SALAH SATU adegan paling dramatis dalam ritus haji adalah perang besar di Mina saat tarikh-sejarah menunjuk 10 Zulhijah. Seperti Kurusetra, Mina menjadi gelanggang revolusi bagi jutaan pahlawan-pahlawan tauhid untuk pemurnian tatanan masyarakat dari kekuatan tiga watak setan yang disimbolkan oleh tiga berhala dalam ritus jumrah.
Melempar jumrah adalah tindakan konkrit dan kolektif meruntuhkan tiga kekuasaan dalam tiga berhala yang saling berkait satu dengan lainnya. Berhala ula, wushta, dan uqba adalah perlambangan dari tiga watak kuasa yang selalu ada dalam imperium kekuasaan despotik manusia di mana pun di bumi ini.
Satu-satunya buku ihwal haji yang menafsir kehadiran tiga berhala ini dalam ritus “Perang Mina” adalah karya Ali Syariati yang diterjemahkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka pada 1985 dari judul Hajj.
Menurut cendekia dan barisan inisiator revolusi Iran tahun 70-an ini, berhala ula, wushta, dan uqba bukan berhala batu biasa yang di mana setiap manusia haji yang terpilih dipanggulkan tanggung jawab untuk melemparnya tepat pada bagian paling mematikan. Ketiganya bukan benda mati yang tiap tahun dibalur kapur putih. Ketiganya adalah memedi peradaban dan momok hiyong.
Ula itu perlambang Firaun. Wushta itu Karun. Dan Uqba adalah Balam. Firaun adalah pralambang figur dan sekaligus sistem kekuasaan politik despotik, totaliter, atau kerap disebut diktatur militer. Karun adalah kapitalisme dan sistem gurita ekonomi yang menyusu pada penguasa korup untuk melanggengkan bisnis hitamnya. Balam adalah ulama atau cendekia durjana yang melacurkan pengetahuannya untuk memberi legitimasi moral dan segala pembenaran pada penguasa korup dan pemodal hitam.
Firaun, Karun, dan Balam adalah triumvirat yang tak terpisahkan dan menjadi lawan bagi pahlawan-pahlawan tauhid yang ingin menegakkan keadilan di bumi Tuhan. Karena itu, dalam ritus jumrah, posisi ketiganya tak pernah Tuhan jauhkan letaknya. Mereka berada dalam satu paket ikatan kekuasaan. Ke mana pun posisi melihat, ketiga berhala itulah yang berdiri.
Maka dari itu, dituntut keseriusan manusia haji dalam perang Mina. Jika ingin meruntuhkan kekuasaan despotik, mestilah menghancurkan ketiga berhala itu sekaligus, dan jangan tebang-pilih. Sebab Firaun tak punya kekuasaan apa-apa jika tak didukung finansial dari Karun dan legitimasi moral-pengetahuan dari Balam. Pengusaha hitam ala Karun tanpa beking kuasa Firaun tak punya sulur-sulur untuk mengeksploitasi ekonomi dan merusak lingkungan.
Ketiga berhala itu harus dibinasakan sekaligus di 10 Zulhijah demi tegaknya negeri yang berkeadilan sosial bagi seluruh umat.
Karena beratnya tugas itu, maka setiap manusia haji sebelum memasuki fase perang besar, perlu mengikuti ritus-ritus pembersihan jiwa dengan ihram; menegakkan niat dan melakukan tapa muharramat; mengelilingi Kabah sebagai wujud dari kehadiran Tuhan dalam segala arah; mengucap sumpah di hadapan hajar al-aswad terhadap perjuangan tanpa sentiman rasial; martikulasi dan persiapan fisik yang prima untuk menghadapi medan revolusi dengan melakukan sa’y dan sekaligus meresapi perjuangan Bunda Hajar menghadapi kesukaran hidup; serta pengumpulan logistik terakhir (persenjataan) di malam Masyar.
Sebab revolusi tanpa jiwa yang dibakar semangat pengorbanan yang suci, kesiapan fisik yang prima, dan logistik perlawanan seperti menyerahkan jiwa dan raga secara gratis di meja penjagalan yang dipunyai musuh-musuh peradaban. Tuhan ingin, pahlawan-pahlawan keadilan adalah yang terkuat dan terpilih dari semua negeri.
Dan tiap tahun, Tuhan menggelar geladiresik revolusi ini dalam sebuah ritus maha besar yang diikuti jutaan Muslim untuk secara reguler memperingatkan bahwa tiga berhala itu selalu ada dalam sebuah negeri dan selalu hadir di setiap zaman; sejak zaman Ibrahim, Muhammad, Napoleon, Lenin, Mao, Sukarno, Khomeini, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Tiga berhala itu adalah bahaya laten dalam sebuah struktur peradaban madani yang mesti diwaspadai terus-menerus. Ketiganya pintar menyaru dengan banyak wajah, banyak nama, serta banyak institusi. Namun, manusia haji yang dibekali kesucian jiwa, kepekaan nurani, dan nalar kritis bisa mengenali dengan jeli dan tepat karakter Firuan si despot, polah Karun si eksplotir ekonomi, dan gestur munafik Balam si pendogma agama dan pelacur pengetahuan.
Karena tak lebih hanya geladiresik dan renungan simbolik, maka Mina, Masyar, dan Arafat yang sejati sesungguhnya bukanlah terletak di negeri di mana Kabah berdiri berabad-abad lamanya itu, melainkan negeri-negeri di mana manusia haji terpilih tinggal.
Setelah perayaan akbar dilangsungkan, setelah pengorbanan yang dituntunkan Ibrahim si Bapak Revolusi Tauhid digelar agar tak mabuk kepayang dengan kemenangan revolusi, sesungguhnyalah pembuktian haji mabrur baru memasuki tahap awalnya. Gelar itu hanya bisa disematkan kepada mereka yang mampu menggalang solidaritas sosial, cinta kepada mereka yang teraniaya, dan membangun dalam dirinya secara terus-menerus kewaspadaan untuk tak lengah terhadap setiap persekongkolan jahat dan korup yang membunuh nilai-nilai kebajikan dan kemanusiaan. [gusmuh]
Versi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos Minggu edisi 5 Oktober 2014.