Penghancuran Buku (Fernando Baez)

:: gus muh

Jangan pernah membayangkan pelaku penghancur buku adalah jenis manusia kerdil dan tak terdidik. Justru sebaliknya penghancur buku terbesar dalam sejarah adalah kaum biblioklas. 

Siapa biblioklas? 

Kaum ini adalah “orang yang berpendidikan, berbudaya, perfeksionis, dengan bakat intelektual yang tak biasa dan cenderung depresif, tidak mampu menolerir kritik, egois, mitomania, dan cenderung berada dalam lembaga yang mewakili kekuatan yang sedang berkuasa, karismatik, dengan fanatisme berlebihan pada agama dan paham tertentu.”

Kesimpulan Fernando Baez di buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa bahwa kaum biblioklas adalah pelaku utama teater pemusnahan buku sebetulnya tak terlalu mengagetkan. Yang membuat kita tercengang adalah karena kesimpulan itu disandarkannya pada sebuah lini masa yang terentang sangat jauh tentang budaya pemusnahan literasi.

Laskar Ragnarok

Tentu tak terbayangkan sebelumnya bahwa sejarah pemusnahan buku mencatat tebal-tebal nama ilmuwan masyuhur Rene Descartes (1596-1650) yang meminta pembacanya untuk memusnahkan buku-buku lama, sementara filsuf Skotlandia yang romantik David Hume meminta semua buku metafisika diberangus.

Tak terbayangkan novelis Vladimir Nobokov membakar Don Quixote di Memorial Hall yang disaksikan 600 siswa. Dan dalam sebuah drama fasisme, filsuf Martin Heidegger menurunkan semua buku Edmund Husserl untuk dibakar mahasiswa filsafat pada 1933. 

Atau bacalah dengan perasaan dongkol bagaimana astronom John Flamsteed pada 1725 membakar sendiri karyanya Historia Coelestis Britannica lantaran Isaac Newton menerbitkan buku itu tanpa mengantongi izin.

Bahkan beberapa penulis, seperti seorang pemuja api, justru membakar karyanya sendiri dengan beragam alasan. Malcolm Lowry pada 1944 membakar rumahnya sendiri yang berisi 2000 halaman manuskrip. Penyair Kolombia Pardo Garcia di hadapan temannya pada 1928 membakar puisinya, El arbol del alba. Penulis John Conrad mengenang bagaimana ayahnya, tokoh revolusioner Polandia, memerintahkan manuskripnya dibakar pada 1919. 

Kepada Max Brod, pengarang Franz Kafka meminta buku-bukunya dibakar saja tanpa perlu dibaca. Brod tak mau membakar, tapi Dora Diamant karena kesetiaannya pada Kafka membakar bagian terakhir dari diari Kafka.

Bahkan Joge Luis Borges dalam Un ensayo autobiografico menyediakan diri membeli karya-karya awalnya untuk dibakar asal harganya tak terlalu mahal. Sembari berolok-olok, Borges bilang, “Siapa pun yang menginginkan bukunya dibakar harus melakukannya sendiri dan bukan menyuruh orang lain.”

Sampai di titik ini, makin kokoh pandangan tua bahwa pembakaran benda-benda adalah bagian dari ritual manusia membersihkan jiwa. Sebuah ritual keramat. Apokaliptik adalah istilah untuk memberi gambaran zaman baru dimulai dengan kehancuran. Wahyu baru tiba setelah kiamat memberangus tatanan lama. Apokaliptik yang paling gigantik adalah Ragnarok, “kebakaran besar”, sebagaimana diyakini dalam khazanah mitologi Jerman.

Dalam beragam mitos, api dan air—dua komponen besar pemusnah buku—adalah dewa yang disakralkan. Di Sumeria misalnya, dikenal dewa Nergal sebagai dewa penghancur yang bersosok muda dengan menggenggam badai. Dalam tambo Finlandia dikenal anekdot bahwa raja yang baik selalu menjadi seorang penghancur sebagaimana dicontohkan dewa.

Tribalisme dari leluhur masa lampau itulah yang kemudian terwariskan dari masa ke masa dalam bentuk penghancuran buku. Alasan dan motif setiap pemusnah bisa jadi berbeda satu dan lainnya. Namun ritual dari masa ke masa dengan teknologi pemusnahan yang tak terlalu banyak berubah—memusnahkan buku dengan api—punya buhul yang sama: ritual tribalistik.

Lini Masa Api

Yang menarik adalah Fernando Baez memulai kajiannya pemusnahan buku dari dunia yang sangat jauh, yakni dunia kuno di Irak dan juga mengakhiri ulasannya di titik yang sama, yakni Irak. Jika yang pertama adalah Sumeria bertarikh 2750 SM, maka yang terakhir adalah Baghdad bertarikh 2004.

Koinsidensi yang lain adalah pemusnahan dunia kuno dan supramodern di Timur Tengah itu semuanya diawali dengan perang kota yang diakhiri dengan pembakaran ruang-ruang penyimpanan salinan manuskrip. Karena itu tak keliru kemudian Perpustakaan Alexandria yang berada di jantung peradaban Timur Tengah–dan bukan perpustakaan Babilonia dan Asurbanipal–kerap dijadikan metafora abadi mengenang pemusnahan ingatan, sebagaimana Luis Borges pernah bilang bahwa setiap beberapa abad perpustakaan Alexandria HARUS dibakar.

Nyaris tak ada peradaban agung dan besar yang tak melakukan ritus bibliosida dengan spektrumnya yang berbeda-beda. Sebut-sebutlah peradaban atau ideologis tertentu, pastilah pernah melakukan ritus penghancuran itu. Di Inggris, misalnya, Edward VI pada 1550 memerintahkan algojo-algojonya mencuri karya-karya Peter Lombard, Thomas Aquinas, Scotus dan sejumlah pengkritik rezimnya dari Perpus Oxford untuk dibakar.

Memang, dari segi skala pembesaran, dunia keagamaan yang bersekutu dengan politik menjadi penyumbang terbesar lini masa penghancuran buku yang disusun Baez ini; terentang dalam semua kontinen peradaban di atas planet bumi ini. Tapi yang gigantis adalah daulat perang. Bukan cuma satu dua buku yang dihancurkan, tapi sekalian dengan gedung yang menaungi buku-buku.

Dengan daulat perang, pada warsa awal abad 19, jenderal perang Inggris Robert Ross memerintahkan penghancuran lambang-lambang Amerika, termasuk Gedung Putih dan Library of Congress. Latar itulah yang melahirkan kutipan terkenal Thomas Jefferson: “Vandalisme mengatasi sains dan ilmu berkat penghancuran perpustakaan umum dan gedung luhur tempatnya bersemayam.”

Gempita Revolusi Prancis di akhir abad 18 telah memusnahkan ratusan ribu hingga jutaan manuskrip kuno dalam sebuah ritus jalanan atas nama Revolusi dan Kebebasan Baru. Api memusnahkan isi Gedung Arsip dan sejumlah perpustakaan biara.

Ketika perupa Goya menggambarkan monarki Spanyol pada abad 19 dengan figur-figur horor dan warna-warna kelam, penghancuran Biara Montserrat menyempurnakan kegelapannya. Perpus paling gemilang di daratan Eropa untuk masanya itu dibakar Pasukan Perancis dengan dalih tak dijadikan benteng pertahanan musuh. Arsip-arsip musik abad pertengahan Eropa, antara lain, adalah manuskrip yang lenyap selamanya. 

Tragedi Montserrat meninggalkan tangis bagi pencinta buku, apalagi melihat jenderal-jenderal Napoleon menjadikan ratusan buku sebagai pembungkus bahan peledak.

Menjadi unik adalah Amerika yang menjadi pengutuk terbesar pembakaran buku yang dilakukan Inggris pada abad 19 dan bibliocaust serdadu-serdadu fasis Nazi sebelum tragedi holocaust Perang Dunia II, melestarikan UU Comstock yang dibikin pada 1873.

Dengan UU itu pemerintah Amerika menyita dan memusnahkan 600 ton buku impor. Di era senator McCarthy pada 1940, penulis-penulis yang bersimpati pada komunisme ditangkapi. Ratusan buku kiri karya Lenin dan Marx dibakar. Pemilik toko yang ketahuan menjual buku-buku komunisme dipenjarakan. Bahkan karena dicurigai bersimpati dengan ide-ide komunisme, karya John Steinbeck The Grapes of Wrath dibakar pustakawan St Louis Public Library pada 1939.

Di Chechnya tahun 1995, pustakawan Edilbeck Kasmagomadov duduk di atas rumput lapangan sepakbola, dengan tubuh yang dibekukan oleh dingin menyaksikan gudang bawah tanah darurat yang menyimpan 20 ribu buku yang tersisa dari 2,5 juta koleksi dari 30 bahasa yang dibombardir Rusia di Grozny.

DNA Jagal Buku

Demikianlah Baez merinci lini masa pembakaran buku itu dengan sangat mengesankan. Dari masa ke masa. Dari satu kontinen ke kontinen yang lain. Dari satu revolusi yang satu ke revolusi yang lain. Dari sekelompok biblioklas yang lain ke biblioklas yang lain untuk berebut pengaruh dan memenangkan kebencian. Begitu detailnya sehingga kita lupa bahwa ritus pemusnahan buku bukan perbuatan jahat dan tercela, melainkan bagian dari cerita perputaran dan pembersihan kosmos untuk melahirkan tatanan baru.

Di atas semua itu, Baez sebetulnya menguliti dengan sangat dingin dan memberitahu dengan gamblang bahwa dalam DNA setiap manusia sebetulnya mengalir darah seorang penjagal buku.

Judul: Penghancuran Buku dari Masa ke Masa
Penulis: Fernando Baez 
Penerjemah: Lita Soerjadinata
Penerbit: marjin Kiri, 2013
Tebal: xviii+373 halaman

 * Dimuat Harian Jawa Pos, 8 September 2013