Kapitan Perahu

Pidato pertama Presiden Terpilih Joko Widodo disampaikan di atas “Pinisi” di Dermaga IX Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, sesaat setelah KPU menetapkannya sebagai Presiden RI masa jabatan 2014-2019. 

Memilih tempat pidato perdana di geladak perahu besar “Pinisi” adalah penegasan diri bahwa ia adalah Kapitan Perahu. Kapitan adalah pemimpin perahu yang menjelajahi samudera mahaluas, sebagaimana jejak yang telah ditorehkan Pinisi. Pinisi adalah salah satu leluhur kapal-kapal tradisional meniti buih dan badai samudera yang menghembalang senantiasa.

Untuk sampai tujuan melewati titian buih dan badai samudera yang ganas diperlukan pemimpin perahu yang sejati. Tak hanya keterampilan di buritan, kecakapan bahasa membaca angin, pergerakan bintang, dan mantra; namun juga kepiawaian memilih dan menunjuk anak buah kapal atau abeka.

Memilih abeka itu penting karena tenaga merekalah yang menjadi tumpuan sang kapitan perahu baik di masa laut tenang maupun badai. Salah memilih abeka, selain hanya menjadi beban perahu, juga menjadi pemicu perselisihan yang memperlemah koordinasi penyelamatan perahu kala badai datang menghembalang.

Sampai di sini, sang kapitan adalah pemimpin yang tegas. Abeka yang tak cakap langsung ditegur, bahkan dirumahkan kalau terlampau gawat. Negosiasi bagi kapitan perahu terletak pada kinerja, bukan karena perikatan persaudaraan dan perkongsian.

Namun kapitan perahu bukanlah mahadewa. Ia hanya seorang manusia, yang tak kalis dari salah. Untuk meluruskannya, sejarah memberikan catatan. Dalam sejarah pergerakan kebangsaan, kita mengenal satu ceruk sejarah gelap tahun 1933 yang disebut “Peristiwa Kapal Tujuh”. Bukan saja sang kapitan kapal Seven Provincen yang disandera, melainkan juga kapalnya diambil alih abeka. Pembajakan kapal dari Tanjung Perak Surabaya itu berakhir di perairan Aceh setelah kapal terbang Belanda menenggelamkannya. Abeka mengoreksi sang kapitan yang lancung dengan sebuah pemberontakan!

Pemberontakan mungkin menjadi frase peninggalan abad 20. Tapi sebagai kata kerja, pemberontakan adalah anak kandung paling keras dalam hal mengoreksi seorang pemimpin yang keluar dari jalur tugas yang diamanatkan konstitusi. Pemberontakan adalah tindakan politik paling keras dalam jejeran kata “bersikap kritis”. Termasuk famili frase “kritis” adalah penggalangan pendapat umum, protes di jalanan, dan pemogokan.

Empat Tugas

Sebagai warisan negara yang “keramat”, UUD 1945 paling tidak menjabarkan empat tugas pokok sang kapitan perahu/pemimpin negara. Sebuah traktat dalam preambule yang dari situ kita menilai apakah sang kapitan perahu ini berjalan dalam trek cita bersama dalam bernegara.

Pertama, seorang pemimpin nasional sanggup “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Melindungi bangsa adalah kemampuan menjaga keragaman suku, agama, bahasa dari rongrongan kekuatan jahat yang berusaha merusak warisan sosial dan budaya itu.

Tugas kultural itu segaris dengan tugas geografis: “melindungi seluruh tumpah darah Indonesia”. Tak ada negosiasi bagi sang pemimpin negara jika sudah menyangkut kedaulatan kawasan, kedaulatan di mana seluruh anak bangsa yang darah-lahir dan tali pusarnya ditanam di tanah Nusantara.

Kedua, tugas pemimpin nasional adalah “memajukan kesejahteraan umum”. Kesejahteraan adalah hayat hidup orang banyak yang paling tidak diukur dari pangan dan energi yang tercukupi, perumahan yang terjangkau, lingkungan hidup yang bersih dan sehat, dan lapangan kerja yang tersedia. Untuk memajukan kesejahteraan umum itu, susunan ekonomi yang dibutuhkan tentu saja ekonomi yang berpihak pada kehidupan orang banyak.

Ketiga, “… dan mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah tugas kapitan perahu yang diamanatkan UUD 1945 untuk ranah pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Trisum itu berkait satu dan lainnya. Pendidikan adalah sumber daya budi. Dan sumber daya budi ini menjadi modal paling penting dalam mengukur tingkat peradaban dan bukan sumber daya alam. Untuk menyemai secara terus-menerus lahirnya generasi akal budi dibutuhkan peryaratan-persyaratan kesehatan keluarga dan infrastrktur transportasi di desa yang memadai dan memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal maupun horizontal untuk pemberdayaan.

Dan tugas keempat seorang pemimpin nasional menurut amanat konstitusi adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Frase itu menunjuk pada sikap aktif dalam posisi turut ambil bagian dalam soal-soal ketertiban antarnegara dengan bersandar pada tiga prinsip: kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tugas ini adalah konsekuensi bahwa kita adalah warga dunia; warga yang turut sama-sama menghuni dan menjaga planet.

Sebagai kapitan di perahu besar bernama RI ini, empat tugas pokok kenegaraan itulah yang mesti dieksekusinya dengan kecakapan teknis, manajemen birokrasi, dan gaya kepemimpinan yang mendengarkan.

Keempat tugas kenegaraan itulah yang menjadi sebab awal mengapa leluhur Republik  menyusun “kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. [gusmuh]

PS | Perahu yang dijadikan Presiden Terpilih Joko Widodo untuk berpidato pada 22 Juli di dermaga Sunda Kelapa bukan Pinisi, melainkan “Perahu Layar Motor”. Berita cepat daring yang menyebar serentak keliru menuliskan jenis perahu antara PLM dan Pinisi.