:: gus muh
Perjuangan pencinta buku di Mahkamah Konstitusi (MK) hingga Oktober 2010 memang “sukses” mengubur Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang.
Staatsblad itulah yang menjadi dalih hukum pemerintah melakukan penertiban dan pelarangan barang cetakan (buku dan pers).
Namun ada buah lain yang belum pernah dipraktikkan dari keputusan MK yang dibaca pada 13 Oktober di mana saya sendiri ikut hadir dalam pembacaannya. Yakni, pengadilan yang berwewenang memutuskan sebuah buku dilarang atau ditarik dari peredaran. Di sidang MK itu saya adalah pemohon IV untuk perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963: Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum. Buku saya, “Lekra Tak Membakar Buku”, dilarang via SK Jaksa Agung Nomor 141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009.
Menurut saya, keputusan MK itu adalah amanat litigasi baru dalam sejarah perbukuan bahwa buku mendapat kursi istimewa memasuki pengadilan. Suatu peristiwa yang sering diangan-angankan sepanjang hayatnya, misalnya, si penulis buku yang paling banyak karangannya dilarang, yakni Pramoedya Ananta Toer.
Sebelum 13 Oktober 2010, buku berada di lorong gelap ketakpastian. Nasibnya berada di “kehendak baik” pemerintah yang eksekutornya adalah kejaksaan. Algojo-algojo perajam buku leluasa melakukan tugasnya di bawah lindungan hukum ketertiban setelah sebelumnya “mendapat masukan” dari beberapa elemen masyarakat di sebuah forum khusus yang mereka namakan “clearing house”.
Era baru perbukuan pasca keputusan MK itu masih agung dalam staatsblad dan belum ada kait praktiknya. Pada Mei 2013, saya berharap besar pada sebuah penerbitan buku paling besar di Indonesia untuk mewujudkan amanat Mahkamah Konstitusi itu, yakni mendudukkan buku dalam pengadilan; saat salah satu buku mereka mendapat kecaman dari sekelompok masyarakat.
Alih-alih membawa masalah itu ke pengadilan, malahan penerbit besar itu membakar sendiri bukunya dengan disaksikan sejumlah wartawan dan petinggi penerbitan.
Penerbit besar yang tak terlibat secara langsung apple to apple dalam perjuangan melawan algojo-algojo buku hingga di ruang judical review Mahkamah Konstitusi itu alih-alih mempraktikkan cara terhormat untuk memutuskan nasib buku; bahwa buku diperdebatkan dalam pengadilan. Malahan mereka memberi contoh paling buruk: mempertontonkan ketakutan. Dan, karena takut tak terhingga itu, penerbit besar itu melakukan bunuh diri: membakar bukunya sendiri.
Pengadilan Buku
Apakah buku dan penulisnya tak boleh salah? MK di bagian kesimpulan dan amar putusannya Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 sudah jelas dan tegas. Saya kutipkan isi amar yang dibaca bergantian pada hari Rabu 13 Oktober 2010 oleh 8 Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua merangkap Anggota), Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Harjono, M. Akil Mochtar, dan Ahmad Fadlil Sumadi (masing-masing anggota).
“Penyitaan buku-buku sebagai salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 … Tindakan pengambilalihan barang cetakan tanpa prosedur yang benar menurut hukum, terutama tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki due process of law.”
Artinya, tak satu pun yang kebal hukum. Termasuk (penulis) buku. Namun caranya haruslah benar. Yakni, lewat perdebatan dalam pengadilan.
Maka sangat ironi kemudian ketika ada sekelompok masyarakat pencinta sastra lewat sebuah petisi daring di change.org pada Januari 2014 mendorong pemerintah yang dilawan oleh pencinta buku pada 13 Oktober 2010 untuk melakukan pelarangan permanen atas buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”.
Argumentasi yang diajukan boleh jadi benar dan kokoh menguliti betapa sesatnya buku itu dalam kaca benggala sejarah sastra Indonesia. Namun mendekati “alogojo buku” yang wewenangnya dikebiri pada 13 Oktober 2010 untuk menista buku karya Jamal D Rahman dkk itu adalah langkah ironis. Perjuangan agar buku yang tidak disepakati itu ditarik dari peredaran mestinya lewat sebuah perdebatan dan pengadilan buku di ruang pengadilan.
Dengan cara demikian kita telah menempuh tindakan bermartabat yang sudah disediakan jalannya oleh hukum yang dibuka MK. Memperdebatkan buku di ruang pengadilan, oleh karena itu, merupakan cara kita memuliakan (dunia) buku. Sekaligus menghindarkan diri masuk dalam barisan “kaum biblioklas” pemusnah buku yang ditunjuk Fernando Baez. Yakni kaum berpendidikan, berbudaya, perfeksionis, dengan bakat intelektual yang tak biasa dan cenderung depresif, tidak mampu menolerir kritik, egois, dan mitomania.
* Versi cetak dimuat di Harian Koran Tempo Minggu, Rubrik “Ide”, 19 Januari 2014, hlm 23