“1000 kali seniman tak berpolitik, 1000 kali pula politik mencampuri seni dan seniman” – Amir Pasaribu
Kutipan dari komposer musik legendaris Indonesia itu saya temukan dari kliping koran tua Harian Rakyat edisi 13 April 1957. Kutipan itu berumur 57 tahun jika diukur dari masa saat Glenn Fredly, Bimbim Slank, dkk “mengorganisasi” musisi untuk menjadi relawan real politik Indonesia di Pemilu Indonesia ke-12.
Amir tahu dan sadar bahwa frasa “seniman berpolitik” adalah posisi! Seniman yang disebutnya sebagai pal di tengah kehidupan bangsa dan masyarakatnya, bukanlah spectateur atau penonton, melainkan pemikir, peserta. Yakni, peserta yang bergiat menyelamatkan bangsanya dari kerugian.
Lihat, ketika Indonesia berada dalam pencarian model politik kebudayaan yang tepat, Amir tak mengikuti pandangan minor: “hai, djangan kamu berpolitik, karya senimu akan merosot”. Amir justru mengambil sikap seniman berpolitik karena, sebagaimana dirumuskan dengan tegas oleh Njoto pada pidato budaya di Kongres Lekra Solo pada Februari 1959, “djika kita menghindarinja (politik), kita akan digilas mati olehnja”.
Dari keyakinan komposer macam Amir Pasaribu dan budayawan-pemikir politik aksi semacam Njoto inilah kita menyaksikan lahirnya sebuah adagium yang sangat terkenal di lapangan politik kebudayaan: “Politik adalah panglima”.
Peristiwa panggung musik politik 5 Juli 2014 di Gelora Bung Karno Jakarta adalah kembalinya spirit Amir Pasaribu dalam bermusik yang tak alergi dengan keterlibatan politik. Politik bukan iblis yang mesti dihindari, melainkan dirawat bersama dalam kepemimpinan rakyat.
Amir Pasaribu, C Simandjuntak, Sarbini, W.R. Supratman adalah leluhur musik yang diproduksi revolusi Indonesia. Karakter mereka dibentuk dan ditempah di alam politik yang keras dalam pencarian notasi budaya. Mereka adalah musisi dan sekaligus aktivis. Bahkan, Amir tak ragu-ragu menjatuhkan pilihan berada di barisan musisi rakyat dalam organ Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Musisi semacam Amir tahu betul, politik tak merusak dunia musik yang ditekuninya, melainkan saling mengisi dalam konteks kebangsaan yang luas. Politik bukan di pihak yang mengeksploitasi justru karena ada keseimbangan posisi antara politik dan budaya. Frase “politik adalah panglima” adalah visi bahwa kebudayaan bukan lonjong-bulat pemikiran yang polos dan murni. Ia lahir dari impi dan harapan dari sosio-kultur masyarakat.
Selain itu, frase “politik adalah panglima” adalah petunjuk keterlibatan aktif dan bukan sikap diam di hadapan dunia politik. Ketika dunia politik dihuni sosok-sosok dengan rekam jejak buruk dan penuh catatan kejahatan, tak pantas seniman memilih diam dan netral. Sebagaimana kata Amir dan Njoto, politik yang jahat itu pastilah menggilas kebudayaan.
Kebudayaan yang tak kalis dari politik itu bisa kita baca dari bagaimana kebijakan politik memajukan musik, film, teater, sastra, buku, tari, seni rupa. Bidang-bidang kebudayaan itulah yang saat ini dihimpun dalam satu frase baru: “ekonomi kreatif”. Dan frase ini adalah frase politik karena terkait dengan visi kebudayaan dan politik anggaran yang menyertainya. Makin sedikit anggaran yang disediakan, makin mudah menilai keberpihakan politik terhadap kebudayaan.
Jadi, untuk menilai politik yang berpihak pada kebudayaan tidak dinilai dari retorika penguasa, melainkan sikap dan politik anggaran untuk kemaslahatan kebudayaan.
Untuk meyakinkan bahwa kebudayaan itu penting diperlukan keterlibatan politik seniman. Dalam sejarah pemilu di Indonesia ada tiga bentuk keterlibatan seniman. Pemilu 1955 dan sesudahnya melahirkan keterlibatan seniman dalam satu struktur barisan organisasi/sanggar. Seniman berpolitik dalam organisasi yang rapi seperti Lekra, Lesbumi, dan LKN.
Ketika rezim Sukarno tumbang, keterlibatan seniman dalam politik berubah. Seniman dilarang berpolitik praktis bersamaan dengan penyusutan partai. Keterlibatannya dalam politik pun semata bersifat panggilan dan penghibur tanpa ada tawar-menawar kepentingan selain bayaran. Seniman sebagai boneka politik tanpa daya tawar itu berlangsung puluhan tahun.
Pada pemilu ke-12 ini muncul keterlibatan lain yang berbeda dengan dua model keterlibatan sebelumnya, yakni keterlibatan yang cair dan tanpa bayaran. Keterlibatan yang bersifat sukarela ini bersifat ad hoc, sementara, tanpa ada iming-iming uang, kecuali panggilan untuk menjadi peserta dan bukan penonton politik.
Dalam sejarah pemilu, jumlah keterlibatan relawan seni, terutama dimotori musisi yang memiliki lapisan pengikut yang luas, adalah terbesar dan tiada tanding setelah Pemilu 1955. Mereka tak diikat oleh organisasi yang bersifat partisan, melainkan jaringan teknologi komunikasi. Walau bukan pendukung partai politik tertentu, mereka hadir menyuarakan apa yang disebut Amir Pasaribu sebagai cara “memikirkan nasib kemadjuan bangsanja dalam pemikiran semua segi hidupnja”.
Sukwan/wati seni itu terlibat dalam kompetisi yang sengit lewat jalur telinga dan mata. Di lajur kompetisi telinga, beraneka bunyi-bunyian kreatif ditanam dan ditautkan di mesin penyimpan maya seperti soundcloud. Dari semua genre ada: dari rock hingga dangdut.
Sementara di lajur mata, pelbagai poster, komik, meme/mim diproduksi, ditaman di laman web, dan disebarkan secara massif lewat media sosial. Adapun partisipasi kreatif sukwan/wati di lajur campuran antara mata-telinga (audiovisual) terdokumentasi dengan baik di laman youtube.
Konser Musik 5 Juli 2014 di GBK, Jakarta, merupakan puncak pembuktian bahwa musisi dan pelaku seni lainnya memiliki daya tawar politik yang tak bisa disepelekan begitu saja dalam jagat politik. Karena kata-kata Amir Pasaribu 57 tahun silam itu seperti pengingat kepada generasi baru: “1000 kali seniman tak berpolitik, 1000 kali pula politik mencampuri seni dan seniman”. [gusmuh]
* Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo, 8 Juli 2014