Bersama Memanggul Slogan

Tiga puluh dua negara yang berlaga di Piala Dunia Brasil 2014 membawa serta 32 slogan yang mereka ciptakan. Slogan itu secara mencolok terpacak di kaca samping masing-masing bus tim. Ke mana pun bus besar itu membawa tim, ke situ pula slogan mengikuti. Termasuk slogan itu terbaca ketika bus besar Timnas Meksiko mogok saat mengantarkan mereka latihan ke O Rei Pele di Kota Santos pada 9 Juni 2014: “Siempre Unidos … Siempre Aztecas! (Selalu Bersatu, Selalu Orang Aztec”. Benar, Rafael Marquez dkk memang bersatu naik 6 taksi dan meninggalkan slogan bersama bus besar itu mangkrak di jalan raya. 

Slogan — atau menurut definisi sederhana KBBI kalimat singkat — mirip jimat yang terus dikepit dalam perjalanan meraih cita-cita tertinggi. Mungkin doa untuk sebuah harapan berakhir di Maracana.
 
Kata-kata slogan itu diramu sedemikian rupa untuk menggambarkan seperti apa sebuah hasrat yang terbayangkan menjadi kenyataan. Baca saja slogan Timnas Brasil: “Preparem-Sel O Hexa Esta Chegando!” yang yakin sekali mereka bakal merengkuh juara untuk ke-6 kalinya. Atau slogan Timnas Swiss yang seperti sudah memastikan mereka berada di puncak pagelaran: “End Station: 13 Juli 2014, Maracana!”

Mungkin slogan paling santai dan nyaris tanpa beban adalah Timnas Korea Selatan: “Enjoy it, Reds!” Setelah merengkuh posisi semifinal Piala Dunia 2002, Korsel seakan sudah sampai pada titik tertinggi yang mereka cita-citakan. Alhasil, slogannya tak lagi sesuatu yang menggebu, yang bersifat eksternalisasi, melainkan soal internalisasi; bahwa Piala Dunia mesti ditempatkan sebagai permainan yang mengalirkan kesenangan, dan bukan lagi ketegangan, apalagi sengketa politik yang kerap muncul saat Argentina kontra Inggris.
 
Bandingkan dengan tiga negara yang mewakili Asia lainnya yang rata-rata datang untuk bertarung mengubah arus sejarah dan/atau memundaki harga diri. Simak slogan Jepang: “Samurai, The Time Has Come to Fight!”. Atau Australia: “Socceroos: Hopping Our Way Into History”. Dan ini slogan Iran: “Honour of Persia”.
 
Slogan Korsel itu seakan menyempal dari diktum klasik bahwa pagelaran kejuaraan reguler empat tahunan menjadi urusan sangat serius, urusan bangsa, urusan negara. Setidaknya bagi Argentina yang membentangkan slogan tegas: “No Samos Un Equipo, Somos un Pais (Bukan Sekadar Tim, Kami adalah Negara)” dan Honduras dengan slogan seperti sebuah sumpah: “Samos Un Pueblo, Un Nacion, Cinco Estellas De Corazon (Kami Satu Negara, Satu Bangsa, Lima Bintang di Hati)”. Sama halnya juga dengan Jerman, Kosta Rika, Kroasia, Meksiko, Inggris — sebagaimana tercetak dalam slogannya — melihat sepakbola sebagai cara mempersatukan sukubangsa.
 
Yang menarik adalah hanya tiga negara yang meminjam amsal hewan untuk mewakili semangat mereka. Bosnia Herzegovina yang menjadi pendatang baru dari Eropa Timur menggambarkan dirinya serupa naga “Zmajevi U Scru Zmajevi NA Terenul (Naga di Hati, Naga di Lapangan)”. Adapun Kamerun sederhana saja. Mereka adalah singa: “Un Lion Demeure Un Lion (Sekali Singa Tetap Singa)”. Sementara slogan Pantai Gading agak ganjil tapi sekaligus menandaskan keperkasaan. Mereka mengidentikkan diri dengan gajah: “Les Elephants a la Conquete du Bresil (Gajah-gajah Menyerang Brasil)”.
 
Ambiguitas
Slogan adalah cara mengikat keinginan besar dan bersama dalam satu perasan bahasa yang ringkas dan cerkas. Karena itu menciptakan slogan menjadi penting bagi sebuah komunitas, perkumpulan, tim, dan bahkan calon presiden yang sekaligus menjadi cahaya mercusuar yang menuntun pada pelaksanaan mengubah harapan menjadi kenyataan.
 
Tapi slogan juga menyimpan ambiguitasnya. Slogan adalah produk bahasa yang sangat rapuh. Kekuatannya bergantung pada kenyataan. Ketika slogan berbenturan vis a vis dengan kenyataan, maka slogan atau motto berubah makna menjadi cibiran sinis: sloganistis! Kata tanpa makna.
 
Slogan menjadi tuntunan bila diikuti tindakan-tindakan rasional dalam kenyataannya; sebaliknya slogan menjadi kata cemoohan jika tak memiliki rujukan dalam realitas. “Menolak Korupsi” adalah kata-kata kuat; namun menjadi sampah ketika kenyataan justru menunjukkan hal sebaliknya.
 
Karena itu, dalam urusan slogan, mungkin bisa meniru Prancis di Piala Dunia tahun ini yang mengusung motto sederhana: “Impossible N’Est Pas Francis (Tak Ada Kata Tidak Mungkin dalam Bahasa Prancis)”. Slogan Timnas Prancis ini seperti memberitahu, sepakbola pada akhirnya juga urusan bahasa, urusan literasi. Mungkin. [gusmuh]

* Edisi cetak dimuat di Harian Koran Tempo, 16 Juni 2014, “Slogan”.