurbakalaan bersepakat, garudamukha dikembalikan Dharmawangsa Airlangga sebagaimana peruntukannya pada masa Dharmawangsa Teguh, yakni lencana resmi kenegaraan, sebagaimana terbaca pada prasasti Malenga, prasasti Banjaran, dan prasasti Kambang Putih.
Oleh Dharmawangsa Airlangga, garudamukha dijadikan dua perlambangan sekaligus, yakni simbol kekuasaan politik yang adil-menyatukan dan kebudayaan yang bersemangatkan pada spiritualitas. Garudamukha adalah perpaduan politik raja dan spiritualitas dewa pasca mahapralaya 1016 M.
Garuda sebagai Unfinished Work
Di masa Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka pada 1945, garudamukha dikembalikan ke tengah gelanggang politik. Garuda coba dijadikan identitas bersama sebagai bangsa (budaya) dan sekaligus negara (politik).
Sebagaimana takdirnya, ikhtiar ini tak pernah berjalan mulus dan selamanya menjadi unfinished work.
Garudamukha dalam tafsir modern yang kita warisi hingga saat ini adalah garuda yang perdebatannya tak pernah tuntas. Misalnya, kita tak pernah punya kata sepakat siapa perancang visual garuda ini, apakah Yamin, Sultan Hamid II, Basuki Resobowo, D. Ruhl Jr, ataukah Dullah.
Belum lagi soal tafsir makna atas teks yang dinisbatkan pada garuda yang kemudian kita kenal Pancasila; terutama pembacaan atas teks pada sila pertama.
Memang, pada tahun 1945, saat negara genting pasca Proklamasi, semuanya bisa dipermaklumkan. Perdebatan yang panas bisa dicairkan. Namun justru ini menjadi api dalam sekam.
Katup magma yang tidur itu kemudian membuka perlahan setelah serangkaian pemilu pertama pasca Indonesia Merdeka yang berlangsung antara 1955 hingga 1957 selesai kita gelar yang dengan bangga kita mendaku diri sebagai Negara paling demokratis pada masanya.
Di Bandung, Sidang Konstituante gagal mengambil kata sepakat soal tafsir atas sila pertama Pancasila yang dikandung di dada sang garuda. Dengan didukung penuh serdadu yang dipimpin Nasution, Presiden Sukarno mengembalikan dasar negara sebagaimana muasalnya tanpa perubahan apa pun.
Indonesia pun berlayar di titian buih Demokrasi Terpimpin. Parlemen dibubarkan. Partai-partai yang dianggap cerewet atas teks Pancasila, terutama sila pertama, dibubarkan. Para penggiatnya dikejar dan dipenjarakan. Politik pun kemudian menegang di dua kutub: Komunis dan Tentara dengan buhul sentral Sukarno.
Garuda sebagai visual dan teks pada akhirnya kita dapatkan sebagai proyek kebangsaan sekaligus kenegaraan yang belum selesai, unfinished work. Penanda ketakberesan menyelesaikan proyek ini adalah meletusnya mahapralaya kedua pada 1965. Kita tahu, Nusantara, terutama Jawa dan Bali, dicekam oleh kegelapan dari pembantaian massal yang digerakkan secara massif dan sistematis oleh tentara di mana kasusnya (lagi-lagi) tak pernah (di)selesai(kan).
Kutukan Seribu Tahun
Tigahpuluhdua tahun setelah itu kita dapatkan diri dikecoh habis-habisan bahwa garuda adalah proyek yang benar-benar sudah selesai. Di bawah moncong laras senapan serdadu, garuda “disuci-murnikan”.
Di titimangsa ini garuda kehilangan nilai luhur keadabannya sebagaimana rancangan Dharmawangsa di abad 10 M dan diberi tafsir oleh guru bangsa pada 1945 lewat frasa “Pancasila”. Garuda kita temukan sebagai dalih untuk sebuah proyek pemberangusan politik madani dan menjadi mandat kuasa untuk kaum ksatria.
Secara tafsir politik, Soeharto sukses besar memingit garuda agar tak terjamah oleh pikiran-pikiran di luar kredo “mengamalkan pancasila secara murni dan konsekuen”. Sementara secara kebudayaan, garuda tak ubahnya seperti burung emprit. Hilang kegagahan dan daya gugahnya.
Di wilayah kebudayaan inilah kita dapatkan pematung modern Nyoman Nuarta ternyata menyimpan mimpi besar, mengembalikan daya gugah garuda dalam sebuah karya monumental. Yakni, pembangunan taman kebudayaan raksasa Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali. Proyek patung garuda wisnu yang tingginya melebihi patung “Liberty” di New York ini boleh dibilang sebagai babak baru babad garuda.
Resmi dibangun pada 1997 di Jimbaran Bali dengan harapan yang mengangkasa, proyek monumental ini terancam sebagai unfinished work kedua di sisi kebudayaan. Sudah hampir 17 tahun mimpi Indonesia melihat Sang Garuda berdiri kembali dengan gagah sebagai nilai keadaban bersama nyaris menjadi mimpi buruk kita sebagai bangsa.
Kita pun kemudian tahu, selama ini negara cum pemerintah sama sekali absen dalam proyek mengembalikan garuda sebagai ikon kebangsaan baru yang membanggakan dari sisi kebudayaan ini.
Apalagi tahun mangkraknya proyek Garuda Wisnu Kencana (GWK) ini merayap makin mendekati tahun ke 1000 ketika mahapralaya meletus pada 1016 M, yakni seribu tahun redupnya renaisans pertama Nusantara.
* Dimuat untuk pertama kali di Harian Koran Tempo, 16 Agustus 2013, hlm A11