Masyarakat seperti dikutuk selalu menjadi dasar bagi lahirnya sebuah proyek dari pemerintah. Tak sudah-sudah. Di semua bidang kehidupan. Dari soal kebodohan, kekumuhan, hingga “minat baca” yang payah.
Saya ingin mengutipkan kegeraman seorang pemikir perpustakaan kelahiran Jakarta tahun 1959 bernama Putu Laxman Pendit.
Ini kutipannya: “Pemerintah Indonesia bersama beberapa elit Kepustakawanan Indonesia melakukan propaganda lewat media massa untuk menyatakan bahwa masyarakatlah yang “rendah” atau “kurang” atau “tidak” memiliki minat baca. Lalu setelah menyalahkan masyarakat, mereka akan meminta dana (kepada rakyat tentu saja) untuk menyelenggarakan sebuah ‘kampanye’ dalam bentuk upacara-upacara, festival, lomba, atau membayar tokoh-tokoh masyarakat sebagai duta baca”.
“Minat baca”—bukan “budaya baca”—adalah frase yang sangat abstrak untuk menunjukkan bodohnya orang Indonesia berhadapan dengan baca-an. Dan secara politik, “minat baca” adalah kutukan yang telak hanya kepada rakyat jelata. Hanya rakyat jelata yang disisir dengan tajam angka “minat baca” dan oleh karena itu mereka harus di(h)ajar.
Ketika angka “minat baca” jeblok ditemukan, maka disusunlah runtutan asumsi-asumsi yang berakhir pada “perlu peningkatan” dengan cara proyek ini dan itu. Putu Laxman Pendit, penulis buku Mata Membaca, Kata Bersama (2007), ini sudah menyusuri UNESCO tak mengenal kata “reading interest” (minat baca), melainkan “reading habits”. Padahal UNESCO ini selalu jadi “rujukan” untuk menentukan angka “minat baca” ini.
Ketimbang terus menjadi “sinterklas” yang posisinya memberi, aparatur penyelenggara pendidikan masyarakat sebaiknya menjalankan saja kewajibannya yang diamanatkan UU untuk membuka ratusan sarana bacaan. Idealnya ruang bacaan itu mengikuti banyaknya jumlah desa yang ada di Indonesia, yakni sekira 82 ribu desa.
Pemerintah lewat pendidikan nonformal memang sudah mendirikan ribuan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Namun dari sisi jumlah sama sekali tak signifikan, yakni tak lebih dari 10 ribu. Dari jumlah sarana baca yang kecil itu akses masyarakat terhadap bacaan memang mengalami hambatan luar biasa.
Kita pun jadi tahu bahwa bukan “minat baca” itu mula-mula letak masalahnya, tapi ketersediaan akses dan infrastruktur baca yang memadai yang menjadi kewajiban negara untuk menyiapkannya. Kita belum sampai pada soal yang juga tak kalah peliknya bagaimana agar budaya baca terbangun mengikuti ketersediaan sarana yang ada.
Budaya baca adalah sasaran utama yang dituju dari proyek pencerahan
ini. Dan budaya baca menyaratkan tersedianya sarana baca yang representatif berupa taman bacaan dengan segenap bentuk kreatifnya. Budaya baca juga menyaratkan lingkungan di mana masyarakat “bebas memilih jenis bacaan yang ingin dibacanya” dan bukannya dipilihkan. Selain ihwal adanya agensi atau pengelolaan yang baik, kultur baca juga terbangun oleh kehidupan jaringan.
ini. Dan budaya baca menyaratkan tersedianya sarana baca yang representatif berupa taman bacaan dengan segenap bentuk kreatifnya. Budaya baca juga menyaratkan lingkungan di mana masyarakat “bebas memilih jenis bacaan yang ingin dibacanya” dan bukannya dipilihkan. Selain ihwal adanya agensi atau pengelolaan yang baik, kultur baca juga terbangun oleh kehidupan jaringan.
Domain pemerintah ada dalam penyediaan sarana dan prasarana baca yang representatif, sementara ketersediaan agensi dan bahan bacaan adalah domain masyarakat sipil (komunitas literasi, perpustakaan, penerbit). Adapun arsiran keduanya ada pada pembentukan jaringan dan komunikasi serta penciptaan lingkungan “kebebasan memilih apa yang dibaca”.