Partai tanpa Kultur Penerbitan

:: gusmuh

Pemimpin partai datang hanya membawa sambutan, bukan bacaan kepada kader. Pemimpin membawa kepekan pidato, bukan refleksi pemikiran yang bernas dan mendalam. Pemimpin berpidato, Rakyat mendengar. Begitu saja. Bukan pemimpin menulis, rakyat membaca dan meresapinya.

Bahkan Sukarno yang jika berbicara menggetarkan, membakar semangat, kata-kata dan pilihan diksinya merasuk hingga tulang sumsum, masih berpikir bahwa yang ditinggalkannya kepada rakyatnya adalah tulisannya yang berapi-api, bukan suaranya. Maka dalam suasana pergerakan yang serba susah bergerak, dipimpinnya “perusahaan” jurnalistik yang dipimpinnya sendiri seperti Persatoean Indonesia, Soeloeh Indonesia Muda, Fikiran Ra’jat, serta buku-buku brosur. 

Ya, begitu banyak pemimpin partai yang lebih peduli pada fesyen Sukarno, tapi melupakan tradisi Sukarno membuat lembaga penerbitan dan tulisan. 

Ada orang yang sibuk mencemooh PKI tanpa referensi bacaan apa pun selain bacaan hasutan serdadu sebagai partai kotor dan siluman bertaring. Namun mereka lupa bahwa PKI mewariskan–sebagaimana Sukarno–berpartai dengan tradisi penerbitan. Ketika bangkit pertama kali dari keterpurukan 1948, kelima pemimpinnya, selain menghidupkan jurnal Bintang Merah, juga mendirikan perusahaan dan koran Harian Rakjat. Lewat koran cum percetakan Harian Rakjat, lembaga penerbitan Pembaruan dibuat untuk pemberantasan buta aksara politik dan buta literasi politik kepada kader di kampung-kampung.

Bukan hanya menerbitkan tulisan pemimpin dan cendekiawan pemikir partai, lembaga penerbitan Pembaruan juga satu-satunya, SATU-SATUNYA, penerbitan partai yang memiliki tradisi penerjemahan bacaan yang baik. Mereka sebut “Empat Jalan Penerjemahan”; dari asing ke Indonesia, Indonesia ke asing, Indonesia ke bahasa daerah, daerah ke bahasa Indonesia. Wajar kemudian buku kumpulan tulisan ihwal tradisi translasi dari abad ke-10 hingga ke-20, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (EFEO, 2010), memasukkan PKI sebagai wakil satu-satunya partai yang punya kultur penerjemahan yang sistematis.

Begitu banyak orang, ormas, bahkan partai mengidentifikasi diri sebagai partai pewaris tradisi dan jalan ideologis Masyumi, tapi lupa bahwa Masyumi berpolitik dan berdakwah di jalan penerbitan. Tidak tanggung-tanggung, percetakannya berdetak kencang menerbitkan tiga sekaligus: majalah Hikmah, Koran Abadi, dan penerbitan Bulan Bintang.

Walau PSI adalah partai gurem yang pada Pemilu 1955 hanya meraih 5 kursi, partai ini menjadi partai kecil dengan semangat literasi yang setara dengan partai-partai besar seperti PKI dan Masjumi. Selain memiliki koran-koran penyokong seperti Pedoman, lembaga penerbitan Pustaka Rakjat mewariskan begitu banyak buku bermutu dan jurnal sastra-budaya dwibulanan “Konfrontasi”. 

Sebagaimana watak dan jalan berpolitik Sutan Sjahrir, kecil dan terbatas dalam massa, namun berpengaruh dalam tendensi kecendekiaan. Walau habis-habisan dikepruk Sukarno pasca Manifesto Politik diumumkan, cerita tentang PSI dan sepak-terjang orang-orangnya tak pernah surut.

Berpartai, hari ini, memang bukan ditujukan untuk kemuliaan hidup, pencerahan kesadaran, dan pendidikan politik jangka panjang. Berpartai hari ini, sepertinya, hanya kendaraan bagi penggedenya untuk berebut duduk di tampuk kekuasaan. Nyaris semua partai, tanpa kecuali. Tanpa akar bagaimana mungkin berharap tak ada kultur bajing(an) loncat dalam keseharian perilaku politik. Tanpa kultur penerbitan, bagaimana mungkin berharap tumbuh subur stok pemimpin politik berkarakter.

Partai itu sebagai “sekolah politik”, kawah candradimuka lahirnya pemimpin berkarakter, dan bukan mesin yang hanya mengoplos, mendulang, mengeksploitasi suara-suara mereka untuk kedudukan penggede yang duduk di puncak mercusuar kekuasaan. Partai juga bukan sekadar perkakas penawar dalam bancakan/koalisi membagi roti kekuasaan.

Tahulah kita mengapa generasi Tirto Adhi Soerjo dan HOS Tjokroaminoto dan dilanjutkan generasi Sukarno-Hatta adalah generasi emas ke-Indonesia-an dan tak tergantikan hingga kini karena pondasi politika mereka dibangun oleh kultur buku dan penerbitan untuk menjawab tantangan masa yang pelik dan ruwet.
Pemerintah tanpa misi-visi bacaan, pemimpin tanpa kultur buku, partai tanpa penerbitan, dan kader tanpa asupan bacaan adalah empat pilar NKRI yang melahirkan omong-kosong politik bagi masa depan. Senantiasa begitu. [gusmuh]

* Pertama kali dipublikasikan di portal selasar.com, 14 Juli 2014