Politik tanpa (Pusat) Dokumentasi

:: gus muh

Sebuah ruang yang lapang. Dipenuhi oleh barisan dokumentasi yang rapi tentang perjalanan partai politik sejak zaman Hindia Belanda hingga kini. Hari demi Hari. Mulai dari kliping koran, video, foto, suara, hingga alat-alat peraga yang representatif. Terakses oleh publik luas yang ingin mengetahui detail peristiwa politik dalam kisahnya yang panjang.

Di manakah ruang dokumentasi politik seperti itu di Indonesia saat hajatan politik tiap tahun digeber dan dirayakan?

Barangkali ada yang menjawab ruang itu sudah ada dengan merujuk pada peristiwa pada Maret 2005 saat Ketua Komisi Pemiilihan Umum (KPU) Nazaruddin Sjamsuddin meresmikan Pusat Dokumentasi Pemilu 2004 (PDP) di Jakarta yang kemudian digadang-gadang sebagai Museum Pemilu.

Ada juga masyarakat sipil dengan bantuan donatur asing yang sudah membuat portal rumahpemilu.org lantaran situs KPU tidak bisa diharapkan sebagai pusat utama data pemilu. Mereka gelisah bagaimana mungkin negara dengan eksperimen demokrasi yang terkadang berbahaya ini tak memiliki pusat dokumentasi politik yang lengkap, representatif, dan terakses.

Saya punya pengalaman buruk saat Indonesia Buku menyelenggarakan riset Almanak Partai Politik pada 2008. Riset itu sebagai pondasi untuk mengukuhkan Hari Partai Politik Indonesia 3 November (ah, adakah parpol berpikir untuk membangun waktu bersama untuk merefleksikan kehadiran mereka dalam semesta sejarah). 

Riset Almanak Partai itu diharapkan bisa menyisir ratusan cerita Partai Politik Indonesia sejak Indische Partij, Partai Komunis Indonesia, Golkar, hingga Partai Keadilan Sejahtera. Juga merangkum ribuan tokoh utama partai politik.

Gedung Komisi Pemilihan Umum di Jalan Imam Bonjol No. 29 Jakarta itu yang disasar lebih dulu untuk mencari tahu cerita detail partai politik. Namun nihil. Selain ruang dokumentasi yang masih berantakan dan umumnya dokumentasi yang tersedia lebih banyak Pemilu 2004, juga gedung ini terlalu sibuk seperti pasar Tenabang.

Pada akhirnya, ya itu tadi, blusukan di lapak-lapak Senin buku tua dan dokumen riset yang sudah jadi tentang peristiwa Pemilu. Untuk tahun 1955, lagi-lagi dipercayakan pada buku Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia yang terbit pertama kali pada 1962. Sebuah buku dengan informasi yang sangat umum. Juga Kepartaian di Indonesia yang disusun Kementerian Penerangan RI (1951) dan Seandainya Sistem Distrik Berlaku pada Pemilu 1955 karya Dwight Y King dkk (1971).

Namun untuk tahu bagaimana pergesekan hari demi hari parpol peserta Pemilu 1955 yang disebut-sebut sebagai eksperimen politik paling fantastik, buku-buku itu tak membantu banyak. Hanya sedikit informasi kiprah partai-partai besar. Sementara yang kecil-kecil seperti calon perorangan R Soedjono Prawirosoedarso (Madiun), Partai Wanita Rakyat yang berdiri tahun 1946 dan dihelat antara lain oleh Nji Sri Mangunsaskoro dan Nji Hajar Dewantoro maupun Partai Rakjat Djelata (PRD) yang berdiri sejak 1945 hanya masuk dalam daftar absensi. 

Juga tak ditemukan cerita harian bagaimana partai-partai itu bergesekan dan menyelesaikan masalah-masalah pertentangan yang mereka lakukan. Untuk mendapatkan cerita demikian diperlukan ketekunan dan waktu yang tak sedikit lagi untuk mengais-ngais kliping di beberapa perpustakaan.

Nirdokumentasi
Tanpa dokumentasi itu peristiwa politik Indonesia mirip prosa buruk. Kerap berputar-putar menghadapi masalah yang sama seperti labirin. Aktor-aktornya mirip badut. Hanya menjadi tontonan, dan bukan berperan menuntun. Peristiwa Data Pemilih Tetap (DPT) hanyalah salahsatu masalah pelik terulang dari tahun 2009 karena gagap menghadapi data dan dokumentasi.

Ketiadaan dokumentasi dan tradisi mengolahnya, kita tak pernah, misalnya, punya rekam jejak calon dan anggota-anggota legislatif yang jumlahnya sudah puluhan ribu itu seperti halnya dalam dunia sepak bola Eropa. Setiap pemain memiliki rekapan berapa kali pindah klub, berapa gol yang dicipta, berapa operan, berapa kali turun ke lapangan sepanjang karir sebagai pemain. 

Namun jangankan calon dan anggota legilatif pemilu tahun 1955, untuk data lengkap calon anggota legislatif pemilu 1997 saja entah di mana. Sementara pendokumentasian peristiwa pemilu itu sendiri dilakukan oleh lembaga-lembaga pers dan masyarakat atas inisiatif dan kepentingan sendiri. Dari situlah kita temukan beberapa buku tentang pemilu berada di toko dan lapak-lapak buku, antara lain Almanak Parpol Indonesia (1999), Direktori Partai Politik Indonesia (1999), dan Profil Ketua Umum Parpol RI (1999). Ada pula buku-buku Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi, dan Program yang diterbitkan Penerbit Kompas (1999, 648 hlm). Buku terakhir ini mengulas profil 48 partai peserta pemilu 1999 yang memiliki basis historis politik sejak periode 1905-1945 hingga partai-partai yang dibuat untuk kebutuhan pemilu liberal jilid dua, Pemilu 1999.

Lihat, semua buku penting itu bertarikh tahun 1999. Artinya, menyambut pemilu liberal jilid dua itu kita hanya mengandalkan buku-buku dan bukan sebuah gedung dokumentasi. Puluhan tahun rupa-rupanya kita lupa membuat pusat dokumentasi politik. Dan barangkali itu tak terlalu penting. Karena rezim militer yang dipimpin Harto dengan Golkar sebagai “selimut demokratis”nya alergi dengan frase politik. Apalagi jika pusat dokumentasi politik seperti memelihara anak harimau dalam istana yang justru bisa membongkar tradisi “politik demokrasi” kita.

Maka demikianlah, ketiadaan pusat dokumentasi politik itu turut mempengaruhi jalan berpikir politik kita yang sifatnya umum, fragmentatif, dan kekinian. Politik “aji mumpung” adalah corak berpikir nirdokumentasi. Dokumentasilah yang mengubur kesadaran aji mumpung itu. Sebab dokumentasi yang lengkap mencipta dan memandu alam pemikiran politik menjadi bersifat historis, lintas waktu, dan detail.

Dengan berpikir yang dipandu dokumentasi yang utuh dan detail kita mengenali dengan cermat mana partai yang reguler memproduksi pemimpin dan mana partai yang melahirkan segerombol badut. Mana partai yang dihuni para algojo pembunuh demokrasi dan mana partai yang tumbuh dari janin perjuangan dan cita-cita politik arus bawah.

Tapi itu semua tak berlaku. Ingatan politik kita selalu pendek dan ad hoc.

Versi cetak dimuat di Harian Jawa Pos, Rubrik “Ruang Putih”, 19 Januari 2014, hlm 7