Politik Kutipan

:: gusmuh

Warisan pemikiran sesungguhnya adalah serangkaian kutipan.
Yang dimaksud kutipan di sini adalah pernyataan pendek yang diambil dari
sebarisan panjang paragraf dari tulisan atau sekian panjang tuturan yang
dinarasikan.

Kutipan adalah mata rantai pembentukan peradaban di mana
kita terus-menerus tersambung oleh masa silam yang merupakan tali pusar asali.
Lewat kutipan, pemikiran masa silam diwariskan, dikuatkan, diinovasikan.
Kalimat-kalimat kunci penting dalam inovasi yang pernah ada terus hidup tatkala
ia dijadikan kutipan bagi generasi terkini untuk membantunya memperkuat
agumentasi.

Demikianlah kutipan menjadi salah satu memetika. Jika gen
atau genetika disebut-sebut sebagai kunci pembentuk pertumbuhan fisik kita,
maka meme (mim)/memetika adalah virus pembangun pemikiran/ide. Meme/mim, oleh
karena itu, bukan cuma soal gambar-gambar yang lucu yang kita baca nyaris tiap
detak waktu di lini masa media sosial.

Penulis-penulis macam Richard Dawkins dan Richard Brodie
percaya betul kehidupan manusia tak hanya sekadar genetika yang mempengaruhi faal manusia, namun juga manusia
tersusun oleh abstraksi dalam pemikirannya. Dan itu virus mim. Gagasan, ide,
kreativitas adalah jejak-jejak bekerjanya mim dalam kehidupan manusia.

Tapi ide/gagasan adalah bentukan dari satu kutipan ke
kutipan lain yang sudah berlangsung bergenerasi-generasi. Ia tak pernah hidup
sendiri di pulau terpencil. Mim dalam bentuk kutipan adalah legitimasi dan
sekaligus tambang penguat argumentasi dari sebuah ide atau gagasan.

Dari sinilah mengutip adalah tindakan politik ketika kita
membangun posisi dan langgam politik dari mim kutipan. Untuk mengonstruksi
bangunan ide/argumentasi nasionalisme dan gotong-royong (persatuan nasional),
Sukarno perlu mengutip puluhan pemikir dunia dari beragam aliran ideologi yang
diserapnya dari bacaan dan diujinya dalam tindakan selama puluhan tahun.

Untuk melegitimasi kekuasaannya, Seharto terus-menerus
memproduksi kutipan dari kesatria-kesatria jebolan Revolusi 1945 dan mereka
yang terlibat berjasa dalam penjatuhan Sukarno dan pengganyangan PKI dalam bentuk
film, pidato, monumen, diorama, museum, cerita, dan kurikulum pendidikan.

Peristiwa-peristiwa yang menyertai senjakala dan kejatuhan
Soeharto pada 1998 juga menjadi legitimasi siapa yang “paling patut, sahih, dan
berhak” berada di arus kekuasaan saat ini. Pahlawan-pahlawan massa(l) saling sikut
untuk mendapat kalungan medali. Dan yang paling apes nasibnya tentu saja
kalangan militer yang belasan tahun kemudian naik ke panggung politik utama,
namun terlibat dalam aksi penculikan dan penembakan aksi demonstrasi mahasiswa di
kurun 1997-1998.

Nah, tiga sumur warisan politik itu yang kita lihat mengarus
dalam politik hari ini, terutama menyangkut mim kutipan. Lini masa media sosial
menunjukkan bagaimana mim kutipan politik itu berseliweran merebut pengaruh dan
kepercayaan. Seperti virus akal budi — pinjam istilah pemikir memetika Richard
Brodie — kutipan-kutipan menjadi senjata mematikan mengunci arus suara
politik.

Untuk meraih suara kaum nasionalis dan menunjukkan bahwa sang
calon presiden pewaris kemegahan dan karisma pribadi Sukarno, sang kandidat dengan
atraktif mengutip cara bicara (termasuk mikropon), cara berpakaian, dan kutipan
pikiran besarnya.

Bahkan pada bulan Mei-Juni 2014 produksi mim kutipan untuk
dukungan kepada sang kandidat tertentu bekerja sangat massif yang
kemudian menjadi trendsetter.


Sebagaimana alat peraga kampanye, mim kutipan politik itu disebar
secara sadar seperti virus akal budi untuk membangun gugus kepercayaan. Tapi
kepercayaan itu bisa melempem oleh kontradiksi dalam kutipan itu sendiri.

Ketika selapisan orang secara terus-menerus membagi kutipan
Gus Dur tentang kelayakan seseorang menjadi presiden, orang kemudian percaya
bahwa demikianlah adanya. Tapi ada yang terlupa bahwa ada kutipan tandingan
yang terkubur pada suatu masa yang belum terlalu jauh di mana sang kandidat pernah menghina secara kasar si
pemilik kutipan yang saat ini namanya dicatut dan dijadikan bantalan untuk meraih simpati menggapai kuasa.

Sampai di sini mim kutipan menjadi banal justru karena ada
kontradiksi. Menunjukkan kontradiksi adalah salah satu cara mencegah dan
memfilter bahwa virus yang menyebar bukan virus sampah akal budi. Dan
pencegahan itu menjadi budaya bila tradisi mendokumentasi kutipan (lisan/tulisan)
menjadi kebiasaan sehari-hari kita. Dan praktik tradisi itu kita temukan bentuk
awalnya justru pada Pemilihan Presiden 2014 ini. Sebelumnya tak seatraktif ini.

* Versi Cetak di Harian Koran Tempo, Kamis 3 Juli 2014