ART JOG 2014 dan Pewarisan Politik Suram


ART|JOG|14 semacam survei visual pandangan politik ratusan
seniman terhadap politik kiwari Indonesia dengan pertanyaan yang sama: apa yang
diwariskan kekuasaan sejak Indonesia merdeka tahun 1945?

Mari kita mulai dari jawaban seniman sepuh, Edhi Sunarso.
Pematung yang berkarya di era Sukarno, Soeharto, dan enam presiden di era
Reformasi menjawab: Sukarno. Dalam pikiran Sunarso, jika warisan-warisan politik
itu diperas sedemikian-demikian, maka warisan itu bernama Sukarno. Sukarno yang
ditampilkan Sunarso adalah patung yang menjulang hingga menjebol langit-langit
Taman Budaya Yogyakarta di mana pagelaran ART|JOG diselenggarakan. 
Patung
perunggu ini juga menjadi karya dengan tinggi hampir lima meter.

Sukarno mewariskan ideologi persatuan nasional dengan irama
politik yang berdentam-dentam, paling tidak 8 tahun sebelum kekuasaannya hilang
secara tragis. Tragika Sukarno itu digambarkan secara simbolik dengan permainan
ironi visual (kulit buaya), audio (tuturan korban kekerasan 1965), audiovisual
(dua panel sosok yang kerokan di tengkorak kepala buaya) oleh Mella Jaarsma
dalam “Lubang Buaya”. Barangkali “lubang buaya” adalah
satu-satunya warisan frasa tentang “sumur” yang menyimpan nyeri dan diperebutkan
secara politik oleh rezim untuk mengukuhkan legitimasi.

Secara kontemporer, frasa “lubang buaya” dalam
sejarah suram itu dihadapkan secara kontras Joko Pekik — perupa Bumi Tarung
korban 1965 — dengan lubang galian raksasa Freeport di Mimika Papua dalam
lukisan jumbo “Go To Hell Crocodile”. Ada kesinambungan sejarah
(sebab-akibat) lahirnya dua sumur itu. Politik “Lubang Buaya” adalah
jalan tol masuknya perusahaan-perusahaan tambang dan minyak Amerika Serikat di mana
salah satunya PT Freeport.

Warisan
Kekerasan

Kekerasan seperti menjadi ingatan abadi dalam alam sadar
seniman. Midori Mirota dalam “Sang Saksi Kesejarahan” menyajikan
“ruang tamu” yang dipenuhi 130 foto hitam-putih narasumber yang
diwawancarainya terkait Perang Dunia II yang membentang dari Indonesia (Bali,
Blitar) hingga Filipina dan Jepang.

Eksponen Kepribadian Apa (Pipa) FX Harsono bahkan secara berolok-olok
menganggap kekerasan telah menjadi gaya hidup rezim Orde Baru dengan
menampilkan ulang karyanya yang dibuat pada 1977.  “Apa Yang Kamu Lakukan Bila Krupuk ini
Menjadi Pistol Beneran” adalah tumpukan ribuan krupuk pistol berwarna pink
yang menegaskan betapa pistol adalah “mainan politik” dan gaya hidup
kaum paling berkuasa dan populer.

Kekerasan politik memang selalu mengarah pada penggunaan
senjata. Namun menjadi ironis ketika senjata itu berada di pelukan sejumlah
anak-anak di Laos sebagaimana ditampilkan perupa kelahiran Yugoslavia Marina
Abramovic  dalam “8 Lessons on
Emptiness with a HappyEnd”. Senjata tak hanya diproduksi untuk berlaga di
medan tempur, tapi juga hadir secara nyata dalam permainan virtual anak-anak,
dalam game station.

Serdadu berpistol ini pula yang diingat Hari Prasetyo
ketika menautkan mulut bergerigi buldoser, cermin, dengan foto hitam putih
mereka yang ditembak mati tanpa pengadilan; mulai dari Tan Malaka, Aidit,
hingga Noordin M Top. Senarasi dengan Hari yang bertajuk “Chamber”
itu adalah karya instalasi Jompet Kuswidananto bertitel “Poem of Voice
#2”. Jompet menghadirkan dalam ruang gelap tiga puisi pamflet penyair pelo
yang (di)hilang(kan), Widji Thukul.

Dan puncak dari pemahaman seniman tentang warisan politik
yang kalut oleh kekerasan fisik dan sekaligus simbolik itu adalah presentasi
Samsul Arifin yang didapuk mengapresiasi luar ruang pameran (commision work). Karya “Goni” itu
menampilkan puluhan boneka berkepala binatang yang dibuat dari goni yang berpose
di depan Istana Merdeka. Samsul yang setia mengawinkan praktik menjahit dalam
kerajinan dan melukis memperlakukan goni sebagai wajah budak di masa
kolonialisme dan sekaligus binatangisme politik paskakolonial sebagaimana
digambarkan dalam fabel politik George Orwell, “Animal Farm”.

Banalitas
Warisan

Respons seniman dalam ART|JOG14 terhadap politik Indonesia
umumnya respons negatif. Di bawah sadar seniman, hampir tak ada warisan politik
yang layak dibanggakan. Wajah politik yang dipresentasikan semua-muanya kusam.

Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah warisan politik paling utama yang dalam
praktik sehari-harinya mengalami pemajalan dari masa ke masa. Pemilihan anggota
legislatif, kepala daerah, dan presiden secara langsung adalah ejawantah dari empat
warisan politik penting tersebut, namun yang dilihat dan dipresentasikan secara
verbal Dodik Wahyu dalam “Choose the Chair” dan Aditya Novali dalam
“Made In/By/For Indonesia” tak lain hanya soal uang belaka. Tak lebih
dari itu.

Tafsir warisan politik simbolik justru diajukan perupa
Galam Zulkifli ketika membaurkan wajah-wajah presiden sejak Sukarno hingga
Susilo Bambang Yudhoyono tatkala menyikapi warisan “Bhinneka Tunggal
Ika”. Ilusi-ilusi yang jauh dari presentasi yang suram sebagaimana teks
Pancasila lawasan Ari Bayuaji dalam “Promises”, karya Galam
ditampilkan dengan warna-warna cerah dan optimis, tapi sekaligus menjaga sikap
kritis. Ia menantang ingatan linimasa publik bagaimana keenam presiden
Indonesia itu merawat “Bhinneka Tunggal Ika” (keragaman dalam
kesatuan) dalam regangan kebijakan politiknya.

Isu kebhinnekaan dalam kesatuan juga yang menjadi sorotan
Olga Rindang Arnesti tatkala ia membuat kotak-kotak kayu yang diisi boneka
dalam pelbagai bentuk di sebuah kamar Indonesia. Walau karya yang diberi judul
“Mind and Boxes” ini diberi penjelasan verbal yang negatif dan cenderung
naif tentang (partai) politik, namun presentasi karya ini simbolik dan
sebetulnya kaya makna.

Tahulah kemudian kita bagaimana sikap dan sensibilitas seniman
tentang wajah warisan politik via ART|JOG|14 yang bertajuk: “Legacies of
Power”. Sebuah potret politik riuh, kasak-kusuk, namun sebetulnya suram
dan banal! [gusmuh]

* Versi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos edisi 6 Juli 2014