Pada tahun 2008 Indonesia Buku via Petrik Matanasi pernah
mengumpulkan sekira seratusan renik pemberontakan di Nusantara; mulai daripemberontakan Arok hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi PapuaMerdeka (OPM), dari pemberontakan petani di Banten hingga pemberontakan yangdigerakkan bangsawan semacam Diponegoro dan Raden Mas Said.
Artinya, sejarah Nusantara/Indonesia boleh dibilang sejarah
yang digerakkan kaum pemberontak. Namun dalam silabus sejarah Indonesia pula
frase “pemberontak” mengalami pembusukan makna yang luar biasa
hebatnya. Bila seseorang atau kaum dicap sebagai pemberontak, maka seluruh amalan
sosial dan politik kaum itu ikut lungkrah.
dan Khianat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, frase
“berontak” pada mulanya adalah sikap meronta, membangkang, usaha
melepaskan diri. Barulah turunan kedua disebutkan bahwa berontak adalah usaha
sekelompok kaum yang melawan kekuasaan yang sah. Kamus memberi contoh bahwa
sebuah kaum memberontak karena tak diperlakukan secara adil. Ya, adil adalah
kata kunci.
Namun dalam kamus yang sama, terutama pada baris-baris
bawah, makna “berontak” makin buruk artinya, yakni: duroko! Makna
terakhir ini mendekatkan “berontak” dengan frase hina
“khianat”, yakni tidak setia dan tipu daya.
Penisbahan kata secara bergantian, “berontak” dan
“khianat”, itulah yang kita temukan kepada satu kaum yang tiga kali
membikin geger dalam sejarah.
Pemberontakan PKI 12 November 1926 adalah pemberontakan
yang berlangsung secara serentak di Batavia, Tangerang, Banten, Priangan, Solo,
Banyumas, Pekalongan, Kediri, dan Sawahlunto yang berhasil disapu pemerintah
kolonial dalam waktu tiga hari. Kamp Boven Digul pun tercipta untuk mengubur
magma pembangkangan kaum komunis ini.
Oleh PKI generasi kedua pimpinan DN Aidit, peristiwa 26
November dijadikan tonggak penting heroismenya sebuah pemberontakan. Aidit
dalam sekuen waktu saat memperingati 26 November selalu menyebut peristiwa itu
sebagai “Pemberontakan Rakjat”.
Tapi berbeda dengan peristiwa 18 September 1948 di Madiun
yang dalam pleidoi PKI-Aidit disebut sebagai “peristiwa” karena
provokasi Hatta-Sukiman-Natsir. PKI menolak menyebut disebut mengadakan
pemberontakan karena mereka sesungguhnya dijebak dan melawan seadanya ketika
serdadu-serdadu KNIL pimpinan Nasution menyerbu.
Namun dalam buku-buku sejarah kemudian dua peristiwa dalam
masa yang berbeda itu diberi cap yang sama, yakni pemberontakan. Makna
pemberontakan di sini bukan seperti yang dipahami PKI sebagai “sikap meronta,
membangkang”, melainkan sebuah persekongkolan melakukan tindakan jahat!
Menjadi rumit kemudian ketika rezim militer Soeharto
memberi sebutan pada peristiwa 1 Oktober 1965. Akhirnya, frase “pemberontakan”
bersulih menjadi “pengkhianatan”. PKI dianggap melakukan tindakan
seperti gerombolan malam yang melakukan tipu daya dan pembokongan terhadap
pemerintah yang sah.
Pemberontak
dan Pahlawan
Makna “berontak” dan “khianat” yang dipahami 11-12 itulah
yang kita warisi hingga kini. Konsekuensi dari pelabelan “pemberontak” itu
adalah pembatasan dan pengucilan secara sosial dan politik. Mereka yang dicap
“pemberontak” musykil mendapatkan anugerah “pahlawan” yang diberikan saban November.
Selain domain militer yang lebih dominan dalam penentuan siapa pahlawan dan
tidak, memori masyarakat atas busuknya makna
“berontak” masih kuat mengakar.
Sukarno memang pernah “merevisi” cara pandang rezimnya
melihat posisi kaum yang dicap pemberontak dengan memberikan gelar pahlawan
kepada dua tokoh komunis Tan Malaka dan Alimin. Namun ketika Orde Baru naik
tampuk kekuasaan, nyaris tertutup pintu bagi kaum komunis untuk mendapatkan
gelar kepahlawanan.
Ada memang secercah harapan ketika pentolan-pentolan
Masyumi yang dicap sebagai “pemberontak” karena terlibat dalam PRRI/Permesta
satu per satu diberi gelar pahlawan. Namun diperlukan tiga generasi berganti
hingga akhirnya M Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara diberi gelar pahlawan
nasional masing-masing tahun 2008 dan 2011.
Namun tidak dengan patriot-patriot bangsa yang pandangan
politiknya berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia; walaupun mereka
berjuang habis-habisan di sekitar tahun 20-an dalam mengorganisasi
pembangkangan atas pemerintah Hindia Belanda dan ikut mengobarkan revolusi pada
tahun 1945 hingga 1949. Mereka tetap memundaki kutukan itu. Bukan hanya kutukan
itu disadang oleh nama mereka, tapi semua keturunannya diuber-uber hingga kini.
Catatan: Versi cetak disiarkan Harian Jawa Pos, “Ruang Putih”, 1 Desember 2013